Mohon tunggu...
Oriza Yogiswara
Oriza Yogiswara Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

hobi saya mengetik ....... tapi boong

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Apa yang Ada dan Apa yang Seharusnya Ada

6 Oktober 2024   11:15 Diperbarui: 6 Oktober 2024   11:19 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam diskursus filosofis, pertanyaan tentang "apa yang ada" (is) dan "apa yang seharusnya ada" (ought) telah lama menjadi topik perdebatan yang menarik. Dikotomi ini, yang sering disebut sebagai "jurang is-ought" atau "hukum Hume", mencerminkan ketegangan antara realitas yang kita amati dan idealitas yang kita bayangkan. Mari kita telusuri lebih dalam implikasi dari dikotomi ini dan bagaimana para filsuf telah mencoba menjembataninya.

Memahami "Apa yang Ada"

"Apa yang ada" merujuk pada realitas empiris---dunia sebagaimana adanya, yang dapat kita amati dan alami. Ini adalah domain dari:

1. Ontologi: Cabang filsafat yang mempertanyakan sifat keberadaan dan realitas.

2. Epistemologi: Studi tentang pengetahuan dan bagaimana kita memperolehnya.

3. Sains empiris: Disiplin ilmu yang berusaha memahami dunia melalui observasi dan eksperimen.

Dalam konteks ini, kita berbicara tentang fakta-fakta objektif, hukum alam, dan fenomena yang dapat diverifikasi.

Menelusuri "Apa yang Seharusnya Ada"

"Apa yang seharusnya ada" berada di ranah normatif---dunia ideal yang kita aspirasikan. Ini melibatkan:

1. Etika: Studi tentang moralitas dan perilaku yang benar.

2. Aksiologi: Cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai-nilai.

3. Filsafat politik: Pemikiran tentang bagaimana masyarakat seharusnya diorganisir.

Di sini, kita berbicara tentang nilai-nilai, norma-norma, dan cita-cita yang kita anggap patut diperjuangkan.

Jurang Is-Ought

David Hume, filsuf Skotlandia abad ke-18, pertama kali mengidentifikasi masalah dalam melompat dari pernyataan deskriptif ("is") ke pernyataan preskriptif ("ought"). Ia berpendapat bahwa tidak ada justifikasi logis untuk menyimpulkan apa yang seharusnya dari apa yang ada.

Misalnya:

- Is: "Banyak orang kelaparan di dunia."

- Ought: "Kita seharusnya mengakhiri kelaparan dunia."

Meskipun banyak orang akan setuju dengan kedua pernyataan tersebut, Hume berpendapat bahwa tidak ada hubungan logis yang niscaya di antara keduanya.

Upaya Menjembatani Jurang

Beberapa filsuf telah mencoba menjembatani jurang is-ought:

1. Naturalisme etis: Berpendapat bahwa nilai-nilai moral dapat diturunkan dari fakta-fakta alami.

2. Pragmatisme: Melihat nilai sebagai alat untuk memecahkan masalah praktis, sehingga menghubungkan "is" dan "ought" melalui konsekuensi praktis.

3. Teori evolusioner: Menunjukkan bahwa nilai-nilai moral mungkin telah berkembang sebagai adaptasi evolutif, sehingga memberi dasar alamiah pada etika.

4. Fenomenologi: Berpendapat bahwa pengalaman langsung kita tentang dunia sudah mengandung elemen normatif.

Implikasi dan Tantangan Kontemporer

Dikotomi is-ought memiliki implikasi luas:

1. Kebijakan publik: Bagaimana kita menentukan kebijakan yang "seharusnya" ada berdasarkan fakta-fakta yang "ada"?

2. Teknologi dan etika: Dalam era AI dan bioteknologi, bagaimana kita menjembatani antara apa yang secara teknis mungkin dan apa yang secara etis diinginkan?

3. Krisis lingkungan: Fakta-fakta ilmiah tentang perubahan iklim menimbulkan pertanyaan tentang apa yang seharusnya kita lakukan.

4. Keadilan sosial: Bagaimana kita bergerak dari pengakuan ketidaksetaraan yang ada menuju visi masyarakat yang lebih adil?

Kesimpulan: Menuju Sintesis

Meskipun jurang antara "apa yang ada" dan "apa yang seharusnya ada" tetap menjadi tantangan filosofis, upaya untuk menjembataninya telah memperkaya pemahaman kita tentang etika, nilai, dan hubungan kita dengan dunia.

Mungkin, alih-alih mencari jembatan universal, kita perlu mengakui kompleksitas hubungan antara fakta dan nilai. Pendekatan interdisipliner yang menggabungkan wawasan dari ilmu alam, ilmu sosial, dan humaniora mungkin menawarkan jalan ke depan yang lebih kaya.

Pada akhirnya, tantangan kita adalah untuk terus menginterogasi baik "apa yang ada" maupun "apa yang seharusnya ada", sambil tetap peka terhadap nuansa dan kompleksitas dunia di sekitar kita. Dalam proses ini, kita mungkin menemukan bahwa jurang tersebut, alih-alih penghalang, justru merupakan ruang produktif untuk refleksi, dialog, dan pertumbuhan etis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun