"Sudah berobat ke mana-mana namun tidak sembuh juga. Karena dananya habis ya sekarang berhenti dulu," ungkap Kasini berusaha tegar.
Selama menjadi perajin terompet, beberapa tahun terakhir merupakan masa tersulit. Jauh lebih buruk jika dibandingkan sebelum reformasi. Dia pun harus berjuang keras untuk membiayai sekolah anak bungsunya yang duduk di bangku SMA. "Jika dulu berpenghasilan Rp 20.000 bisa untuk biaya sekolah anak, sekarang mendapatkan Rp 25.000 tapi hanya cukup beli beras."
Di tengah himpitan kesulitan ekonomi, Senthu tidak pernah berputus asa menjalani kehidupannya. Di rumah kontrakan di RT 05 RW 05Â di Kampung Karang Kidul dia masih setia merangkai terompet. Di ruang tamu yang dijadikan ruang kerja itu tampak sebuah televisi hitam putih merk Libra. Entah masih hidup atau sudah rusak. Masih di rak yang sama, teronggok radio dua ban merk Nobee. Dua merek yang sama sekali saya tahu made in negara mana.
“Kadang ada juga yang datang ke sini untuk minta diajari membuat terompet," katanya. Dengan senang hati dia mengajarinya tanpa takut disaingi. Prinsipnya rejeki itu sudah ada yang mengatur.
Saking banyaknya,Senthu bahkan tidak ingat lagi berapa jumlah terompet yang telah dia buat. Apalagi, apapun dan bagaimana pun bentuknya, suara terompet bunyinya nyaris sama. Terkadang dia senang bisa memberi kebahagian bagi orang lain melalui terompet buatannya. Meski begitu tak jarang dia sedih karena, dari tahun ke tahun kehidupannya tak pernah berubah. Kalau sudah begitu, dia merasa suara terompet lebih mirip suara tangisan.
Selamat Tahun Baru 2011. Bisa jadi, terompet yang kita tiup adalah buatan Senthu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H