Bulan Maret 2012, Presiden (waktu itu) Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Tiongkok dan Korea Selatan. Di sela-sela kunjungan itu, SBY "mengritik" para pembantunya, termasuk para menteri kabinetnya.
Kritik SBY pada para menterinya itu disambut oleh kritik dari berbagai pihak di Tanah Air. Kritik kepada SBY, antara lain datang Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman) Indonesia (waktu itu) Fadjroel Rachman.
Fadjroel bilang, keluhan Presiden semakin menunjukkan perombakan kabinet dulu bukan karena tuntutan prestasi dan profesionalisme, melainkan tuntutan "dagang sapi" politik dari para parpol koalisi pendukung Yudhoyono. (Kompas, Selasa, 27 Maret 2012 (halaman dua).
"Reshuffle juga dilakukan sebagai upaya membuat keseimbangan 'kejahatan' atas kasus kejahatan elite parpol, seperti korupsi di partai dan Banggar DPR, mengemplang pajak, sekaligus meredam tuntutan keras dari publik," kata Fadjroel, yang sekarang jadi Staf Khusus dan Juru Bicara Presiden Joko Widodo.
Kini, beberapa wartawan yang bertugas di istana mengatakan kepada saya, Fadjroel, beberapa staf khusus dan menteri di istana lebih banyak diam. Mantan juru bicara istana masa Presiden RI ke-4, KH Abdurrhaman Wahid, Adhie Massardi melontarkan kata yang cukup bikin telinga panas soal penampilan juru bicara/staf khusus istana masa kini.
Kebetulan sekali saat berita tentang Presiden Jokowi mengkritik para menterinya dan menyebut kata reshuffle, bulan Juni 2020 lalu, saya sedang banyak kontak dengan para mantan juru bicara Presiden ke- 4 Abdurrahman Wahid, Presiden ke -6 Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden (2009 - 2014) Boediono.
Para mantan jubir dan staf khusus presiden dan wakil presiden itu adalah Yahya Staquf (Gus Yahya), Adhie Massardi, Daniel Sparingga, dan Yopie Hidayat.
Selain dengan mereka, saya juga banyak saling kontak dengan para wartawan yang saat ini bertugas di istana kepresidenan. Para wartawan ini bukan hanya banyak komentar tentang para staf khusus atau juru bicara, tapi juga tentang para menteri kabinet, dan suasana di istana selama negeri ini "terimpor atau terekspor" virus corona.
Ketika saya hubungi, Yahya Staquf baru datang ke Jakarta untuk urusan dengan organisasinya, Nahdlatul Ulama. Dia sebenarnya lebih banyak di pesantrennya di Rembang, Jawa Tengah. Dari Rembang ke Jakarta, pergi pulang, dengan mobil sendiri dan bawa bekal makanan sendiri.
Ia "takut" naik pesawat, apa lagi kereta api yang memakan waktu enam jam. Di kereta api, bisa-bisa, ia dirayu banyak covid-19 atau virus corona (bukan mobil corona).
Kontak-kontakan dengan para mantan juru bicara/staf khusus dan para wartawan dan beberapa pegawai istana banyak memberi inspirasi untuk menuliskan "gado-gado" istana dan kabinetnya saat ini.