Tahun 1999 dianggap sebagai Masa bersejarah bagi bangsa Indonesia, khususnya warga negara Muslim dimana pada tahun itulah negara ini menerbitkan salah satu peraturan hukum yang khusus mengatur tentang Pengelolaan. Dinamika keinginan untuk menentukan peraturan hukum tentang Zakat sudah dimulai sejak lama. Pada tahun 1960-an, Rancangan Undang-Undang tentang Zakat sudah dicoba untuk diajukan tetapi "ditolak" Dengan alasan bahwa Undang-Undang yang khusus mengatur tentang Zakat belum diperlukan tetapi cukup diatur melalui Peraturan Menteri Agama. Pada akhirnya, dikeluarkanlah Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 4 Â tahun 1968 tanggal 15 Juli 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat tingkat Desa dan Kecamatan diseluruh Indonesia. Salah satu diantara poin di dalam peraturan Menteri Agama tersebut adalah terdapatnya ketentuan bahwa pengurus Badan Amil Zakat terdiri dari aparatur Pemerintah. Sayangnya, PMA tersebut tidak berumur panjang karena beberapa waktu setelah itu, muncul Instruksi Menteri Agama No. 1 Tahun 1969 yang menetapkan penundaan pelaksanaan PMA No. 4 tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat di atas hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Penundaan tersebut digadanf-gadang dipengaruhi oleh Pernyataan Presiden Soeharto yang bersedia dan siap diri mengurus pengumpulan Zakat. Bahkan, Beliau kemudian  mengeluarkan surat (Edaran) No. B. 133/Pres/11/1968 Yang dialamatkan kepada seluruh Instansi atau pejabat terkait untuk membantu merealisasikan pengumpulan Zakat. Meskipun pelaksanaan tersebut ditunda tidak menghalangi munculnya berbagai Badan pengelola Zakat di Indonesia. Salah satu Badan yang Populer adalah Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila yang dibentuk oleh Soeharto pada tahun 1982 dengan salah satu fungsinya adalah memaksimalkan Pengelolaan Zakat di Indonesia.
Terlepas dari dinamika ke sejarahannya, lahirlah Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Hal tersebut bukan hanya menandai bahwa adanya Political Will Dari Pemerintah untuk meneruskan keinginan umat Islam, Melainkan juga menandai adanya kejelian Pemerintah dalam melihat potensi luar biasa dalam Zakat itu sendiri.
Potensi besar secara ekonomi dan sosial turut mendorong lahirnya Undang-Undang nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan. Undang-Undang ini terdiri dari 10 Bab dan 25 pasal yang secara umum mengatur
 Ketentuan-ketentuan mengenai Cara-cara Pengelolaan, Pihak yang diberi wewenang untuk mengelolanya hingga pemberian sanksi bagi Pihak-pihak yang menyelewengkannya.Disisi lain, usaha Pengelolaan itu memiliki tujuan agar potensi Zakat yang luar biasa ini dapat dilaksanakan secara optimal. Hasil penelitian Center for the study of religion and culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bersama The Ford Foundation (2006), Perkiraan dana Zakat, Infaq, shadaqah mencapai sekitar 19,3 triliun Rupiah pertahun. Sementara menurut Habib Ahmed (2010) Memperkirakan potensi Zakat, Infaq, shadaqah, mencapai sekitar 100 triliun. Mirisnya, potensi tersebut belum didayagunakan secara optimal sehingga upaya pemberdayaan masyarakat melalui Zakat pun belum Terlaksana dengan memadai. Maka dengan adanya potensi tersebut, Pemerintah dengan dorongan masyarakat, menerbitkan suatu peraturan baru berupa Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang Pengelolaan di Indonesia.
Sebagai suatu peraturan perundang-undangan, undang-undang ini dilengkapi pula dengan beberapa aturan lain yang memperjelas keterlaksanaannya, antara lain, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional dan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan. Karena menitikberatkan pada Pengelolaan sebagai fokus, salah satu sektor yang dibidik oleh Undang-Undang ini adalah ketentuan yang mengatur mengenai peran Badan atau lembaga pengelola Zakat, yang di dalam Undang-Undang ini disebut dengan Badan Amil Zakat. Setelah lebih dari sepuluh tahun undang-undang No.38/1999 tentang Pengelolaan dinilai kurang optimal, muncul dorongan untuk mengubah dan memperjelas substansinya agar lebih menggigit dan mengarah pada tujuan yang lebih terukur.
Beberapa alasan perubahan tersebut perlu dilakukan, diantaranya: kurang maksimalnya peran Pemerintah dan lembaga Zakat dalam mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikan Zakat, belum jelasnya penentuan wajib Zakat, barang-barang yang dizakati, nishab, dan batasan haulnya. Hal utama lain yang tidak kalah penting adalah belum maksimalnya Pengelolaan zakat yang memberikan output signifikan bagi perbaikan ekonomi. Kondisi itulah yang melatarbelakangi perubahan undang-undang No.38/1999 dengan tujuan untuk memaksimalkan peran Zakat, infaq, dan shadaqah untuk pembangunan umat. Perubahan itu melahirkan undang- undang No.23/2011 tentang Pengelolaan. Meskipun terdapat beberapa perubahan, undang-undang Pengelolaan terbaru ini sebenarnya memiliki kemiripan, di antaranya adalah fokus yang cukup mendalam mengenai keberadaan Badan atau lembaga pengelola Zakat.Â
Sebenarnya keberadaan Badan atau lembaga pengelola Zakat inilah yang menjadi salah satu persoalan mengapa perubahan undang-undang tersebut dilakukan. Sebagai suatu undang-undang, UU No.23/2011 ini disusun berdasarkan tiga landasan utama, yaitu: filosofis, sosiologis, dan yuridis. Landasan filosofis UU tersebut berupaya menjabarkan adanya prinsip-prinsip ketuhanan dan keadilan sosial yang terdapat di dalam Pancasila. Melalui Zakat, prinsip ketuhanan dapat terlihat mengingat Zakat merupakan salah satu ajaran Agama (Islam).Â
Landasan sosiologis mendasarkan pada kebutuhan mendesak akan peraturan perundang-undangan yang dapat menciptakan tata kelola yng baik (good governance) dalam Pengelolaan, infak, shadaqah. Sedangkan landasan yuridisnya merujuk pada ketentuan konstitusi yang menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara sebagaimana terdapat dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat 1. Pengelolaan, sebagaimana termuat dalam undang-undang No.23/2011 diatur dengan dua model, yaitu: Pertama, Zakat dikelola lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah. Kedua, Zakat dikelola lembaga yang dibentuk oleh masyarakat.
Untuk model yang pertama, Pemerintah memiliki wewenang dalam mengatur berbagai macam ketentuan mengenai Pengelolaan. Tetapi dalam penerapannya, Pemerintah lebih memposisikan diri sebagai regulator dan fasilitator dalam rangka memastikan bahwa Pengelolaan dilakukan dengan baik dan diperuntukkan demi kemaslahatan umat. Sementara untuk model yang kedua, masyarakat memiliki wewenang yang besar untuk mengelola Zakat, akan tetapi diharuskan berkoordinasi, melaporkan, dan siap dibina oleh Pemerintah. Penerapan kedua model tersebut untuk mewujudkan tata kelola Zakat yang ideal. Jika wewenang Pengelolaan diserahkan sepenuhnya kepada negara, intervensi negara dinilai sangat kuat dan hal itu akan melemahkan peran serta masyarakat. Selebihnya jika Pengelolaan diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat, pendayagunaan Zakat untuk pemberdayaan umat tidak akan optimal.
Pengelolan Zakat yang diamanatkan oleh undang-undang merupakan suatu cermin dari hubungan yang konstruktif dan kritis itu. Negara merupakan regulator dan fasilitator, tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga yang diberi kewenangan secara mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa antara negara dan masyarakat tidak dapat berdiri sendiri-sendiri dalam proses Pengelolaan karena keduanya menyadari adanya tujuan penting dari Pengelolaan itu, yaitu pemberdayaan umat suatu tujuan yang menjadi idaman oleh masyarakat manapun. Di negara lain, Pengelolaan memiliki beberapa model. Arab Saudi, Pakistan, dan Sudan memiliki undang-undang wajib Zakat berikut institusi yang menanganinya. Sementara di Kuwait dan Yordania,