Mohon tunggu...
Dimas Putri Setyorini
Dimas Putri Setyorini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Edukasi

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Polarisasi Politik di Afrika Selatan, Amerika, dan Spanyol: Bagaimana Dampaknya pada Kualitas Demokrasi Negara?

1 Agustus 2023   23:00 Diperbarui: 30 Desember 2023   11:46 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Polarisasi (Sumber: canva.com)

Polarisasi politik mencerminkan perpecahan yang signifikan dalam pandangan, nilai, dan preferensi politik antara kelompok-kelompok atau individu dalam suatu masyarakat. Hal ini mengakibatkan identifikasi yang kuat terhadap satu pihak atau yang lain, dengan toleransi terhadap pandangan yang berbeda menurun. Faktor-faktor seperti perbedaan ideologis, partisan, identitas sosial, dan pengaruh media dapat memperkuat polarisasi, menghambat kemampuan masyarakat mencapai kesepakatan politik. Edelman Trust Barometer, sebuah lembaga survei global, mengkaji tingkat polarisasi negara-negara dengan membaginya menjadi tiga kategori: Sangat terpolarisasi (Severely polarized); Dalam bahaya polarisasi yang parah (In danger of severe polarization); Cukup terpolarisasi (Moderately polarized). Dalam klasifikasi ini, Edelman Trust Barometer menggunakan pendapat publik sebagai parameter utama. Penduduk negara tersebut diberi dua pertanyaan terkait isu polarisasi negaranya dan mengakumulasi jawaban tersebut menjadi kesimpulan survei.

Dalam survei tersebut kemudian didapatkan skala polarisasi negara-negara di dunia. Di hampir 25% negara yang disurvei, seperti Argentina, Kolombia, Amerika Serikat, Afrika Selatan, Swedia, dan Spanyol, terdapat perpecahan pandangan yang sudah sangat mengakar. 

Gambar 2. Peta Polarisasi Global (Sumber:  Edelman Trust Barometer 2023)
Gambar 2. Peta Polarisasi Global (Sumber:  Edelman Trust Barometer 2023)

Dengan berkaca kepada tingkat polarisasi di Afrika Selatan, Amerika, dan Spanyol yang sangat tinggi padahal sistem dan kondisi negara tersebut berbeda-beda. Oleh karena itu, penulis memutuskan untuk mengkaji dan membandingkan fenomena polarisasi politik di ketiga negara tersebut.

Kompleksitas Polarisasi Politik

Selama bertahun-tahun, Afrika Selatan telah mengalami polarisasi politik yang signifikan, terutama karena diperkenalkannya sistem politik apartheid pada tahun 1950-an. Dalam Undang-Undang Apartheid dijelaskan tentang pemisahan tanah, lahan, fasilitas umum, dan pendaftaran penduduk berdasarkan ras dan warna kulit. Sistem ini kemudian dihapus setelah reformasi demokrasi pada tahun 1994, polarisasi politik mulai mereda selama transisi menuju rekonsiliasi nasional. African National Congress (ANC), sebagai suara utama warga kulit hitam, memegang kendali pemerintahan setelah apartheid. Walaupun ANC berkuasa, dominasi kulit putih masih terlihat di lembaga pendidikan tinggi dan ruang publik. Hingga saat ini, masyarakat merasa pemerintah masih belum bisa mewakili kepentingan publik dengan baik. Dengan latar belakang berbagai ketidakpuasan, polarisasi wacana rasial, dan disfungsi politik, muncul kekhawatiran bahwa polarisasi Afrika Selatan akan semakin memburuk dan membawanya kembali pada polarisasi politik yang dialami selama apartheid. 

Berbeda dengan Afrika Selatan yang polarisasi politik terbentuk akibat sistem pemerintahan yang belum stabil. Di Amerika dan Spanyol polarisasi politik terjadi dalam ideologi partai politik. Spanyol tengah menghadapi polarisasi politik antara partai sayap kanan dan sayap kiri, mencerminkan ketegangan ideologis dalam suasana politik negara tersebut. Tiga indikator utama fenomena polarisasi politik di Spanyol adalah: Lahirnya partai Vox yang berhaluan kanan pada 2013; lahirnya Partai Podemos berhaluan kiri pada 2014; dan deklarasi referendum separatis Catalan pada 2017. Referensi politik masyarakat terpecah dan terpolarisasi. Mulanya, masyarakat Spanyol skeptis terhadap partai sayap kanan akibat kepemimpinan diktator Francisco Franco dari sayap kanan pada 1970-an. Namun, dukungan terhadap Vox meningkat karena retorika politiknya terkait krisis keuangan dan isu imigrasi di Spanyol. Gerakan separatis Catalan juga membentuk polarisasi politik baru terkait pro dan kontra persetujuan referendum tersebut. 

Di Amerika, Polarisasi telah meningkat di Senat sejak pertengahan tahun 1950-an dan di DPR sejak pertengahan tahun 1970-an. Anggota Kongres dari Partai Republik (konservatif) bergerak ke kanan secara ideologis jauh lebih cepat dibandingkan anggota Partai Demokrat (liberal) yang bergerak ke kiri.  Kedua partai ini juga menyaksikan konsistensi yang lebih tinggi dalam keyakinan ideologis mereka, dengan kaum liberal cenderung beralih ke Partai Demokrat dan kaum konservatif cenderung bergabung dengan Partai Republik. Pew Research Center menemukan bahwa terjadi penolakan dan pergantian ideologi yang meningkat di antara aktivis politik yang merupakan pemilih tetap, meskipun mayoritas pemilih masih mempertahankan pandangan mereka.

Dampak Polarisasi pada Demokrasi Negara

Gambar 3. Indeks Demokrasi Afrika Selatan, Amerika, dan Spanyol (Sumber: The Economist Intelligence Unit)
Gambar 3. Indeks Demokrasi Afrika Selatan, Amerika, dan Spanyol (Sumber: The Economist Intelligence Unit)

Polarisasi yang parah memiliki korelasi erat dengan kemerosotan demokrasi yang serius: dari lima puluh dua negara demokrasi yang mencapai tingkat polarisasi yang sangat buruk, dua puluh enam negara—separuh dari keseluruhan kasus—mengalami penurunan peringkat demokrasi. Sejurus dengan hal itu, berdasarkan data diatas, polarisasi politik yang terjadi dalam suatu negara tidak selalu berdampak pada demokrasi negara. Beberapa negara berhasil melakukan depolarisasi, rekonsiliasi elite, dan mencegah degradasi ekonomi. Polarisasi politik yang terjadi di Spanyol tidak berpengaruh secara substansial terhadap demokrasi negara. Peningkatan polarisasi telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan sebagian warga Spanyol terkait stabilitas demokrasi mereka. Meskipun demokrasi Spanyol belum menghadapi risiko keterpurukan, namun perdebatan politik telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sejak berakhirnya kediktatoran hampir setengah abad yang lalu. 

Namun, sebaliknya, di Afrika Selatan dan Amerika, fenomena polarisasi politik memiliki relevansi konkret dengan demokrasi negara. Secara historis, polarisasi yang terjadi di Afrika telah melahirkan demokrasi di negara tersebut. Namun demikian, setelah hampir satu dekade berjalan sejak sistem politik apartheid dihapuskan dan demokrasi berhasil dijalankan dengan baik. Namun, resolusi terhadap polarisasi politik apartheid masih belum tuntas sepenuhnya. McCoy, Rahman, dan Somer menjelaskan terkait dua dampak utama polarisasi politik terhadap demokrasi. Pertama, ketidakmampuan dalam menangani kekhawatiran masyarakat dapat memicu dukungan anti-sistem dari elit politik yang tidak puas, mengancam stabilitas tatanan demokrasi yang telah mapan. Kedua, elit politik yang berkuasa dapat mengambil pendekatan konstruktif terhadap risiko polarisasi dan memperkuat validitas demokrasi.

Sama halnya dengan Afrika Selatan, polarisasi politik sangat mempengaruhi demokrasi di Amerika. Amerika menjadi salah satu negara dengan sejarah demokrasi dn polarisasi yang sama-sama  mengakar. Amerika bukan lagi negara dengan demokrasi penuh. Polarisasi di kalangan elite politik di Amerika menjadi salah satu pemicu degradasi demokrasi. Seperti dalam kasus ketika Donald Trump berusaha memanipulasi hasil pemilu pada 2020. Upaya politisasi pemilu semacam ini, jelas akan menurunkan kualitas demokrasi. Praktik diskriminasi terhadap partai minoritas dalam senat juga menimbulkan keraguan masyarakat terhadap pemerintah dalam penegakan demokrasi.

Temuan

  1. Secara garis besar, konteks polarisasi politik yang terjadi di Afrika Selatan berbeda dengan fenomena polarisasi politik di Amerika dan Spanyol. Polarisasi politik Afrika Selatan terjadi akibat dominasi tunggal partai African National Congress (ANC), sehingga melahirkan polarisasi rasial dan ketidakstabilan sistem pemerintahan. Sedangkan, Amerika dan Spanyol mengalami polarisasi partisan, lebih lanjut Amerika mengalami polarisasi yang lebih intens dalam kongres dan senatnya (partisan  partai republik dan demokrat). Sedangkan, Spanyol dalam konteks lebih luas, polarisasi politik dalam preferensi politik masyarakat:Partai sayap kanan dan sayap kiri; Pro dan kontra kemerdekaan Catalan.

  2. Dampak dari polarisasi politik sangat mempengaruhi kualitas demokrasi suatu negara. Di Afrika Selatan dan Amerika, degradasi demokrasi tersebut sangat terasa dan terbukti mengalami penurunan drastis. Kenyataan bahwa elite politik di Amerika dan Afrika Selatan juga terpolarisasi menjadikan proses rekonsiliasi dan depolarisasi sulit dilakukan. Berbeda dengan Spanyol, meskipun ketegangan dalam masyarakat akibat polarisasi masih terasa. Hal ini karena elite politik Spanyol masih memiliki kontrol terhadap polarisasi yang terjadi.

  3. Polarisasi politik bisa terjadi dalam sistem pemerintahan apapun dan di bagian dunia manapun. Ketiga negara memiliki latar belakang ideologi, wilayah, dan sistem pemerintahan yang berbeda, namun polarisasi politik tidak bisa dihindari.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun