Pendukung kemerdekaan menang akhirnya. Hasil referendum menyatakan, 78,5 persen rakyat Timor Timur menentang opsi otonomi khusus dan lebih memilih merdeka. Situasi tegang. Sepanjang sore suara tembakan terdengar di Dili. Evakuasi mulai dilakukan. Sebagian wartawan dan orang sipil asing mulai diungsikan ke Australia.
Redaktur Times di London menyarankan Parry segera meninggalkan Dili. Parry mulai merasa tak pasti. Berkali-kali ia menuliskan dan menghapus namanya dari daftar orang-orang yang ingin dievakuasi. Berlindung di markas Unamet bukan jaminan keselamatan. Milisi bisa menyerang sewaktu-waktu.
Parry akhirnya memilih mengungsi ke Darwin, Australia. "Saya telah menjadi pengecut dan melarikan diri. Saya sudah lari karena takut terbunuh, atau lebih tepatnya, mati ketakutan," tulisnya dalam buku In The Time.
Ketakutan ini sangat manusiawi. Sebelum meninggal tahun 1975, Roger East sempat memaksa Jose Ramos Horta untuk ke Balibo, mencari lima wartawan muda yang diduga tewas di sana. Namun, East akhirnya memilih 'balik kucing' karena ketakutan setelah diguyur pelor oleh helikopter Indonesia. Ia memilih kembali mencari, setelah ada pergolakan batin dalam dirinya.
Parry menghabiskan waktu dua pekan di Darwin. Kisah-kisah kekejaman pasca referendum mulai menyebar: pembunuhan pendeta, ratusan ribu orang mengungsi ke gunung, pembumihangusan rumah-rumah warga. Dan, Parry mengakui, ia tidak cukup berani berada di tengah-tengah itu semua.
Parry kembali ke Timor Timur setelah pasukan asing ditambah untuk menjaga keamanan. Namun Timor Timur tetap berbahaya bagi seorang jurnalis. Sander Thoenes dari koran Christian Science Monitor, Amerika Serikat, menjadi wartawan asing ketujuh yang tewas di negara itu. Pengadilan Timtim menjatuhkan vonis bersalah kepada seorang mayor Indonesia yang didakwa membunuh Thoenes. Namun, vonis itu adalah vonis kosong, dan sang mayor tetap bebas.
Parry terjatuh dalam kesedihan setelah meliput kekerasan di Timor Timur. Ia menyebut dirinya menderita post-traumatic stress disorder ringan. "Ini sembuh bersama dengan waktu, salah satunya karena saya menulis buku ini (In The Time of Madness)," katanya kepada saya. [oryza a. wirawan]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H