Mohon tunggu...
Ondo Supriyanto
Ondo Supriyanto Mohon Tunggu... -

Lahir di lereng Bukit Pati Ayam, Pati. Warga Negara Indonesia biasa. Menyukai membaca, menulis, menonton film, mendengarkan musik, jalan-jalan, memotret dan hal-hal yang menyenangkan. Di atas segalanya, saya juga gandrung pada kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Soleman, Menggiling Kopi Sampai Mati

18 Mei 2011   15:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:30 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_108633" align="alignleft" width="300" caption="PAK Leman saat menggiling kopi. Foto: Ondo Supriyanto"][/caption] KENALKAN namanya, Soleman. Tapi oleh pelangganya dia dipanggil Pak Leman saja. Dari pengakuannya, dia berumur 55 tahun. Katanya, itu sesuai yang tercantum dalam KTP. Seperti lazimnya orang-orang desa seusianya, Pak Leman tak punya akte kelahiran. Saat ditanya, tahun berapa dia lahir, jawabannya tidak ada yang pas. “Kalau tidak salah, waktu gegeran PKI saya sudah ikut bapak angon kerbau.”

Pertemuan dengan Pak Leman terjadi ada akhir April lalu. Saat itu, pria paruh baya asli Dusun Kokopan, Desa Mengkowo Kecamatan/Kabupaten Kebumen itu sibuk menggiling biji kopi dengan gilingan kopi kuno di selatan Pasar Sruni, Desa Bandung, Kecamatan/Kebupaten Kebumen. Bubuk kopi halus yang dihasilkannya kemudian dibungkus plastik ukuran satu ons. Kopi-kopi itu kemudian dijual kepada para warga yang ke pasar.

Selain kopinya, saya sebenarnya tertarik pada gilingan kopi antik merek Spong No 4 yang dipakai. Gilingan itu ternyata buatan Inggris. Saya buka-buka di internet, alat giling itu dijualbelikan di pasaran barang antik. Salah satu blog barang lawas mengklaim telah melegonya seharga Rp 200 ribu. Seharga itulah kira-kira gilingan yang dipasang di boncengan sepeda jengki Pak Leman kalau dijual.

Saat itu, saya teringat kampong saya di Pati. Kebetulan rumah orangtua saya bersebelahan dengan warung kopi. Setiap sore hari, harum aroma kopi menyeruak saat warung sebelah menumbuk kopi. Pengolahannya masih tradisional. Kopi yang telah disangrai dimasukkan ke dalam lumpang dan ditumbuk menggunakan alu. Terus dideplokhingga halus. Romantisme masa lalu itulah yang menyebabkan saya lebih menyukai kopi tubruk dibanding jenis kopi lain.

[caption id="attachment_108634" align="alignright" width="300" caption="BIJI kopi yang siap digiling. Foto: Ondo Supriyanto"][/caption] Ya, bagi Pak Leman, gilingan kopi itu tak ternilai harganya. Selama hampir 40 tahun, gilingan kopi itu telah menemaninya. Selama itu pula Pak Leman menjalani profesinya sebagai tukang giling kopi keliling. Setiap hari Selasa dan Sabtu dia mangkal di Pasar Desa Wonosari, Kecamatan/Kebumen. Sedangkan hari Senin dan Kamis dia melayani pelanggan di Pasar Sruni. Namun tidak jarang ia melayani pelanggan rumahan yang akan menggilingkan kopi.

Pak Leman termasuk orang yang setia menjalani profesinya. Bagaimana tidak,menjadi tukang giling kopi sejak masih bujang, dia masih bertahan hingga punya lima anak dan empat cucu. Dari menggiling kopi itulah, ekonomi keluarganya ditopang. Jangan bayangkan penghasilannya sebesar omzet pabrik-pabrik kopi instan. Dalam sehari, rata-rata Pak Leman mengantongi penghasilan kotor Rp 30 ribu dari penjualan sekitar 1 kilogram kopi bubuk.

Penghasilan itu belum dikurangi modal dan tenaga yang ia keluarkan. Dia membeli biji kopi mentah di pedagang Pasar Tumenggungan Rp 17 ribu-20 ribu per kilogram. Biji kopi itu ia sangrai. Untuk kopi capuran, satu kilogram biji kopi diberi campuran beras dengan perbandingan satu banding satu. Kopi campur itu harganya Rp 3.000 per ons. Sedangkan pelanggan yang menginginkan kopi murni harganya Rp 5.000 per ons. Sedangkan jika hanya menggiling saja, upahnya Rp 6.000 per kilogram.

Pelanggan Pak Leman mayoritas orang yang sudah berumur . Maklum, anak muda jaman inilebih suka kopi kemasanyang dibuat oleh pabrik. Jaman memang sudah berubah. Manusia ingin semua serba cepat dan tak mau repot. Termasuk dalam hal minum kopi. Bahkan sekadar untuk menambahkan gula dalam gelas saja manusia sudah malas. Jadilah, selera kopi dari anak kecil hingga dewasa samasemua karena pabrikmenakarnya dengan satu ukuran saja. Diam-diam Pak Leman mengkhawatirkan jika warung kopi di pedesaan mulai tertular menjual kopi kemasan.

[caption id="attachment_108635" align="alignleft" width="300" caption="INILAH bubuk kopi yang dihasilkan. Foto: Ondo Supriyanto"][/caption] Di tengah gempuran kopi instans yang dijual di warung, pasar minimarket, Pak Leman masih tetap bertahan. Pak Leman bertekad akan terus menjalani profesi itu sampai benar-benartak kuat lagi. Keluar masuk kampung, setiap hari dia berkeliling memboncengkan gilingan kopi antik dengan sepedanya. Meski selamanya berlelah-lelah dapat menghasilan rupiah. Saat hujan turun pernah sehariantak satu pun pembeli yang datang.

Dalam tulisan ini, saya ingin mengenangPak Leman sebagai sosok orang Indonesia dan penggiling kopi sejati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun