Mohon tunggu...
Oscar Oyi
Oscar Oyi Mohon Tunggu... -

a man in punk

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Download Video Porno Gratis

18 Mei 2013   22:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:22 19266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya heran di zaman ini, banyak sekali wanita yang berkenan difoto atau di-video-kan aksi-aksi nakalnya, sekedar untuk mengemis sesuap-dua suap nasi. Saya heran, bagaimana dulu pendidikan masa kanak-kanaknya. Bagaimana dulu lingkungannya mengajarkan tentang mana kelamin - tidak boleh diperlihatkan - dan mana yang bukan.

Saya generasi yang ikut menyaksikan bagaimana pendewasaan (di ranah seksualitas) terjadi jauh sebelum kami dewasa. Bahkan kami mengetahui bulu kelamin jauh sebelum bulu kami sendiri yang tumbuh. Saya heran bagaimana bisa pengetahuan akan datangnya masa berkembang-biak ini terlalu cepat kami ketahui.

Saya sempat heran dahulu kala, siapa saja orang di foto-foto itu? Di video-video itu. Di majalah-majalah yang kami sekawanan membelinya sembunyi-sembunyi. Siapa mereka sebenarnya, bagaimana hidupnya. Semiskin itukah hingga harus menjual penampakan tubuh? Atau se-cuek apa jati dirinya sampai tidak lagi peduli masih berpakaian atau tidak. Saya bertanya-tanya tapi hanya dalam hati. Saya tahu bakal terjadi kehebohan jikalau saya terlalu banyak bertanya pada orang lain.

Sedangkan dunia dewasa menutup mata pada keadaan ini. Anak-anaknya dirusak gejala dewasa sebelum waktunya. Ironisnya, keluarga justru tidak luput memberi sumbangsih. Ibunya tak segan-segan menyodori tontonan "telanjang" gratis untuk buah hatinya. Lewat infotainment, gosip-gosip, berita selebritis seksi-macho sedang ini-itu. Ayahnya kecolongan membuka situs porno di komputer rumah. Ketahuan memiliki koleksi VCD biru yang tidak karuan jumlahnya.

Kakak-kakaknya pacaran ketika rumah kosong. Tetangganya hamil di luar nikah, tapi keluarga tidak memberi banyak penjelasan tentang itu. Malah bergosip secara signifikan perkembangan kasus di depan anak-anaknya. Rutinitas religius keluarga terganggu kegusaran ekonomi.Sehingga ayah pulang kerja tak menentu. Ibu cari tambahan penghasilan kemana-mana. Anak mendapat pelajaran baru bahwa hidup adalah tentang uang.

Begitu dewasa, gadis-gadis yang dikaruniai tubuh molek nan aduhai bertemu kawannya seorang fotografer amatir. Yang baru tiga bulan merengek pada orang tuanya di luar negeri untuk kamera mahal standar profesional. Terjadilah adu argumen, bakat menjadi kambing hitam.Akhirnya hidung lelaki jadi belang. Si wanita terbuai kata-kata gombal. Sehelai demi sehelai kain dilemparkan. Terjadilah akting kehidupan sesungguhnya berlatarkan profesionalisme dan seni.

Beberapa wanita tidak terbuai apapun. Hanya saja memang perutnya sudah terlalu lapar untuk tidak melepas baju. Kehormatan ini buat apa? Toh, nanti akan dijebol laki-nya setelah pelaminan. Daripada merelakan perginya keperawanan gratis, kenapa tidak jadi barang dagangan. Keberanian diperjual-belikan. Mereka gadis-gadis yang lebih memilih miskin-terhormat diremehkan, dihina cemen, bodoh dan terbelakang. Akhirnya sebagian kendor dan tergoda untuk ikut. Sebagian lain berusaha teguh, meski pendirian kalang kabut.

Pria-pria yang sedari kecil mencari mangsa sesungguhnya, ber-role-model-kan figur-figur seksi di masa kecilnya, berburu dalam kekeruhan. Wanita apapun yang ujungnya mau, sikat saja.Sekarang zaman gampang, serba instant, mencari wanita untuk nikmat semalaman lebih mudah dibanding yang berkenan dilamar ke perkawinan.

Industri film porno merajai komersialitas seni. Hari ini film yang jelas-jelas memenuhi syarat dan kriteria adegan "panas" yang durasinya mencukupi terbangnya syahwat adalah pilihan utama. Produsen-produsen film yang dulu masih hijau pun sekarang berlomba-lomba biru.Tidak hanya di Hollywood, Bollywood, sampai Indonesian wood juga berlaku sama. Pendidikan zaman TK bahwa seks itu nikmat dan uang adalah segalanya mutlak di kepalanya. Tidak ada lain, kecuali mau hidup miskin.

Dulu saya heran, siapa-siapa wanita di majalah-majalah itu? Di video-video itu? Yang fotonya menunjukkan selangkangan dan berbagai jenis lipatan-lipatan? Kini saya heran kalau ada artis yang masih bisa menolak telanjang. Masih ada artis yang kemudian menyatakan setia pada kerudung saja. Saya heran pada wanita-wanita yang ditawari sekoper uang untuk 3 menit adegan ranjang tapi tetap tegar berkata "emoh"!

Saya dicampakkan perkiraan-perkiraan sendiri. Masa-masa pikiran saya kotor memenuhi seluruh usia remaja. Kawan-kawan saya pun berpersepsi demikian. Bagi kami semua wanita adalah sama seperti di bokep. Mereka objek. Untuk ditonton, untuk dinikmati, tidak penting apakah ada nyawanya, ada maunya, ada kehormatannya, tidak terlalu perlu dipikir.

Persepsi saya bertahan sampai saya sadar - seperti manusia lainnya - bahwa saya dilahirkan oleh seorang ibu. Oleh seorang manusia yang bukan pria. Baik pria maupun wanita dilahirkan oleh wanita. Baik tinggi besar, kecil, bodoh, pintar, jelek, atau se-jenius Einstein juga dilahirkan oleh wanita. Disusui supaya tumbuh badannya. Dirawat, dididik, dimanja melebihi anak kucing. Usia 5 tahun adalah seekor kucing jantan, gagah, dan dewasa. Tapi manusia 5 tahun adalah perengek, pengganggu, perusuh, pemanja, pengalih-perhatian ibu untuk hal-hal penting. Jika dibuang, kira-kira akan mati kelaparan karena kemampuannya hanya buang air besar dan kecil.

Saya tersadar bahwa wanita-wanita yang saya lihat sekujur tubuhnya tanpa sehelai benang itu ialah kaum-kaum ibu. Yang entah kapan diijinkan Tuhan akan menjadi seorang ibu seutuhnya.Yang dibela anak-anaknya karena jasanya. Yang kehormatannya melebihi harga nyawa anaknya.Yang mungkin akan saya barter dengan jiwa-raga beserta seluruh harta untuk membelanya.

Hari ini, dengan ditemani ibu, masih ada hal yang senantiasa membuat saya heran. Betapa mahalkah biaya hidup di dunia ini, sehingga wanita-wanita itu bersedia melepaskan lapisan kehormatan tubuhnya untuk dijajakan. Atau jikalau ia yakin akan kecantikan, keanggunan, dan kemahalan harga tubuh dan dirinya, kenapa tidak ditemukannya pria terhormat yang akan menghormati ia sampai nenek-nenek? Kenapa hanya aktor-aktor berkelamin "megah" yang jadi lawan mainnya sementara?

Kenapa tidak mereka pikirkan bagaimana mata kami ini, pria-pria yang digoda kemolekannya, harus berpikir kembali cara menghormati wanita? Harus mengembalikan mind-set kami yang dirusak kelakuan mereka sendiri? Mengapa mereka bangga menjadi objek? Mengapa harga tubuh Anda - aktris-aktris bokep - yang sedang disenggamai lawan main itu hanya seharga sewa warnet 1 jam? Karena kini banyak sekali situs penyedia download bokep gratis? Dan harga sewa warnet kini hanya seribu rupiah!

Saya terharu, tapi tidak sempat menangis karena tiba-tiba mengingat Anda - aktris-aktris bokep - sedang tertawa terbahak-bahak dihunus kelamin para aktor amatiran dalam film-film penguasa dunia maya itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun