24 Januari 1851, Gunung Kelud meletus dengan hebatnya, memuntahkan lahar dan lava yang mampu merusak desa-desa di bawahnya. Bagaimana dengan Kyai Tunggul Wulung? Sebelum meletus, dia sudah mendapatkan wangsit baru dari Gusti Allah untuk segera turun gunung supaya bisa menjelaskan iman barunya itu kepada orang-orang Jawa yang dia temui lalu pergi ke Mojowarno, sebuah desa dengan penduduk mayoritas Kristen Jawa saat itu.
Demikianlah Kyai Tunggul Wulung memulai perjalanan syiarnya di desa-desa sehingga mulai terbentuk kelompok-kelompok kecil Kristen di daerah Kepanjen dan Penanggungan dekat Malang. Kemudian dia menuju Mojowarno untuk bertemu dengan pendeta J.E. Jelesma dan kemudian dibaptiskan dengan nama baptisan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung. Dia mendapatkan sebuah kitab suci berbahasa Jawa terjemahan Dr. Bruckner dari Jelesma.
Menariknya, Kyai Tunggul Wulung kemudian kembali ke Jawa Tengah untuk menjadi seorang mubalig Kristen Jawa. Dia berhasil mewujudkan rasa nasionalisme dengan membentuk perkumpulan Kristen Jawa yang terpisah dengan Kristen Landa (Kristen Belanda). Dia dengan bangganya menunjukkan bahwa seorang Kristen Jawa itu sama martabatnya dengan seorang Kristen Belanda, karena itu dia selalu berdiri ketika harus berbicara dengan orang-orang Belanda.
Semua kisah di atas berawal dari pergumulan batinnya saat dia bertapa di atas Gunung Kelud. Satu lagi contoh kongkret, bahwa gunung berapi memiliki makna khusus di kalangan masyarakat Nusantara, terlebih di hati orang Jawa. Semoga menambah wawasan kita.
Sumber kepustakaan: Bambang Noorsena, Menyongsong Sang Ratu Adil, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2003 (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 28 November 2011)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H