SETIAP pergantian tahun saya selalu ingat sosok Senthu. Padahal kami hanya bertemu sekali, saat wawancara di rumahnya di Kampung Karang Kidul, Kelurahan Rejowinangun Selatan, Kota Magelang, Kamis 28 Desember 2006. Bahwa dia tak lagi ingat kepada saya itu pasti, karenasaya juga sudah lupa-lupa ingat rupa wajahnya.
Saat malam tahun baru Senthu (60) selalu berada di jalanan. Tetapi bukan untuk menyaksikan pesta kembang api. Melainkan untuk menjajakan terompet hasil karyanya. Setiap penghujung tahun tiba, dia selalu gembira. Malam tahun baru adalah berkah bagi perajin terompet seperti dirinya.
Senthu yang asli Wonogiri itu sudah 35 tahun menjadi perajin terompet. Selama itu pula dia menjajakan terompet tanpa pernah absen. Malam tahun baru adalah hari raya baginya. Alasannya, hari biasa pemilik nama asli Tamin itu hanya memproduksi sekitar 25 terompet per hari. Sedangkan mendekati tahun baru dia bisa membuat lebih dari 200 terompet.
Beragam jenis dan model terompet dia buat, mulai model klasik, drum band, plengkung dan sekarang sedang model terompet berbentuk ikan yang disebut terompet Indosiar. Selain dijual sendiri, dengan harga Rp 1.500 sampai Rp 5.000, menjelang tahun baru ini beragam terompet itu dia memasok kepada pedagang musiman yang mencapai 15 orang.
"Pada hari biasa permintaan terompet dan topi kertas paling banyak pas ada acara ulang tahun, selebihnya sepi," ujar Senthu saat ditemui di kediamannya.
Rejeki memang misteri, bukan sebuah teka-teki silang yang bisa dicari jawabanya melalui kamus pintar. Malam pergantian tahun tak selamanya indah. Kadangkala berkah itu berubah bubrah ketika hujan turun di malam tahun baru. Tidak banyak orang yang keluar rumah.Ujung-ujungnya terompet yang dibuatnya tidak laku-laku.
Nestapa itu kian berat ditanggung, saat ada pedagang nakal yang tidak mau membayar uang terompet yang diambil. Kejadian naas itu pernah dia alami. Seorang pedagang asal Borobudur mangkir membayar.
Menjadi perajin terompet adalah pilihan hidup yang ia ambil. Kisahnya, saat menjadi kuli bangunan di Jakarta tahun 1971, dia memanfaatkan waktu luang untuk merangkai terompet lalu menjualnya. Maklum Wonogiri daerah asal bapak tiga orang anak itu adalah sentra kerajinan terompet. Karena sering melihat dia pun tak terlalu kesulitan membuatnya.
“Ternyata hasil merangkai terompet sehari hasilnya lebih banyak ketimbang kerja menjadi kuli bangunan selama tiga hari,” tuturnya. Akhirnya dia memutuskan banting setir dari kuli bangunan menjadi penjual terompet di Jakarta.
Baru tahun 1990 Senthu pindah merantau ke Kota Magelang. Di kota itu pun dia masih menekuni pekerjaan sebagai perajin terompet. Bersama mainan anak lainnya, terompet hasil rangkaian tangannya dijual di Pasar Rejowinangun persisnya di depan toko emas Mustika di Jalan Mataram.
Sedangkan menjelang tahun baru, dia konsentrasi untuk membuat terompet. Sedangkan yang berjualan dagangan digantikan oleh istrinya Kasini (49). Meski dengan penglihatan yang terbatas, demi menopang ekonomi keluarga, perempuan asli Surakarta itu terpaksa berjualan. Mata Kasini nyaris mengalami kebutaan, akibat katarak yang dideritanya