Mohon tunggu...
Joseph Osdar
Joseph Osdar Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan

Lahir di Magelang. Menjadi wartawan Harian Kompas sejak 1978. Meliput acara kepresidenan di istana dan di luar istana sejak masa Presiden Soeharto, berlanjut ke K.H Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY dan Jokowi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tanda-tanda Hilangnya Mandat Langit (I)

14 Juli 2020   06:23 Diperbarui: 15 Juli 2020   19:05 3300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Soeharto saat mengumumkan pengunduran diri di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998. (WIkimedia/Creative Commons)

Dalam literatur Asia Tenggara tradisional, keadaan alam seringkali dikaitkan dengan kekuatan kekuasaan penguasa. Berbagai bencana bisa diyakini ada masalah dengan pemimpin. Hal ini yang ditafsirkan banyak orang Indonesia ketika bencana menimpa beberapa wilayah negeri ini tahun 1997. Waktu itu kemarau terpanjang sejak kemerdekaan 1945 melanda seluruh negeri.

Ini cuplikan dari tulisan buku "Biografi Gus Dur" atau judul aslinya; "Gus Dur - The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid" tulisan Greg Barton di bawah subjudul Soeharto kehilangan mandat langit. Cetakan pertama 1 Juni 2003. Membaca buku ini, saat ini, saya tertarik pada kontruksi friksi antara rezim Soeharto di satu pihak dengan persukutuan KH Aburrahman Wahid alias Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri atau Mega di pihak lain. Saya banyak menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi berkaitan dengan friksi itu di awal-awal tahun 1990-an dari istana kepresiden saat itu.

Membaca buku Greg Barton sambil mengingat pengalaman saya melihat, mendengar dan menyimpan dalam hati selama saya bertugas di istana kepresidenan sejak Soeharto sampai awal pemerintahan Presiden Jokowi, mendorong saya menulis artikel gado-gado ini.

Saat ini saya berani menyarankan pihak istana saat ini untuk paling tidak membaca suasana saat itu dari buku ini. Saat ini keliatannya tidak ada kemarau panjang, tapi ada berbagai bencana, banjir , kebakaran hutan (walau tidak ada kemarau panjang), tanah longsor, kapal-kapal tenggelam, pangebluk serbuan virus corona dari seberang lautan.

Berulangkali saya membaca halaman 257 sampai 302 (Bab 9) di bawah subjudul Bertarung dengan Soeharto (1994 - 1998). Beberapa buku juga saya baca sebagai penyanding tulisan saya, antara lain Gelora Kebangsaan Tak Kunjung Padam - 70 Tahun Taufiq Kiemas. Editor: Trimedya Panjaitan & Imran Hasibuan" (cetakan pertama Desember 2012 ). Beberapa tulisan feature atau laporan berita saya di Kompas antara 1986 - 2017) juga mewarnai tulisan ini.

Tulisan ini bukan bermaksud untuk mengorek luka atau dosa lama. Tapi untuk mengingatkan ada petuah yang mengatakan jangan melupakan sejarah. Peneliti masalah politik dan sosial dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Alfian, pada Januari 1984 mengatakan, "Kedewasaan dan kebesaran suatu bangsa, antara lain ditentukan oleh kemampuan bangsa itu memahami dirinya secara kritis dan keberaniannya mencari hal-hal yang bermakna dari masa lampaunya, termasuk tragedi-tragedi berdarah yang pernah dialaminya."

Ribuan tahun lalu Marcus Tulius Cicero, hidup di masa Republik Roma (106 - 43 sebelum Masehi), adalah orator ulung, anggota Senat, ahli hukum dan filsuf kondang. Dalam bukunya, De Oratore (Pidato), Cicero mengatakan, "Historia vero testis temporum, lux veritatis, vita memoriae, magistra vitae, nuntiavestustatis (Sejarah adalah saksi zaman, sinar kebenaran, kenangan hidup, guru kehidupan dan pesan dari masa silam). Dari kalimat panjang itu sering dicuplik, historia magistra vitae (sejarah adalah guru kehidupan)."

Ada petuah lagi dari Perancis mengatakan sejarah mengulang dirinya sendiri. Dalam rangka dari petuah-petuah itulah artikel ini saya buat. Untuk belajar dari sejarah.

Tak Gebug

Sepanjang tahun 1995 memasuki tahun 1996, kata Greg Barton, Gus Dur bekerjasama erat dengan Megawati. Persekutuan dua tokoh tentu tidak diinginkan oleh rezim Soeharto saat itu. Soeharto dalam menghadapi pemilihan umum 1997, di mana dia akan menjadi presiden masa bakti ke-7, merasa terganggu oleh persekutuan antara Gus Dur dengan Megawati.

Soeharto dengan rezimnya mencoba mempeorakporandakan persekutuan itu (Mega-Gus Dur) dengan berbagai cara yang dia halalkan. Cara-cara yang ia lakukan tidak pernah muncul dalam pidato-pidato resminya, tapi berbagai peristiwa fenomena gerakan dan cara-caranya terbaca banyak orang.

Tapi sebelum tahun 1990-an, cara-cara gerak politiknya yang keras dan condong cukup "kejam" muncul juga dari mulutnya.

Dalam perjalanan pulang dari Eropa Timur, termasuk Russia, September 1989, ketika menjawab pertanyaan wartawan di dalam pesawat terbang, dengan senyum dan tangan terkepal ia mengatakan "tak gebug" (saya hantam, hajar, pukul, embat). Kata-kata keras itu muncul, sebenarnya di luar konteks langsung dari pertanyaan wartawan secara tersurat.

Tahun 1994, beberapa bulan setelah peristiwa terpilihnya Megawati jadi ketua umum PDI dalam kongres luar biasa PDI di Surabaya (2 sampai 6 Desember 1993) dan musyawarah nasional PDI di Kemang, Jakarta (22 sampai 3 Desember 1993), seorang jenderal yang menjadi menteri, memegang lengan saya di pelataran Bina Graha, kompleks istana kepresidenan di Jakarta.

"Ojo kelalen tak gebug lho mas. Elingno Gus Dur karo Mega (jangan lupakan kosa kata tak gebug itu. Ingatkan kepada Mega dan Gus Dur)," demikian kata jenderal bintang empat itu.

Sang jenderal itu mengingatkan kepada saya tentang ucapan "tak gebug" yang sangat populer itu. Saat itu juga sudah muncul berita-berita akan berlangsungnya Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-29 di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat (1 - 5 Desember 1994). Saat itu Gus Dur sudah tersiar akan masuk dalam pencalonan kembali jadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU).

Jenderal itu mengatakan kata-kata "tak gebug" itu membuat dia miris dan khawatir. Sang jenderal juga memberi pesan kepada saya yang tidak pernah saya lupakan sampai saat ini.

Mula-mula-mula saya tidak tau arti kata-kata pesan itu karena dalam bahasa Belanda. Lalu sang jenderal menuliskan dalam notes saya. Bunyinya begini: "Omongan tak gebug kuwi iso dadi tekenen des tijds (Bahasa Jawa campur Belanda artinya omongan itu bisa jadi "tanda-tanda zaman)," tulis Sang Jenderal, yang menjadi menteri Kabinet Pembangunan V (1988-1993) dan VI (1993-1998). Sang jenderal ini berpesan beberapa kali agar ucapannya saat itu off the record.

Menjelang tahun 1996, tulis Greg Barton dalam bukunya (halaman 264), ada tanda-tanda buruk akan datangnya masalah, khususnya setelah Nyonya Tien Soeharto meninggal pada bulan April (Minggu pagi, 28 April 1996) [...] Kehilangan Nyonya Tien, seorang yang sangat dipercayainya, menurut buku Greg Barton, mengganggu kestabilan diri Soeharto.

Sebagai catatan kecil dan selingan dalam tulisan saya ini, saya tidak menyebut Nyonya Tien Soeharto sebagai Ibu Negara. Ini menjadi tradisi di Redaksi Kompas, setiap istri presiden tidak dituliskan sebagai Ibu Negara, tapi disebut "nyonya". Di masa-masa sebelum Joko Widodo jadi presiden, setiap kali menyebut Ibu Negara Ainun Habibie, Ibu Negara Nuriah Abdurrahman Wahid atau Ibu Negara Anni Susilo Bambang Yudhoyono, selalu diganti jadi "nyonya". Baru setelah Jokowi jadi presiden, Kompas menuliskan Ibu Negara Iriana Joko Widodo.

Kita kembali tentang ketidakstabilan Soeharto setelah alamrhumah Nyonya Tien meninggal. Saya jadi ingat, dalam acara peringatan tujuh hari meninggalnya Nyonya Tien, di tempat kediaman pribadinya, di Jalan Cendana, Jakarta, Soeharto menyatakan kesedihannya atas kepergian istri tercinta itu.

"Sejak hari Minggu pagi, tanggal 28 April 1996, ada sesuatu yang hilang dari tengah-tengah keluarga kami, sesuatu yang tak ternilai harganya bagi kami," kata Soeharto yang saya rekam dan catat itu (Kompas, Sabtu 4 Mei 1996).

Menurut visi Gus Dur, tulis Greg Barton, ketidakstabilan Soeharto itu justru membahayakan.

"Ia akan bertindak berlebihan bila saja melihat ada yang menentangnya," kata Gus Dur yang ditulis Greg Barton.

Oleh karena itulah setelah memenangkan pertarungan dalam pemilihan ketua umum PBNU di Cipasung, Desember 1994, Gus Dur lebih memilih untuk melakukan strategi langkah mundur menghindari tekanan dari rezim Soeharto. Ia "berdamai" dengan Soeharto. Bahkan ia bertemu dan bersalam dengan Soeharto.

"Dalam pertemuan nasional Rabitah Ma'ahid Islamiyah (RMI), salah satu organisasi pesantren yang berafiliasi dengan NU, di sebuah pesantren di Probolinggo, Jawa Timur, 2 November, Gus Dur mengulurkan tangannya kepada Soeharto

"[...] Soeharto menyambut dengan hangat dan mereka berdua berjalan berbimbing-bimbingan ke tangan ke tempat duduk bagian depan. Esok harinya Gus Dur mengumumkan, NU menerima kenyataan, Soeharto akan menjadi presiden ke-7 kalinya," kata buku itu.

Gus Dur banyak dikritik teman-temannya, yang lebih "menjengkelkan" lagi kemudian Gus Dur berhandai-handai dengan Tutut, putri tertua Soeharto. Namun setelah itu, dua pekan setelah pertemuan dengan Soeharto, rivalnya dalam Muktamar di Cipasung 1994, Abu Hasan yang dijadikan ujung tombak oleh rezim Soeharto, meminta maaf kepada Gus Dur.

Gus Dur menang, walau hampir gagal dalam muktamar di Cipasung, kendatipun rezim Soeharto dengan segala cara yang "jahat" dan tidak bermoral". Cara jahat dan tidak bermoral itu juga dilakukan terhadap Megawati setelah kemenangannya di KLB Surabaya dan Munas Kemang sampai setelah peristiwa berdarah di Markas PDI Jalan Diponegoro 58, 27 Juli 1996.

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun