Vampir. Vampir yang kita kenal di masa kini mungkin merujuk kepada pandangan-pandangan fiktif dari penulis-penulis klasikal seperti Bram Stoker atau John Polidori, namun sebenarnya cerita-cerita fiksi ini berdasarkan mitos pada abad pertengahan. Mitos ini menyebar dari mulut ke mulut, memperkuat ketakutan dan imajinasi masyarakat tentang makhluk yang bersembunyi dalam bayang-bayang.
Namun, di balik makhluk menyeramkan ini, terdapat kenyataan medis yang bisa jadi menjadi asal muasal dari mitos tersebut. Porfiria, sekelompok kelainan genetik yang mempengaruhi biosintesis heme, dapat menyebabkan gejala yang sangat mirip dengan deskripsi vampir dalam legenda dan cerita. Penderita porfiria sering mengalami sensitivitas ekstrim terhadap sinar matahari, yang dapat menyebabkan kulit mereka terbakar, melepuh, dan berubah warna menjadi gelap atau merah-ungu. Ini mungkin telah memicu keyakinan bahwa mereka adalah makhluk yang hanya bisa keluar pada malam hari.
Selain itu, porfiria akut bisa mempengaruhi sistem saraf dan mental, menyebabkan halusinasi, kebingungan, dan perubahan perilaku drastis. Gejala ini dapat dengan mudah diinterpretasikan sebagai tanda-tanda "kerasukan" atau "perubahan" yang sering dikaitkan dengan makhluk supranatural seperti vampir. Dalam beberapa kasus, penderita porfiria mungkin mengalami kerusakan gusi yang membuat gigi tampak lebih menonjol, menyerupai taring vampir yang panjang dan khas dalam cerita rakyat dan novel klasik.
Pengobatan porfiria pada masa itu jelas masih sangat terbatas. Beberapa penderita mungkin mencoba mencari bantuan dengan meminum darah hewan sebagai bentuk pengobatan tradisional yang salah arah, karena darah mengandung heme, meskipun dalam jumlah yang tidak signifikan untuk memberikan efek penyembuhan. Tindakan ini, meskipun jarang dan tidak efektif, memperkuat mitos tentang vampir yang meminum darah untuk bertahan hidup.
Sementara para penduduk desa hidup dalam ketakutan akan makhluk malam, atau para penulis kisah-kisah novel horor klasik yang mengangkat ide mitos ini, realitas medis dari porfiria tetap tersembunyi hingga ilmu pengetahuan modern mulai mengungkap misteri di balik penyakit ini. Seiring waktu, para ilmuwan dan dokter memahami bahwa gejala-gejala yang dianggap sebagai tanda-tanda vampir sebenarnya adalah manifestasi dari kelainan genetik yang kompleks.
Dalam dunia Modern, porfiria dapat didiagnosis melalui tes laboratorium yang mendeteksi akumulasi porfirin dan prekursornya dalam darah, urin, dan tinja. Pengobatan melibatkan manajemen gejala, menghindari faktor pemicu, dan dalam beberapa kasus, terapi dengan hemin untuk mengurangi serangan akut. Dengan pengetahuan ini, penderita porfiria kini dapat hidup lebih baik dan mengelola kondisi mereka dengan lebih efektif.
Mitos vampir mungkin telah lahir dari kebingungan dan ketakutan, tetapi di balik cerita horor itu terdapat pasien manusia nyata yang berjuang melawan penyakit yang kompleks. Porfiria, yang pernah menjadi sumber misteri dan ketakutan, kini dikenal sebagai kondisi medis yang memerlukan perhatian dan perawatan khusus. Meskipun demikian, legenda vampir akan terus hidup dalam budaya populer, sebagai pengingat akan bagaimana realitas medis dapat menginspirasi kisah-kisah yang melampaui zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H