Dari semula gunung yang menjulang tinggi itu mengundang rasa ingin tahu manusia kebanyakan. Pasti ada apa-apanya di sana, begitu mungkin logika nenek moyang kita dulu. Bayangkan, dari sekian luas tanah membentang tiba-tiba ada sebidang tanah menjulang tinggi ke angkasa, diselimuti dengan pepohonan rapat yang membangkitkan misteri ada apa di bagian puncaknya.
Itu baru gunung biasa, apalagi sebuah gunung berapi. Pastilah dulu nenek moyang kita sangat takjub dan karenanya menaruh respek kepada keberadaan gunung berapi. Bagaimana tidak? Gunung yang biasanya tenang dan kalem tiba-tiba bisa menggelegak dan memuntahkan amarahnya berupa lava, lahar dan bebatuan pijar. Lalu logika kuno itu pun menarik kesimpulan bahwa pastilah gunung berapi itu menyimpan misteri kekuatan, misteri kekuasaan yang mungkin saja akan mempengaruhi nasib manusia sekitarnya.
Masuk akal bukan logika kuno tersebut? Karena itu jangan heran kalau dalam cerita-cerita suci gunung menempati posisi tersendiri. Salah satu contoh yang mudah diingat adalah Nabi Musa, diceritakan bahwa dia menerima dua loh batu berisi 10 perintah Tuhan di atas puncak Gunung Sinai yang saat itu dipenuhi kilat dan petir.
Bagaimana dengan kepulauan Nusantara dalam menyikapi fenomena gunung berapi? Sama saja. Hampir semua bangunan-bangunan suci masa silam dibangun di wilayah gunung berapi. Ambil contoh kompleks Candi Gedong Songo di Gunung Ungaran itu. Lalu kompleks candi kuno di pegunungan Dieng. Bukankah sampai saat ini sebagian masyarakat Jawa masih menyakini bahwa Puncak Mahameru adalah puncak kediaman para dewa? Bukankah masih ada yang meyakini bahwa Gunung Tidar adalah pakunya Pulau Jawa?
Ada satu kisah tentang Gunung Kelud yang bertalian erat dengan kepercayaan Jawa sekaligus berkaitan dengan masyarakat Kristen di Jawa. Saya ingin membagikannya kepada Anda. Sekedar berbagi, tidak ada maksud lain, karena saya yakin sangat sedikit dari Anda yang pernah mendengarkan kisah ini.
[caption id="attachment_151605" align="aligncenter" width="300" caption="Gunung Kelud meletus tahun 2007 (sumber: www.pariwisata-kabkediri.com)"][/caption]
Konon menurut Babad Kediri, dahulu kala Raja Jayabaya memerintah di Kerajaan Kediri dia mempunyai 2 abdi terpercaya. Yang satu bernama Kyai Daha dan yang lainnya bernama Kyai Daka. Kyai Daha dijadikan patih yang setia dengan nama Buta Locaya. Kyai Daka dijadikan senopati perang unggulan dengan nama Tunggul Wulung. Kala Raja Jayabaya muksa, kedua abdi itu pun juga turut muksa dengan tugas yang berbeda. Buta Locaya ditempatkan untuk berjaga-jaga di Selabale (Gua Selomangleng?!) sementara Tunggul Wulung ditugaskan untuk menjaga kawah Gunung Kelud supaya letusannya tidak banyak merusak desa-desa sekitar. Menurut legenda yang berkembang, kelak Raja Jayabaya akan datang kembali, karena itu Tunggul Wulung bertugas untuk mempersiapkan kedatangannya. Sebuah keyakinan mesianik yang berakar kuat di kalangan orang Jawa.
Kisah melompat ke tahun 1840an. Tersebutlah sebuah nama bernama Kyai Ngabdullah, berumur sekitar 40 tahun. Dilahirkan dari keluarga priyayi di Juwana, Jepara, dia adalah seorang pamong praja di Jawa Tengah sekaligus seorang murid pesantren. Tampaknya atmosfer penjajahan ditambah dengan suasana keagamaan saat itu menghasilkan pergumulan batin di hati Kyai Ngabdullah. Pada tahun 1847, pergulatan batin ini membawanya kepada "laku ngelmu" ke arah timur dan selanjutnya mendaki Gunung Kelud untuk bertapa. Laku ngelmu ini tentu saja tidak melulu bermakna magis atau mistis, tapi juga bermakna filosofis karena dalam melakukannya Kyai Ngabdullah berusaha menangkap pelajaran hidup dari semua orang, guru dan kyai yang dia jumpai.
Dalam perjalanan pendakian, Kyai Ngabdullah bertemu dengan Endang Sampurnawati, seorang puteri bangsawan Kediri yang ternyata juga melakukan ziarah spiritual yang sama. Mereka sempat beradu ilmu filsafat dengan masing-masing menyodorkan sebuah teka-teki. Endang memberikan teka-teki, ana kemiri tiba saiki kena dijupuk dhek wingi, sedangkan Kyai Ngabdullah memberikan teka-teki, Ratu Adil mertamu, tamu mbagekake kang didayohi, sebiting tanpa sangu. Teka-teki itu membuka diskusi di antara mereka tentang harapan akan Ratu Adil, sebuah konsep yang berkembang di dalam masyarakat Jawa. Akhir cerita mereka kemudian memutuskan untuk menjadi suami isteri dan bersama-sama bertapa di Gunung Kelud untuk bersama-sama merenungkan filosofi kehidupan.
Demikianlah, selama 7 tahun akhirnya mereka berdua melakukan perenungan di Gunung Kelud. Karenanya Kyai Ngabdullah sempat dipanggil orang-orang sekitar kaki Gunung Kelud sebagai Ki Ajar Gunung Kelud, seorang guru filsafat kehidupan dari lereng Gunung Kelud. Di gunung inilah Kyai Ngabdullah menghabiskan waktunya untuk bertapa dan juga merenungkan semua filsafat kehidupan, dari filosofi Hindu, Budha, kejawen, Islam maupun filosofi Kristen yang saat itu sudah banyak diterima oleh masyarakat Jawa. Dari renungannya tersebut lahirlah karya Serat Dharmogandul, sebuah karya ilmiah khas Jawa berisi analisis tajam mengenai sejarah jawa dan kepercayaan-kepercayaan yang tumbuh dalam masyarakat Jawa.
Konon, pada tahun 1847, Kyai Ngabdullah menerima sebuah wangsit berupa tulisan "sepuluh perintah Allah kepada Musa" yang tanpa disadarinya telah muncul di bawah tikar semedinya. Memparalelkan dirinya sebagai Tunggul Wulung yang diutus untuk mempersiapkan kedatangan Raja Jayabaya, sejak itu Kyai Ngabdullah menemukan keyakinan bahwa dia juga diutus oleh Gusti Allah untuk menyebarkan lelaku hidup baru di kalangan masyarakat Jawa. Sejak itulah Kyai Ngabdullah berganti nama menjadi Kyai Tunggul Wulung.