Mohon tunggu...
Orin Basuki
Orin Basuki Mohon Tunggu... -

Wartawan Kompas ini mendalami ekonomi, khususnya pertanian dan perkebunan. Ia ingin berbagi pengetahuan dalam bidang itu dengan para pembacanya, yang selama ini hanya mengenalnya dari tulisan-tulisannya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menunggu Revolusi Kakao

18 September 2008   09:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:26 1431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SUATU ketika, Sufri, petani biji kakao asal Kecamatan Bupon, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, hanya mampu memandangi tanaman dan buah kakao milik M Safaruddin, tetangga dekatnya yang sudah sukses meremajakan pohon-pohon kakao dari penuaan dan penurunan produktivitas ke level terendah.    Sufri memiliki dua hektar lahan kakao yang hanya menghasilkan biji sekitar 100 kilogram pada panen terakhir di Februari 2008, jauh dari keadaan normal, satu ton per hektar.    Kini, secara umum, produksi biji kakao di seluruh Sulawesi menurun ke tingkat yang mengkhawatirkan karena jumlah petani seperti Sufri jauh lebih banyak ketimbang petani sukses seperti Safaruddin.    Data Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) menyebutkan, produksi kakao Sulawesi menurun dari 220.185 ton di tahun 2006 menjadi 181.122 ton di tahun 2007.    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Selatan, nilai ekspor kakao Sulawesi menurun dari 332,56 juta dollar AS di tahun 2006 menjadi 326,18 juta dollar AS di tahun 2007.    Gawatnya, produksi kakao dari Sulawesi menyumbang sekitar 80 persen produksi kakao Indonesia. Itu artinya, jika produksi dari Sulawesi menurun, total produksi nasional pun akan terimbas. Apalagi gara-gara hama dan penyakit serta penuaan, nilai ekspor kakao berpotensi hilang Rp 5,4 triliun.    Padahal, Indonesia punya mimpi ingin menjadi eksportir terbesar di dunia, melampaui Ghana dan Pantai Gading yang masing-masing bisa menghasilkan 1,2 juta ton dan 700.000 ton biji kakao per tahun.    Salah satu eksportir utama biji kakao dari Sulawesi, PT Mars Symbioscience Indonesia (MSI), sudah lama menyadari adanya bahaya pada keberlangsungan pasokan kakao dari Sulawesi ini.    Perusahaan yang terpilih sebagai eksportir terbaik pada tahun 2002 ini akan meradang jika pasokan seret karena seluruh biji kakao yang diekspor akan langsung diolah di perusahaan induknya.    Perusahaan induk MSI tidak lain adalah produsen cemilan nikmat terbuat dari cokelat (seperti merek Mars, Snicker, Milky Way, atau M&M) yang sudah malang melintang di bisnis makanan ringan sejak 1911, yakni Mars Incorporated di Amerika Serikat.    Setiap tahunnya, MSI mengolah 17.000 ton biji kakao dari Sulawesi, 3.000 ton di antaranya langsung dibeli dari petani. Sisanya, sekitar 14.000 ton, dibeli dari para pedagang kakao lokal yang menghimpun biji kakao dari para petani yang tidak mempunyai akses ke MSI.    Presiden Direktur MSI Noel Janetski menyebutkan, dari total produksi kakao di Indonesia, MSI menyerap sekitar 16 persennya untuk keperluan Mars Incorporated. Sekitar 20 persen dari total biji kakao yang dibeli dari Indonesia diolah terlebih dahulu di Makassar sebelum diekspor.    "Namun, ada berbagai masalah serius yang mengancam keberlangsungan pasokan kakao dari Sulawesi. Masalah iklim terbukti telah menggagalkan panen pada awal tahun ini karena kemarau berkepanjangan, kemudian datang musim hujan luar biasa yang justru membuat tanaman berjamur," ujar Noel.    Selain itu, produktivitas tanaman juga menurun karena sebagian besar pohon kakao sudah berusia uzur di atas umur produktif maksimalnya, 11 tahun.    Akumulasi usia yang menua, tekanan iklim, dan juga hama serta penyakit itu menyebabkan produktivitas biji kakao menurun tajam, rata-rata 50 persen.    Jumlah produksi kakao pada panen awal tahun ini tercatat hanya 100 kilogram atau turun 90 persen dari kondisi normalnya, yakni 1 ton perhektar.    Untuk mempertahankan produksi kakao harus ada revolusi kakao. Sebab, sebagus apa pun bibit unggul yang ditawarkan atau secanggih apa pun program yang disusun, tidak akan berjalan tanpa keinginan untuk maju dari para petani sendiri. Sambung samping    Untuk meremajakan pohon kakao tua ada beberapa teknik yang perlu dilakukan. Khusus untuk pohon yang sudah dijangkiti hama dan penyakit hingga tingkat kerusakan 68 persen, sebaiknya ditebang habis.    Adapun untuk tanaman yang menua tetapi tidak berpenyakit, sebaiknya diremajakan dengan cara sambung samping. Dengan begitu, pohon utamanya masih bisa menghasilkan biji kakao sehingga ada penghasilan bagi petani pemiliknya.    Jadi, apa pun program peremajaan yang diperkenalkan, harus memerhatikan penghasilan petaninya karena kakao adalah sumber pendapatan utama dan satu-satunya dari sebagian besar petani di Sulawesi.    Mars mengembangkan beberapa model bisnis yang bisa menjadi andalan petani kakao sembari menunggu produksi kakaonya pulih, yakni bisnis kompos, menjadi kontraktor sambung samping, hingga penyedia bibit unggul.    Safaruddin sudah mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjual bibit kakao ke anggota kelompok tani lain senilai Rp 5.000 per pohon. Dengan bisnisnya ini, dia sudah bisa mengembalikan uang pinjaman yang sudah diberikan Mars sebesar Rp 4 juta dalam waktu enam bulan.    "Saya dan beberapa anggota kelompok tani memulai usaha pembibitan dari 500 pohon, sekarang sudah 8.000 pohon. Setiap bibit sudah siap dijual dalam masa enam bulan," ujar Safaruddin.    Adapun Baraman, petani kakao Desa Buntu Batu, Luwu, menyebutkan, dengan memproduksi kompos yang berbahan dasar kulit kakao, kelompok taninya bisa menghasilkan uang Rp 20 juta.    Usaha Baraman ini bisa memberi tambahan kepada petani kakao lain. Itu dimungkinkan karena Baraman bersedia memberikan upah angkut atau uang keringat sebesar Rp 3.000 pada setiap karung kulit kakao yang biasanya terbuang (berukuran 25 kilogram). Kulit itu dijadikan bahan baku utama kompos. "Setelah membayar uang keringat petani yang menjual kulit kakao, menghitung uang rokok dan mi instan anggota kami yang mengolah kompos, serta biaya operasional lainnya, kami masih bisa untung," ujar Baraman. Tahun depan, pemerintah akan mengucurkan dana Rp 1 triliun untuk membantu peremajaan tanaman kakao.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun