Menurut Pryor struktur spasial wilayah pheri urban dibedakan dalam 2 kategori yaitu urban fringe di satu sisi dan rural fringe di sisi yang lain yang didasari oleh kenyataan bahwa WPU merupakan wilayah yang berada diantara wilayah yang berkenampakan kekotaan seratus persen dan wilayah berkenampakan kedesaan seratus persen. Kenampakan wilayah dalam hal ini diartikan sebagai kenampakan fisikal lahan (land scape) yang diaktualisasikan dalam bentuk pemanfaatan lahan. Bentuk pemanfaatan lahan adalah kenampakan fisikal sebagai cerminan kegiatan manusia diatasnya dan hal adalah langkah awal dalam mengenali berbagai atribut wilayah yang berasosiasi dengan kenampakan fisikal bentuk pemanfaatan lahan seperti karakteristik demografis, kultural, ekonomi dan sosial. Berdasarkan fakta empiris, makin ke arah lahan kekotaan terbangun, makin intensif perubahan bentuk pemanfaatan lahan dari bentuk pemanfaatan lahan kedesaan menjadi bentuk pemanfaatan lahan kekotaan dan begitupula sebaliknya. Oleh karena model diagramatik yang dikemukakan berujud segitiga bentuk pemanfaatan lahan, maka didalamnya memuat tiga dimensi penilaian yang digunakan untuk mengidentifikasi batas terluar dari masing-masing subzona. Tiga dimensi penilaian tersebut adalah (1) presentase jarak dari/ ke batas 100% kenampakan kekotaan atau ke batas 100% kenampakan kedesaan; (2) presentase proporsi lahan kedesaan dan (3) presentase proporsi lahan kekotaan (Yunus, 2008 : 111)
Teori Landuse Triangel : Continuum (Hadi Sabari Yunus)
Wilayah Peri Urban (WPU) adalah wilayah yang ditandai oleh percampuran kenampakan fisikal kekotaan dan kedesaan. Dalam wilayah ini terdapat variasi percampuran dengan kisaran < dari 100% kenampakan kedesaan dan maupun <100% kenampakan kekotaan. Secara kontinum, makin ke arah lahan kekotaan terbangun utama, makin besar proporsi lahan kekotaan dan makin jauh dari lahan terbangun utama makin besar proporsi lahan kedesaannya. Penelitian Hadi Sabari Yunus dilakukan di Kota Yogyakarta dengan menemukan 4 zona, yaitu : (1) zona bingkai kota; (2) zona bingkai kota desa; (3) zona bingkai desa kota; (4) zona bingkai desa. Zonasi yang dibuat merupakan pembaruan dari teori land use triangle oleh Robin Pryor. Hal ini dilakukan karena teori Pryor kurang dapat diterapkan untuk WPU yang didalamnya terdapat peralihan yang bersifat gradual antara kenampakan kekotaan dan kenampakan kedesaan. Pembaruan oleh Yunus adalah terletak pada ditemukannya rurban frame zone dan urral frame zone yang sangat berbeda dengan deskripsi subzona yang pernah dikemukakan oleh Pryor.
Kota Yogyakarta dipilih sebagai ajang penelitian, karena kota ini mencerminkan dinamika pertumbuhan layaknya sebuah kota besar yang ditandai oleh kompleksitas imigran, konversi lahan kedesaan menjadi lahan kekotaan yang sangat cepat, tumbuh kembangnya bagian internal kota dengan munculnya pusat-pusat kegiatan utama lain selain primary business district (Kawasas Malioboro) yaitu secondary business district (Kawasan Jalan Solo) dan mulai munculnya gejala pembentukan tertiary business district. Makin besar kotanya makin banyak kemunculan business district yang lain. Sementara itu pemadatan (densifikasi) bangunan maupun penduduk di bagian dalam kota juga terjadi, bahkan prosesnya tampak tidak terkendali sehingga berpotensi menciptakan kekumuhan-kekumuhan batu (khususnya dikampung-kampung di selaput inti kota) yang sebenarnya sudah banyak terjadi. Oleh karena fokus wacana yang dibangun adalah WPU maka proses spasial yang ada di bagian dalam kota tidak akan dibahas dalam bagian ini.
Gambar 2.
Model Zonifikasi WPU Negara Berkembang atas dasar Bentuk Pemanfaatan Lahan (Yunus, 2001)
LEGENDA:
GH : ZOBIDEKOT
DF : ZOBIKOT
FG : ZOBIKODES
HE : ZOBIDES
AÂ Â : Presentase Jarak Kota-Desa
BÂ Â : Presentase Pemanfaatan Lahan Kekotaan
CÂ Â : Persentase Pemanfaatan Lahan Kedesaan
DÂ : Batas Zona Kekotaan Terbangun
EÂ : Batas Zona Kedesaan
1. Zona Bingkai kota (Zobikot), Zona ini merupakan zona yang paling dekat dan berbatasan langsung dengan lahan perkotaan terbangun utama dan beberapa tempat bahkan menyatu dengannya dengan intensitas bangunan yang lebih rendah. Oleh karena Zobikot berbatasan langsung dengan lahan terbangun kota, maka pengaruh kota terlihat maksimal atas bentuk pemanfaatan lahannya dalam artian bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian menunjukkan intensitas paling tinggi dibandingkan dengan wilayah peri urban yang lain. Pada zona ini kenampakan kekotaan (≥ 75%) betul-betul dominan walaupun disana sini masih terlihat bentuk pemanfaatan lahan agraris. Bebrapa pakar mengemukakan bahwa sudah banyak lahan yang dimiliki oleh orang kota walaupun bentuk pemanfaatan lahannya masih bersifat agraris. Pemanfaatan lahan agraris pada umumnya dilaksanakan oleh pemilik lama atau penduduk sekitar lahan tersebut yang masih berprofesi sebagai petani. Pada zona ini terdapat dua gejala yang tidak sejalan dengan dimensi de facto dan de jure, yaitu terdapatnya persil-persil lahan yang secara de jure merupakan masih bentuk pemanfaatan lahan non-pertanian, dan gejala kedua adalah terdapatnya persil-persil lahan yang secara de facto masih merupakan brntuk pemanfaatan lahan agraris, namun secara de jure sudah berubah fungsi menjadi lahan non-agraris. Gejala pertama pada umumnya dilaksanakan oleh pemilik yang memandang bahwa mendirikan bangunan-bangunan tertentu pada miliknya tidak perlu mengubah status bentuk pemanfaatn lahan. Hal ini dapat terjadi karena ada 3 indikasi yaitu, pemilik memang tidak tahu kalau ada peraturan seperti itu; pemilik tahu tetapi tidak tahu cara mengurusnya; pemilik tahu namun tidak mau mengurusnya. Gejala kedua mulai marak terjadi pada zona ini karena meningkatnya transaksi jual-beli lahan. Sebagaiman yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa daerah pinggiran kota, khususnya lokasi yang tidak jauh dari kota sangat menarik para pendatang-pendatang baru baik perorangan maupun institusi untuk memiliki lahan di zona ini.
2. Zona Bingkai Kota-Desa (zobikodes), Kota didahulukan dengan maksud untuk menunjukkan bahwa antara kenampakan perkotaan masih lebih banyak dibandingkan dengan kenampakan kedesaan. Pada zona ini proporsi kenampakan perkotaan dan kedesaan relative seimbang dengan selisih yang tidak begitu substansial sebagaimana dalam zobikot. Kenampakan kekotaan yang di tunjukkan oleh bentuk pemanfaatan lahan non-agraris berada dalam kisaran sama atau lebih dari 50% namun sama atau kurang dari 75%. Sementara kenampakan kedesaan berkisar antara sama atau lebih dari 25% namun sama atau kurang dari 50%.
3. Zona Bingkai Desa-Kota (Zobidekot), Dalam zona ini juga menunjukan perimbangan proporsi antara bentuk pemanfaatan lahan agraris dan non-agraris yang nyaris sama. Jika dalam zobikodes proporsi kenampakan bentuk pemanfaatn lahan non-agraris lebih banyak, maka dalam zona ini proporsi kenampakan bentuk pemanfaatan lahan agraris lebih banyak walaupun perbedaannya tidak mencolok. Proporsi kenampakan bentuk pemanfaatan lahan agraris berkisar antara lebih dari 50% sampai kurang dari 75% sedangkan untuk kenampakan bentuk pemanfaatan lahan perkotaan lebih dari 25% sampai kurang dari 50%.
4. Zona Bingkai Desa (Zobides), Zona ini adalah zona yang berbatasan langsung dengan zona kedesaan. Batas terluar dari zona ini ditandai oleh 100% kenampakan bentuk pemanfaatan lahan agraris. Sementara itu rentang proporsi bentuk kenampakan lahannya adalah sama atau lebih 75% lahan agraris sampai dengan sama atau kurang dari 25% bentuk pemnfaatn lahan non-agraris. Dalam zona ini kenampakan bentuk pemanfaatan lahan agraris betul-betul mendominasi secara mencolok.
Referensi : Yunus, Hadi Sabari. 2006. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H