Sekarang waktunya saya mendongeng tentang ikon kota kelahirannya saya, Kediri. Apa lagi kalau bukan Gudang Garam, merek rokok yang terkenal itu. Beberapa tahun ini Gudang Garam bersaing ketat dengan Sampoerna dan Djarum memimpin pasar rokok di tanah air dan juga pasar regional. Kalau Anda kebetulan aktivis anti rokok atau anti tembakau, maafkan saya kalau kali ini saya menulis tentang merek rokok. Saya bukan perokok, tapi sejak lahir saya sudah mencium aroma cengkeh dan tembakau dari perusahaan rokok yang menghidupi kota kami tersebut. [caption id="attachment_262870" align="aligncenter" width="117" caption="Gudang Garam (sumber: www.matanews.com)"][/caption] Kalau Anda tinggal beberapa hari di kota Kediri, Anda pasti akan menyaksikan bahwa merek rokok ini menjadi urat nadi kehidupan di kota kami. Ketika saya kecil, setiap pagi pasti akan ada rombongan ibu-ibu dengan naik sepeda datang dari segala penjuru kota, bahkan dari luar kota untuk mendatangi satu titik, yaitu pabrik Gudang Garam yang terletak di tepi Sungai Brantas Kediri. Di pabrik inilah kehidupan Kediri berdenyut. Di dalam kompleks pabrik inilah berkumpul Mbok bakul jamu, pedagang sayur mayur, pedagang sepeda, bengkel sepeda, pedagang kain dan baju serta tukang kredit. Kalau sudah jam istirahat, terjadilah interaksi dengan buruh pabrik yang mayoritas perempuan itu dengan para pelaku ekonomi lainnya yang saya sebutkan di atas. Bayangkan, berapa rupiah yang berputar sehari-harinya di areal 6 unit pabrik seluas 100 hektar (tahun 2001) itu. Tahun 2001 saja, pabrik rokok ini memperkerjakan 40.000 buruh dan sekitar 3.000 karyawan tetap. [caption id="attachment_262871" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana di bagian perlintingan manual (sumber: www.javabalicheaptour.com"][/caption] Terus terang, tidak ada orang Kediri yang berani membayangkan seandainya pabrik rokok itu tutup. Apalagi pemerintahnya. Kalau Anda ke Kediri, pasti Anda akan menjumpai 2 kata sakti itu (Gudang Garam) terukir di semua pot-pot kota, taman kota dan bangunan-bangunan milik publik di sana, menandakan bagaimana pabrik ini sangat penting bagi kota kami. Sebegitu besarnya peranan pabrik ini sehingga sebagai orang yang dilahirkan di kota ini, rasanya tidak berlebihan kalau saya penasaran ingin mempelajari sejarah merek ini. Dan ternyata tidak rugi lho saya melacak fakta sejarah Gudang Garam ini, banyak pelajaran yang akan bisa dapatkan. Inilah dongeng saya. Satu pertanyaan nakal, sejak kapan sih kira-kira Nusantara merokok ? Saya menemukan setitik jejak dari tulisan J.A. Noertjahyo di Kompas, edisi Sabtu 1 Januari 2000 berjudul "Sigaret Kretek Tonggak Bangsa". Menurut Solichin Salam, dalam bukunya "Kudus dan Sejarah Rokok Kretek", dalam tahun 1624 ada catatan bahwa pembesar Jawa di Keraton Kartasura sudah gemar menghisap rokok. Menurut catatan Thomas Stamford Raffles dan De Condolle, tembakau dan kebiasaan merokok telah masuk ke Jawa pada tahun 1600. Menurut Amen Budiman dan Onghokham dalam bukunya "Rokok Kretek, Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara" mencatat bahwa Sultan Agung, raja Mataram pada tahun 1613 - 1645 adalah seorang perokok kelas berat. Dari kebiasaan Sultan Agung inilah muncul kisah klasik Roro Mendut dan Pranacitra, di mana digambarkan Roro Mendut lebih memilih membuat dan menjual rokok untuk membayar denda karena penolakannya untuk dijadikan selir dari bangkotan bernama Tumenggung Wiraguna. Tapi percayakah Anda bahwa dulu rokok kretek awalnya dibuat untuk obat lho ? Ceritanya begini. Dulu rokok bukanlah barang dagangan. Orang Jawa dulu membuat rokok dengan menggulungnya secara sederhana saja, dari sini muncullah istilah "tingwe" atau "linting dhewe" (menggulung sendiri). Kemudian sepertinya mereka mulai bereksperimen dengan mencampur rajangan tembakau dengan rempah-rempah seperti cengkeh, damar dan akar wangi sampai kemudian naik kelas menjadi barang dagangan. Nah, eksperimennya ini lho yang menarik. Tahun 1870-1880 ada seorang penduduk Kudus, Jawa Tengah yang kemudian dikenal sebagai penemu dan perintis rokok kretek, namanya Haji Djamari. Pada saat itu ia merasa sakit di bagian dadanya. Dia coba mengoleskan minyak cengkeh ke dadanya dan ternyata sakitnya agak berkurang. Berdasarkan pengalamannya itu dia kemudian mencampurkan rajangan cengkeh ke dalam rajangan tembakau, dan lahirlah sudah rokok kretek yang selama ini kita kenal itu. Formula rokok kretek kemudian semakin paten karena eksperimen para pembuatnya, tapi komposisinya ya itu-itu saja, yaitu tembakau, cengkeh dan saos. Suara rokok ketika terbakar itu berbunyi kre....tek....tek....., dari sinilah kemudian orang menyebutnya kretek. Sejak itu rokok kretek berkembang menjadi sebuah industri yang dijalankan oleh pengusaha pribumi maupun pengusaha Tionghoa, awal mulanya industri ini adalah di Kudus. Lalu terjadilah persaingan antara kedua pengusaha ini, yang kemudian meletuskan kerusuhan pada tanggal 31 Oktober 1918. Akibatnya banyak pengusaha pribumi yang harus menutup usahanya karena mereka harus menjalani hukuman dari Pengadilan Hindia Belanda. Sejak itu pengusaha Tionghoa semakin mendapat angin dalam bisnis ini. [caption id="attachment_262878" align="aligncenter" width="104" caption="Suryo Wonowidjojo (sumber: www.nexthomegeneration.com)"][/caption] Dalam konteks iklim usaha paska kerusuhan itulah, Tjoa Jien Hwie (kelak bernama Surya Wonowijoyo) hadir. Laki-laki kelahiran Fukkien, Cina daratan yang lahir pada tahun 1923 ini diajak ayahnya untuk merantau ke Indonesia pada tahun 1925, tepatnya di Sampang, Madura. Setelah menjadi pemuda, dia bekerja di pabrik rokok "93" milik pamannya. Karena tidak cocok dengan pamannya, Surya kemudian pindah ke Kediri dengan membawa 50 buruh untuk mendirikan pabrik rokok sendiri pada bulan Juni 1958. Pabrik rokok itu dinamainya "Gudang Garam" dengan logo yang khas, deretan gudang yang dilalui oleh jalan kereta api. Saya dulu sangat penasaran kenapa nama Gudang Garam dipilih, dan logonya seperti itu, tapi setelah mempelajari sejarahnya saya jadi sedikit tahu, kemungkinan besar Surya mendapatkan ide nama dan logo itu karena dia berasal dari Madura yang memang terkenal sebagai penghasil garam itu. Tapi ada yang bilang kalau ide nama Gudang Garam itu dia dapatkan dari mimpi. Realitasnya mungkin ya kombinasi dari yang saya ceritakan di atas itu. Dengan modal yang sebenarnya cekak, Surya harus berusaha keras menghidupi pabrik rokoknya itu di tengah-tengah kompetisi yang ketat. Sekedar info saja, saat saya masih SMP di tahun 1986-an, di Kediri masih ada sekitar belasan pabrik rokok dengan merek macam-macam. Jadi saya bisa membayangkan bagaimana sulitnya Surya menjalankan usaha ini pada tahun 1958 itu. Banyak yang menjadi saksi, hampir setiap hari dia harus meninggalkan pabriknya pada dini hari. Dia juga ulet untuk tidak kenal lelah mencampur saus dan adonan rokoknya untuk mencari formula yang tepat. Satu hal yang membuat saya (dan juga seluruh warga asli Kediri) terkesan adalah model kepemimpinan Surya Wonowijoyo yang sangat "njawani". Walaupun dia pemilik dan berada di pucuk pimpinan perusahaan, dia selalu dekat dengan setiap karyawannya, bukan sebagai buruh tapi sebagai saudara. Saking dekatnya dengan karyawannya, dia sering mengeluarkan beasiswa untuk anak-anak para karyawannya, lalu mengijinkan mereka untuk kelak bekerja di Gudang Garam mengikuti jejak orang tuanya kalau mau. Hal ini dilandasi oleh falsafah yang dianut Surya, "semua yang didapatnya harus dikembalikan kepada orang lain". Karena itu praktis sampai saya meninggalkan Kediri untuk merantau saya tidak pernah mendengar ada demo karyawan di Gudang Garam ini. [caption id="attachment_262879" align="aligncenter" width="300" caption="Kantor lama Gudang Garam (sumber: www.thejakartapost.com)"][/caption] Paman saya adalah salah satu contoh orang yang diterima menjadi karyawan Gudang Garam langsung oleh keluarga Rachman Halim, setelah beliau bekerja sebagai tukang batu pada saat ada proyek perluasan Gudang Garam. Saya ingat, waktu saya masih di Kediri semua karyawan Gudang Garam sangat bangga dan loyal bekerja di sana. Walaupun gajinya tidak besar menurut ukuran orang modern, tapi cukup bagi orang kota kecil seperti kami. Buktinya mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya, bisa membangun rumah permanen, bisa membeli sepeda motor (rombongan ibu-ibu yang dulu berangkat menggunakan sepeda onthel, sekarang sudah berubah menggunakan sepeda motor lho) dan mendapatkan asuransi kesehatan maupun pensiun yang lumayan. Selain itu Gudang Garam dulu (enggak tahu kalau sekarang) sangat akrab dengan masyarakat Kediri. Setiap bulan Agustus Gudang Garam selalu menyelenggarakan pergelaran wayang kulit, jaranan, ludruk maupun ketoprak. Memperingati 17 Agustus-an, Gudang Garam juga selalu menampilkan karnaval mobil yang paling istimewa dibandingkan instansi dan perusahaan lokal lainnya. Dan menjelang lebaran seperti hari-hari ini biasanya di depan kantor lama Gudang Garam sudah berkumpul ribuan orang untuk mendapatkan amplop dari keluarga sang pemilik. Tidak seperti kebanyakan para pengusaha sekarang yang sangat agresif dan terkesan grusa-grusu, Surya mengelola Gudang Garam dengan hati-hati sekali dan sangat mandiri. Rhenald Kasali mencatat bahwa Surya (dan juga kelak dilanjutkan oleh anaknya, Rachman Halim) tidak pernah meminta fasilitas kepada pemerintah dan mereka selalu menggunakan duit sendiri termasuk saat membeli tanah dan membangun properti. Tahun 2000, tercatat bahwa Gudang Garam bahkan tidak mempunyai hutang sepeserpun. Surya Wonowijoyo meninggal pada tahun 1985. Tapi Gudang Garam tidak perlu kuatir. Anak sulungnya bernama Rachman Halim (atau Tjoa To Hing, lahir di Kediri 30 Juli 1947) memang sudah dikader untuk meneruskan kepemimpinan Gudang Garam. Tahun 1969 pada usia 22 tahun sudah diangkat sebagai pengawas proyek perluasan pabrik. Dia juga dikader ayahnya untuk menguasai teknik meracik saus dan membedakan cita rasa rokok. Kemudian Rachman diangkat menjadi kepala unit pasca produksi sebelum kemudian menjadi manajer pemasaran. [caption id="attachment_262882" align="aligncenter" width="116" caption="Rachman Halim (sumber: www.tokohindonesia.com)"][/caption] Jangan salah lho, Rachman sebenarnya hanya lulus SMA saja tapi hebatnya dia merintis kariernya dari bawah. Tahun 1970-an sampai 1983 dia diangkat sebagai direktur dan pada tahun 1984 dia diangkat sebagai Presiden Direktur Gudang Garam. Dalam posisi inilah dia merekrut para profesional dan mengirim adik-adknya untuk mengambil sekolah bisnis di luar negeri. Dalam bulan Agustus 1990, Rachman membawa Gudang Garam melantai di Bursa Efek Jakarta sampai sekarang, bahkan membawanya pula menjadi pemimpin pasar rokok di depan Djarum, Sampoerna dan Bentoel. Tahun 1990-an muncul ketegangan di antara anggota keluarga. Rachman ingin menjadikan Gudang Garam sebagai perusahaan modern tanpa campur tangan keluarga sementara adik-adiknya ingin tetap dikelola secara gotong royong oleh keluarga. Akhirnya Juni 2000, Rachman menyerahkan kepemimpinan perusahaan kepada profesional dari luar, yaitu Djajusman Surjowijono sedangkan dia sendiri menjadi Presiden Komisaris. Mengenai keuntungan perusahaan, terus menunjukkan kenaikan walau sekarang posisi sebagai pemimpin pasar sudah diambil alih oleh Djarum dan Sampoerna. Tahun 1999, mencatat laba sekitar Rp. 1,1 trilyun. Tahun 2000, sekitar Rp. 2,24 triliun. Sebagai gambaran, angka penjualan tahun 2005 adalah Rp. 24,85 triliun, sementara pada tahun 2007 adalah Rp. 28,2 triliun, di bawah Sampoerna yang mencatat angka penjualan Rp. 29.8 triliun. Gudang Garam juga tercatat sebagai pembayar pajak terbesar. Sebagai gambaran, cukai yang dibayarkan Gudang Garam setiap tahunnya sekitar Rp. 100 milyar, angka yang sangat besar lho. Selain masalah keluarga, yang sempat mengancam keberadaan Gudang Garam adalah BPPC (Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh) pimpinan Tommy Soeharto yang mendapatkan hak monopoli untuk menguasai pasar cengkeh pada masa-masa akhir Orde Baru. Ada kesan yang ditangkap banyak orang pada saat itu bahwa badan ini ingin menguasai semua pabrik rokok yang ada dengan memonopoli pasar cengkeh. Beruntung masa kegelapan itu akhirnya berlalu. Satu hal yang membedakan Gudang Garam dengan Sampoerna maupun Djarum adalah model bisnisnya yang sangat konservatif. Mereka hanya masuk di industri yang masih ada sangkut pautnya dengan rokok. Contohnya adalah industri kertas rokok, kemasan, bahan filter, pulp and paper serta sebuah hotel (hanya sebuah lho, itu pun sering dipakai sebagai tempat menyelenggarakan acara perusahaan). Berkebalikan dengan pabrik rokok pesaingnya, jalur konservatif inilah yang menyelamatkan Gudang garam dari bencana krisis moneter tahun 1998 yang lalu. Demikian dongeng tentang Gudang Garam dari saya. Sebagai penutup, Rachman Halim akhirnya meninggal dunia pada tanggal 27 Juli 2008 di Singapura karena penyakit jantung. Dan bisa ditebak, di tengah tuntutan kesehatan untuk mengurangi konsumsi tembakau, juga di tengah persaingan pangsa pasar rokok domestik maupun regional (bayangkan dunia barat secara munafik menuntut pengurangan konsumsi tembakau tapi tetap saja mengakuisisi perusahaan-perusahaan rokok domestik besar dengan merek yang sudah besar pula), Gudang Garam sedang ditunggu bagaimana dia bisa bertahan dalam situasi sulit seperti ini. Catatan penulis: Saat kami berkunjung ke Gramedia Balikpapan, kami melihat ada tumpukan buku yang ternyata sedang diobral murah. Seperti biasa, insting saya selalu bergerak cepat setiap kali tahu ada obral buku murah he..he... Dan benar, ada sebuah buku yang lumayan bagus. Judulnya Asal-Usul Merek, diterjemahkan dari The Origin of Brands tulisan dari Al dan Laura Ries, konsultan pemasaran terkenal dari Atalanta, Amerika Serikat. Buku ini sangat menarik. Saya yang bukan berlatarbelakang ekonomi saja sangat menikmati buku ini. Saya jadi tahu bagaimana perjuangan dan pasang surutnya sebuah merek dibangun. Selesai membaca buku ini, saya mendapat insipirasi untuk mendokumentasikan merek-merek asli Indonesia yang selama ini sudah berkibar di tanah air. Tidak ada maksud tulisan ini sebagai media iklan sebagaimana yang dilarang di Kompasiana dan saya juga tidak mendapatkan imbalan apapun dari serial tulisan ini. Tulisan ini sekedar sebagai penanda bahwa di tengah gempuran produk-produk asing, kita sebenarnya memiliki produk dengan merek yang sudah lama dibangun. Semoga nasionalisme kita bangkit dengan memilih menggunakan produk dalam negeri. Salam. Sumber literatur: 1. J.A. Noertjahyo, Sigaret Kretek, Tonggak Bangsa, Kompas Edisi Sabtu 1 Januari 2000 2. M. Taufiqurohman, Dewi Rina Cahyani, Hani Pudjiarti, Leanika Tanjung, Gudang Garam: Nikotin, Itu Musuhnya, Tempo, edsisi 16 Januari 2000. 3. Majalah TEMPO, edisi Liputan Khusus 19 Agustus 2001. 4. Retno Sulistyowati, Dwidjo Utomo Maksum, Perginya Sang Penunggu Dapur Saus, Tempo edisi 10 Agustus 2008 (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 20 September 2010)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H