Ada fenomena yang berbeda saat meninggalnya Michael Jackson dan saat meninggalnya Gesang. Nun jauh di Amerika sana, saat meninggalnya Michael Jackson diwartakan, jutaan orang menjadi histeris, di mana-mana diberitakan bahwa jutaan penggemar Michael Jackson menangis. Terjadi histeria massa di mana-mana. Hal yang menarik, toko-toko CD dan beberapa mall memutar lagu Michael Jackson yang melegenda seperti You are not alone atau We are the world. Bisa ditebak, toko-toko CD maupun lapak-lapak bajakan diserbu oleh para penggemar yang berebut ingin membeli dan mengoleksi album Michael Jackson. Berikutnya, kematian Michael Jackson tak ubahnya seperti promosi atas film terbarunya That's It. Di mana-mana di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, orang memenuhi gedung bioskop untuk menonton film tersebut. Berikutnya DVD filmnya juga laris bak kacang goreng.Saya heran, Michael Jackson tinggal jauh di sana sementara kita jauh di sini. Michael Jackson seumur hidupnya dipenuhi dengan skandal, tapi kita mengabaikannya dalam sekejap. Kita ringan-ringan saja membelanjakan uang untuk membeli produk-produk sang idola yang tinggal jauh di sana. Mengherankan memang, tapi itulah yang terjadi, psikologi sang penggemar terhadap pujaannya. Terkadang nalar dan logika tak bisa dipakai di sini he..he... Saat meninggalnya Pak Gesang tanggal 13 Mei 2010 kemarin, saya berharap hal serupa juga akan terjadi, minimal di Balikpapan kota tempat tinggal saya. Harapan yang saya kira tidak muluk-muluk mengingat reputasi Pak Gesang yang begitu baik sebagai komponis terkenal di beberapa negara, juga reputasi hidupnya yang sederhana dan jauh dari skandal, malah seringkali berada di pihak yang dirugikan karena banyaknya pembajakan atas karya-karyanya. Ingin menyaksikan apa yang terjadi pergilah kami sekeluarga ke salah satu mall terbesar di kota kami. Sesampai di sana, suasana biasa-biasa saja, tidak tampak ada perubahan. Tidak seperti saat lagu You Are Not Alone diputar sampai beberapa hari pada tahun yang lalu, pada hari itu tidak ada lagu Bengawan Solo yang diperdengarkan. Lalu kami memasuki toko Disc Tarra. Tidak ada lagu Pak Gesang yang diputar di sana sekedar sebagai pembangkit memori atas reputasi Pak Gesang. Tidak ada pula kerumunan orang di bagian CD lagu-lagu keroncong di mana orang-orang saya kira akan berebut membeli CD-CD karya Pak Gesang. Itulah cerminan karakter kita saat ini. Entah, di kota-kota yang lain ada fenomena serupa atau malah berbeda, mungkin rekan-rekan pembaca bisa berbagi di sini. Tak peduli dengan kondisi yang terjadi, saya dan istri memang sudah bertekad untuk menambah koleksi CD keroncong kami dengan membeli CD Pak Gesang. Ada 2 CD yang kami beli malam itu. Semuanya bagus, menurut saya lho he..he... CD yang pertama adalah Album Emas Keroncong Gesang. Album ini dibawakan oleh Pak Gesang sendiri, direkam pada bulan Juni 1988. Ada 12 lagu karya Pak Gesang yang bisa kita nikmati. Semua lagu memiliki kisah tersendiri. Langgam Bengawan Solo yang begitu mendunia, berkisah tentang sungai yang membelah kota Solo, diciptakan Pak Gesang di tahun 1940 saat melamun di tepi bengawan. Ada langgam Jembatan Merah yang berkisah tentang suatu tempat bersejarah di Surabaya yang pernah menjadi medan tempur Battle of Soerabaia 1945. Ada langgam Dunia Berdamai yang bernuansa patriotik. Dan langgam-langgam yang lain yang enak di telinga. Terus terang, dalam setiap langgam yang dinyanyikan Pak Gesang ini saya bisa menghayati suasana hati Pak Gesang saat menciptakannya. CD yang kedua adalah The Colourful of Bengawan Solo, yang didedikasikan untuk ulang tahun Pak Gesang yang ke 88 dan diluncurkan pada September 2005. Album ini tampaknya ingin membuktikan kebenaran cerita banyak orang dan negara bahwa langgam Bengawan Solo enak dinyanyikan dalam segala versi dan bahasa. Dalam kata pengantarnya Pak Gesang mengatakan bahwa langgam Bengawan Solo memang bersifat fleksibel, dalam artian lagu tersebut bisa dibawakan dalam versi apapun dan tetap terdengar enak di telinga tanpa harus menghilangkan ciri khas asli tersebut. Pak H. Susilo, selaku produser dari PT Gema Nada Pertiwi menyatakan bahwa Bengawan Solo tidak hanya terkenal di bumi pertiwi tapi juga di pelosok dunia seperti Tiongkok, Jepang dan Belanda. Juga sudah 2 kali difilmkan dan banyak negara yang mengadaptasi dan menterjemahkan lagu ini ke dalam bahsanya amsing-masing. Saya sendiri pernah kaget waktu melihat salah satu film Korea karena di tengah-tengah film terdapat lagu Bengawan Solo yang dijadikan soundtracknya. Saat masih bekerja di perusahaan Jepang dulu, beberapa teman kerja yang berkesempatan mengunjungi kantor pusat di Jepang juga bersaksi mengenai kepopuleran lagu Bengawan Solo di Jepang. Pantas saja kalau akhirnya Pak Gesang mendapatkan penghargaan dari Kaisar Akihito. Salut !!!! Dan demikianlah, di album ini saya bisa menikmati Bengawan Solo dinyanyikan dalam 14 versinya. Ada Iin yang menyanyikan dalam versi pop country, Mus Mulyadi yang menyanyikan dalam versi Disco Reggae, Tuti Maryati menyanyikan dalam versi Degung Sunda, Sundari Soekotjo, Pak Gesang dan Asti Dewi yang menyanyikan dalam versi asli keroncong. Sementara Tri Ubaya Cakti Chorus menyanyikan dalam versi paduan suara diiringi oleh Shanghai Orchestra. Melani Tunas menyanyikannya dalam versi keroncong mandarin, Lidya Lau dalam versi pop anak-anak, Harry dalam versi mandarin cha cha. Ada juga yang dimainkan oleh Deny dalam versi Kecapi Suling Sunda. Dan agak nyentrik ada Gens'21 dan Dong Feng yang menyanyikannya dalam versi rock. Ada 1 versi lagi dari Bengawan Solo yang belum pernah saya dengarkan sebelumnya. Yaitu Varia Bengawan Solo yang diciptakan oleh Gesang dan Farid Hardja. Dalam album ini dinyanyikan versi mandarinnya oleh Shanghai Opera Academy Chorus diiringi oleh Yogyakarta Academy Orchestra. Lagu Varia Bengawan Solo ini terdengar begitu agung, megah dan mempesona tanpa menghilangkan ciri khas Bengawan Solo. Merinding dibuatnya saat mendengarkannya pertama kali. Mengingatkan saya pada lagu tema Piala Dunia 2006 "The Time of Our Lives" yang dinyaikan oleh Il Divo bersama Tony Braxton. 2 CD di atas melengkapi koleksi saya akan lagu Bengawan Solo yang sebelumnya sudah saya punyai dalam versi aransemen World Music ala Viky Sianipar. Dalam versi ini Bengawan Solo dinyanyikan oleh Ki Sujewo Tejo diiringi oleh musik ala Viky yang merupakan perpaduan dari instrument barat seperti flute dengan instrument asli Indonesia seperti rebab, gendang dan cak-cuk. Kalau Anda malu mendengar musik keroncong dan lebih senang dengan aransemen world music ala Yanni atau Kitaro, Anda pasti tak akan malu mendengarkan Bengawan Solo dalam versi Viky Sianipar ini lho he..he... Saya masih ingat kejadian lucu dulu saat membeli CD ini. Sungguh, kepercayaan diri saya diuji saat itu. Seperti biasa terkadang orang ingin mencoba setiap CD yang dibelinya. Nah, saya juga ingin mencoba CD ini. Saat diputar oleh mbak kasirnya, terdengarlah aransemen musik yang megah tapi ternyata lagunya Bengawan Solo. Karena nganeh-anehi (wong biasanya yang diputar itu lagu pop, lagu barat atau jazz he..he..) semua pengunjung di Disc Tarra saat itu menoleh ke saya. Mungkin pikirnya, ini orang udik dari kampung mana beli CD ginian he..he.. Itulah kesan yang saya bisa bagikan mengenai Pak Gesang. Saya tidak tahu kapan lagi akan muncul komponis besar di negeri ini yang sekelas Pak Gesang. Saya juga tidak tahu siapa lagi yang kelak bisa mewarisi musik keroncong kita ini ? Menurut Sundari Soekotjo dalam thesisnya, secara ilmiah sudah terbukti bahwa musik keroncong adalah musik asli Indonesia. Walaupun beberapa instrumennya berasal dari Portugal, tapi Sundari Soekotjo tidak menemukan musik keroncong seperti yang kita miliki ini, bahkan di Portugal sendiri. Karena itulah, sudah pasti keroncong akan punah dari negeri kita ini kalau tidak ada yang mau mewarisinya. Sementara di Malaysia, keroncong sudah menjadi ikon salah satu negara bagiannya karena keroncong menjadi musik favorit keluarga sang sultannya. Bahkan diadakan festival keroncong secara rutin di sana. Ada juga stasiun radio FM di sana yang spesialisasinya memutar musik keroncong. Sementara kita ?! Itulah kita, manusia yang suka menyia-nyiakan kekayaan negeri sendiri tapi lebih suka menghamba pada negeri asing. Moga-moga saya salah. Foto : dokumen pribadi (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 27 Mei 2010)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H