Mohon tunggu...
Oscar Oyi
Oscar Oyi Mohon Tunggu... -

a man in punk

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sumpah Pemuda sebagai Identitas Keindonesiaan

27 Oktober 2013   22:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:57 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KEMUNGKINAN besar pemuda-pemuda kita tahun 1928 memang belum memiliki visi menembus 9 dekade ke depan saat akan mencetuskan sebuah sumpah abadi.Tidak ada bayangan bahwa suasana politik dan kepemudaan akan bertengger pada kerumitan yang seperti hari ini.Sumpah terlanjur diikrarkan, sementara kesiapan intelektual maupun kultural kelompoknya tanpa diketahui belum sempurna secara kualitatif.

Bisa jadi fenomena semacam ini benar-benar baru bagi bangsa yang merdekanya butuh perjuangan sekian abad.Profil rakyat yang demikian nasionalis, religius, sekaligus radikal – maju bertempur berbekal bambu diruncingkan – terkikis oleh dekade penuh misteri orang-orang pemerintahannya sendiri.Kesanggupan pemuda kita saat itu, berbanding horizontal dengan perilaku labil pemuda kita zaman ini.Disuguhi arena sarat kemudahan dalam berbagai hal, mereka diberi kedaulatan penuh atas dirinya ingin jadi profesor atau maling.

Pengaruh-pengaruh dari balik dinding budaya merasuk melalui rentetan celah teledor kepemimpinan eksekutif.Kita tidak lagi bisa membedakan mana gaya Indonesia atau Melayu.Mana tradisi khas suku bangsa kita yang ribuan, atau mana yang merupakan hasil suntik silikon tetangga kiri-kanan.Kita diributkan oleh naturalisasi yang ternyata ujungnya hanya sentralisasi.Pemuda-pemuda kita dikabari bahwa masa depan ada di perantauan, kampung halamanmu tidak lebih hanya masa lalu.

Akar Masalah Kebangkitan Nasional

Dulu sebelum perekonomian kita berkembang drastis – menurut sumber-sumber kenegaraan – seperti saat ini, putaran kehidupan bangsa tidak terpengaruh pada pertumbuhan industri.Saya heran masyarakat kita dipaksa menjadi masyarakat industri sementara buruh-buruh tetap digaji rendah meski tugasnya sudah ditambah.Peralihan golongan karyawan menjadi pedagang sebisa-bisanya dihalangi.Padahal kita tahu persentase wirausahawan kita dibawah 2%.

Akhirnya yang muncul ialah gerakan “pergi meninggalkan desa”.Tidak pemuda, tidak usia menengah – semua ingin jadi pegawai di Jakarta, atau setidaknya di pulau Jawa.Putra-putra daerah yang kemampuannya istimewa dan semestinya dapat diandalkan di kampung sebagai pencetus kebangkitan, malah menghamba-hamba di kota.Kepercayaan dirinya hilang.Mau jadi apa bertahan di daerah? Teman-temannya yang pergi meninggalkan desa sebentar, pulang-pulang sudah bermobil, beristri.Walau tidak ada yang mengetahui jumlah tagihan kreditnya.

Hari-hari yang dilalui pemuda kita kian berat dan menantang.Pencari kerja ribuan kali lipat lebih banyak daripada pekerjaan yang ditawarkan.Hasilnya, kreatifitas menurun drastis.Kreator-kreator dadakan bermunculan.Kreasinya urakan, norak, gagal tanding melawan pemain-pemain dunia yang kebebasannya tidak terbatas.Sebab mereka dihasilkan melalui kerja paksa para raksasa modal.Pemuda-pemuda kita yang unggul intelektualitas maupun kreatifitasnya lebih memilih bekerja di bank, di kantor-kantor, di gedung-gedung tinggi.Ada kebanggan tersendiri menjadi bawahan.Ada kenikmatan yang tidak bisa tergantikan ketika diberi angin surga akan dipromosikan.Padahal tahun demi tahun dilaluinya tetap seperti itu.

Kita dibudayakan malas berpikir, bahkan tentang nasib kita sendiri.Lebih aman hidup dalam takaran gaji perusahaan – yang walaupun kurang-kurang sedikit tetap datang tiap awal bulan.Untuk apa berkreatifitas lagi? Ini hidup sudah susah, lihat itu kawan-kawan kita berkeliling trotoar dari hari ke hari menggembol amplop-amplop cokelat penuh dengan ijazah sarjananya.Mengejar posisi masyarakat industri yang dikesankan paling beruntung.Hidup tinggal hidup, tinggal tunggu matinya.

Sahabatku, Identitas Kita adalah Indonesia

Pemuda kita kebingungan disuruh menunjuk mana Indonesia.Mana yang asli Indonesia, mana yang abal-abal.Mereka kira di Jakarta saja kita bisa menemukan Indonesia.Bahasa Indonesia yang paling baik dan benar adalah model Betawi.Akhirnya penyiar radio dari Aceh sampai Papua berusaha jadi “anak Jakarte”.Televisi mengesankan logat medok Jawa sebagai pembantu, orang Medan pemarah, suku Dayak berarti pedalaman.Masyarakat kita dibodohi dengan hiburan.Televisi sebagai media termurah yang bisa dinikmati berbagai lapisan malah diracuni hal-hal yang nyata-nyata melanggar sumpah.

Padahal justru untuk menjadi sebenar-benarnya orang Indonesia, terlebih dahulu kita mesti menjadi putra daerah yang sesungguhnya.Pengaruh kental kedaerahan itulah makna dasar ber-Indonesia.Bagaimana Anda menjadi penduduk dunia yang terhormat sebelum menjadi orang Indonesia yang unggul? Dan bagaimana Anda menjadi orang Indonesia yang unggul sebelum menjadi putra daerah yang berkualitas? Artinya, untuk menjadi seseorang yang berpengaruh, Anda harus sadar terhadap root yang mendarah daging.Dan puluhan tahun yang lalu pemuda-pemuda kita telah merumuskannya.

Sumpah Pemuda adalah tali kekang agar Anda siap menjadi pendekar-pendekar dunia, berlandaskan ke-Indonesiaan.

Jauh sebelum dicetuskan Sumpah Pemuda, rakyat Indonesia berkutat dengan kebanggaan-kebanggaan atas daerahnya.Nilai-nilai persatuan – meskipun sudah gencar dipekikkan – masih sekedar retorika tanpa kesadaran yang hakiki.Indonesia belum menjadi pengemulsi yang signifikan atas remahan-remahan budaya, suku bangsa, dan bahasa yang beraneka ragam jenisnya.Artian Indonesia – pada sanubari pemuda-pemudi khususnya – masih berupa cita-cita bersama menuju kesejahteraan dan kemakmuran yang merata.Bukan dalam wilayah kerjasama berkehidupan secara langsung.Diantara ratusan golongan tidak dapat dihindarkan perlombaan pengaruh untuk menjadi “paling Indonesia”.Dan wilayah sentral pemerintahan kala itulah yang seketika muncul menjadi juara.

Akhirnya serta-merta semua orang menuju ke tengah.Ada gula ada semut.Mereka – pihak-pihak yang dikalahkan – kemudian bersatu di dalam kekhawatiran sosial, bersedia menjadi semut-semut yang menanggalkan jati dirinya demi keamanan hidup, pengendalian politik, dan terutama pangan.Hasilnya, perputaran uang dan kekuasaan perlahan membeku di tengah-tengah.Orang-orang pinggiran dengan modal sedikit, pendidikan seadanya, sarana prasarana yang dipaksakan, saling berebut kesempatan menguasai harta yang jumlahnya minimalis pula.Perjuangan mati-matian, dengan hasil yang sangat sederhana.

Tentu saja ini berbanding terbalik dengan petarung-petarung di pusat yang bersedia menginjak, bertopeng, berkhianat, dan segala macam perilaku gusar anti-kemiskinan lain – demi satu-dua suap nasi yang ternyata lebih nikmat dikulum, sayang sekali jika ditelan sampai ke perut.

***

Sumpah pemuda berarti Anda sedang berusaha menjadi sebutir serbuk diantara ratusan juta – untuk berkumpul membentuk larutan yang kuat, solid, dan berkaitan.Bukan demi kemakmuran atau kesejahteraan semata, melainkan sebuah perjuangan menuju integritas sosial yang berlangsung terarah.Saling pengertian dan menghormati untuk tujuan yang bermacam-macam.

Anda dan yang lainnya tidak perlu satu tujuan, tidak perlu menyamakan cita-cita.Hanya perlu sejalan untuk menggapai keinginan masing-masing. Karena harapan tidak pernah bisa dipersatukan.Hanya arah dan jalan yang dapat dirangkai dalam kebersamaan.

Pemuda, mari bersumpah untuk setia pada tumpah darah, bangsa, dan bahasa: Indonesia.

*Juara ketiga pada Lomba Penulisan Esai “Memaknai Sumpah Pemuda” oleh HMP Bahtra STKIP PGRI Jombang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun