Mohon tunggu...
Oriza Yogiswara
Oriza Yogiswara Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

hobi saya mengetik ....... tapi boong

Selanjutnya

Tutup

Politik

Populisme Berwajah Politik Identitas Keagamaan di Indonesia

25 Oktober 2024   01:05 Diperbarui: 25 Oktober 2024   01:44 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Populisme, sebagai sebuah fenomena politik, sering kali berakar pada retorika "kita" versus "mereka," di mana para pemimpin populis mengklaim berbicara atas nama rakyat, melawan elite yang dianggap korup dan tidak peduli pada kepentingan umum. Di Indonesia, populisme ini sering kali bercampur dengan politik identitas keagamaan, di mana simbol-simbol agama digunakan untuk meraih dukungan politik. Melalui tinjauan filsafat, kita dapat memahami bagaimana populisme berbasis agama ini membentuk dan merespons dinamika sosial, politik, dan budaya di Indonesia, serta implikasinya bagi demokrasi dan keberagaman.

1. Populisme: Antara Ideologi dan Strategi Politik
Secara filsafat, populisme sering kali tidak dipandang sebagai ideologi yang solid, melainkan lebih sebagai sebuah pendekatan atau strategi politik. Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, dua tokoh filsafat politik yang mempelajari populisme, melihat populisme sebagai upaya membangun "rantai ekivalensi" antara tuntutan-tuntutan berbeda yang terpinggirkan untuk menciptakan kesatuan rakyat melawan kekuatan elite. Dalam konteks Indonesia, populisme keagamaan berkembang melalui penggunaan simbol-simbol agama sebagai alat untuk membangun narasi "kami" (umat yang tertindas atau terpinggirkan) melawan "mereka" (elite yang dianggap sekuler, liberal, atau anti-agama).

Populisme keagamaan di Indonesia sering kali mengambil bentuk retorika Islamisme politik, di mana Islam sebagai agama mayoritas diangkat sebagai identitas kolektif utama yang dihadapkan dengan elite yang dianggap tidak mewakili aspirasi keagamaan masyarakat. Dengan demikian, populisme ini cenderung bersifat eksklusif, karena hanya mewakili kelompok agama tertentu dan sering kali mengabaikan atau bahkan memusuhi keberagaman identitas di dalam bangsa.

2. Politik Identitas Keagamaan: Filsafat Komunitarianisme

Politik identitas keagamaan di Indonesia berkembang berdasarkan filsafat komunitarianisme, yang menekankan pentingnya identitas kelompok dan nilai-nilai komunitas dalam membentuk kebijakan politik. Berbeda dengan liberalisme, yang menekankan hak-hak individu, komunitarianisme menempatkan nilai dan norma komunitas di pusat kehidupan sosial. Dalam konteks populisme keagamaan, komunitas keagamaan---khususnya Islam---dianggap sebagai elemen kunci yang harus dilindungi dan dipertahankan dalam arena politik.

Di Indonesia, politik identitas keagamaan menemukan momentumnya dalam beberapa kasus politik seperti Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017, di mana isu agama dan identitas Islam digunakan untuk membangun narasi politik yang kuat. Kampanye politik yang menyudutkan kandidat non-Muslim menunjukkan bagaimana agama menjadi alat utama dalam membangun dukungan massa dengan mengklaim representasi moralitas, kebenaran, dan keadilan atas dasar agama. Filsafat komunitarian dalam populisme ini memperkuat narasi bahwa "kami" (komunitas Muslim) memiliki hak lebih untuk menentukan arah politik ketimbang "mereka" (komunitas non-Muslim atau sekuler).

3. Tantangan Bagi Demokrasi dan Keberagaman
Dari perspektif filsafat politik, populisme berbasis agama menimbulkan sejumlah tantangan serius terhadap konsep demokrasi dan keberagaman. John Rawls, seorang filsuf politik terkemuka, mengajukan teori keadilan sebagai fairness, yang menekankan bahwa kebijakan publik harus dibuat berdasarkan prinsip-prinsip yang adil dan dapat diterima oleh semua orang, tanpa memandang identitas agama, ras, atau suku. Dalam konteks populisme keagamaan, prinsip ini sering kali dilanggar karena politik identitas berbasis agama cenderung mengabaikan pluralisme dan memaksakan satu nilai moral sebagai dasar kebijakan politik.

Selain itu, dalam tinjauan filsafat demokrasi deliberatif yang dikemukakan oleh Jrgen Habermas, proses politik harus melibatkan komunikasi rasional di antara warga negara yang setara. Namun, populisme berbasis agama cenderung menghambat dialog yang sehat karena memperkenalkan elemen dogmatisme ke dalam perdebatan politik. Dalam situasi di mana satu kelompok agama mendominasi ruang publik, kelompok-kelompok minoritas sering kali merasa terpinggirkan dan tidak memiliki ruang untuk berpartisipasi secara setara dalam proses demokrasi.

4. Agama dan Etika Publik: Sebuah Refleksi
Meskipun populisme berbasis agama menghadirkan berbagai tantangan, kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa agama memainkan peran penting dalam kehidupan sosial dan politik banyak masyarakat, termasuk di Indonesia. Pertanyaannya adalah, bagaimana agama dapat berkontribusi secara positif dalam politik tanpa memaksakan identitas tertentu atas yang lain?

Menurut filsafat etika publik, yang dikembangkan oleh Michael Sandel, agama dan moralitas tetap bisa memiliki peran dalam diskursus publik, asalkan tidak mengklaim superioritas atas nilai-nilai lain dalam masyarakat. Dalam konteks ini, agama dapat menjadi sumber motivasi moral yang kuat bagi individu dan komunitas, tetapi tidak boleh digunakan sebagai alat untuk mengeksklusi atau mendiskriminasi pihak lain. Politik yang sehat adalah politik yang mengakui pluralisme nilai dan identitas, serta memfasilitasi dialog yang inklusif dan terbuka.

5. Kesimpulan
Populisme berwajah politik identitas keagamaan di Indonesia, jika ditinjau dari filsafat politik, merupakan fenomena yang kompleks. Di satu sisi, ia muncul sebagai respons terhadap perasaan ketidakadilan dan keterasingan kelompok tertentu, terutama kelompok mayoritas keagamaan. Namun, di sisi lain, ia membawa risiko terhadap nilai-nilai demokrasi dan keberagaman yang menjadi pilar penting dalam kehidupan bernegara.

Solusi filosofis terhadap tantangan ini adalah dengan mendorong demokrasi yang lebih inklusif, di mana agama bisa berperan dalam ruang publik tanpa mengorbankan pluralisme. Agama, sebagai sumber nilai moral, bisa menjadi kekuatan positif dalam politik asalkan ia digunakan untuk memperkuat keadilan sosial dan solidaritas antarwarga negara, bukan untuk membangun batasan identitas yang memecah belah. Di era modern, tantangan terbesar Indonesia adalah menjaga keseimbangan antara pengakuan terhadap identitas agama dan komitmen terhadap demokrasi yang inklusif serta pluralistik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun