Mohon tunggu...
Imam S Arizal
Imam S Arizal Mohon Tunggu... -

Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep Madura. Saat ini sedang menyelesaikan studi di Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

PMII dan Keberagamaan Multikulturalis

6 April 2011   18:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:04 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Imam S Arizal

Tanggal 17 April 1960, para kaum muda Nahdlatul Ulama (NU) dari berbagai daerah berkumpul di Surabaya memperbincangkan arah gerakan kader-kader NU di tingkatan mahasiswa. Pada hari itu pula didirikanlah suatu wadah gerakan kaum muda NU yang hari ini kita kenal dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Keberadaan PMII tidak bisa dilepaskan dari NU. Meskipun dalam dinamikanya, PMII pernah independen dari NU lantaran NU menjadi partai politik. Hari ini PMII dan NU kini hubungan secara interdependen yang masih terkait secara ideologis, emosional dan kultural walaupun tidak secara struktural. PMII menjadikan aswaja (ahlus sunnah wal jama’ah) sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) dan metode pergerakannya. Ada 4 prinsip aswaja yang menjadi landasan gerak PMII yaitu tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) dan ta’addul (adil).

Selama setengah abad PMII telah banyak memberi kontribusi besar terhadap bangsa, negara, dan agama. PMII sudah melahirkan banyak pemimpin, cendekiawan, akademisi, peneliti, dan sebagainya. Mereka menyebar di seantero jagad nusantara. Keberadaan PMII menjadi tonggak penting dalam menentukan sinar peradaban Islam Indonesia. Kehadiran PMII yang lahir dari rahim NU memiliki perspektif yang berbeda mengenai keislaman, kebangsaan, dan persatuan sesama umat Islam.

Paham pluralisme telah mewarnai pemikiran ulama-ulama NU terdahulu sejak mereka membentuk Komite Hijaz dan mendelegasikan perwakilannya ke Kongres Dunia Islam di Makkah untuk memperjuangkan kepada Raja Ibn Saud agar hukum-hukum menurut empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya. Paham pluralisme ini menjadi titik awal masyarakat NU dan PMII untuk menghargai perbedaan, baik perbedaan pemikiran, keyakinan, bahkan perbedaan agama sekalipun.

Sebuah Tantangan

Beberapa tahun terakhir, citra agama kian jatuh dalam keterpurukan. Agama seakan menjadi momok yang menakutkan. Teror dan segala bentuk kekerasan lainnya seringkali terjadi dengan label keagamaan. Di tingkat nasional, aksi-aksi kekerasan atas nama agama juga sering terjadi. Harian Kompas (14/2/2011) mencatat ada 17 aksi kekerasan yang bernuansa SARA. Penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten (6/2) dan pembakaran sebuah Gereja di Temanggung, Jawa Tengah (7/2) menjadi potret buram keberagamaan kita. Nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme yang menjadi ruh dari kebangsaan kita (Bhinneka Tunggal Ika) seakan runtuh dari kehidupan masyarakat.

Inilah yang harus disikapi secara serius oleh kader-kader PMII ke depan. Sebagai organisasi kemahasiswaan yang besar, PMII memiliki tanggungjawab sosial yang tinggi untuk kemudian menjaga serta merawat aneka ragam kekayaan bangsa ini yang berupa pluralisme dan multikulturisme.

Keberagamaan Multikulturalis

Adalah tugas kader PMII dan NU untuk terus merawat multikulturalisme guna mewujudkan kerukunan umat beragama. Multikulturalisme pada dasarnya merupakan kekuatan pemikiran yang memandang adanya berbagai pluralitas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum, maupun agama. Prof Dr Musa Asy’arie (2010) mengemukakan bahwa jika pemikiran multikulturalisme terjaga, maka akan terjadi pengkayaan spititualitas untuk memperkuat pandangan kesatuan dalam keberagamaan yang sesungguhnya telah mendasari bagi kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara.

Menurut Muhammad Ali (2003), seorang multikulturalis tidak beragama secara mutlak-mutlakan. Artinya, ketika klaim kebenaran yang dianutnya dilihat dari luar, maka ia menjadi tidak mutlak. Ini bisa disebut dengan sikap keberagamaan ‘relatively absolute’—dengan mengatakan, “Apa yang saya anut memang benar dan saya berjuang untuk mempertahankannya, tetapi tetap saja relatif ketika dihubungkan dengan apa yang dianut orang lain, karena orang lain melihat apa yang saya anut dari kacamata anutan orang lain itu.” keberagamaan mutlak-mutlakan dalam banyak kasus cukup berbahaya dalam konteks interaksi antar-agama dab antar-budaya. Klaim kebenaran absolut merupakan benih dari tumbuhnya fundamentalisme radikal yang bisa membenarkan segala cara.

Keberagamaan multikulturalis lebih menitikberatkan pada makna, bukan simbol semata. Simbol bukan tidak penting, tetapi terkadang simbol-simbol keagamaan hanya melahirkan ketegangan-ketegangan yang berakhir dengan benturan dan kekerasan agama. Di sinilah kemudian pentingnya memahami bahwa esensi dari beragama bukan terletak pada simbol dan ritualisme semata, melainkan sejauh mana kita mampu membumikan ajaran-ajaran agama sehingga agama tersebut menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).

Setidaknya ada dua hal penting yang menjadi kelebihan kader-kader PMII dalam merawat spirit multikulturalisme. Pertama, PMII memiliki banyak kader yang menyebar di seluruh nusantara. Mereka lahir dari kebudayaan dan tradisi keagamaan yang berbeda-beda. Di daerah masing-masing para keder PMII bisa menjadi agen perdamaian dan pemersatu ummat yang berjuang untuk saling menghargai perbedaan; saling menghormati satu dengan yang lain; adanya rasa kepedulian sosial antara anggota suatu komunitas; dan terjalinnya kerja sama atas dasar kesadaran untuk mencegah dan menanggulangi permasalahan yang terjadi di lingkungannya.

Kedua, kader-kader PMII mewarisi khasanah ke-NU-an sangat mudah untuk menafsirkan. Kader-kader PMII yang notabene lulusan pondok pesantren tidak hanya belajar fiqh, melainkan juga ushul fiqh, qawaidul fiqhiyah, maqosidussyari’ah, dan ilmu mantiq. Dari tradisi yang kuat itulah kemudian cara pandang kaum Nahdliyyin (PMII) relatif lebih fleksibel dan moderat.

Salah satu contoh dari sikap fleksibilitas orang NU adalah dengan mudah menerimanya terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Oleh ulama-ulama NU, Pancasila sebagai dasar negara dianggap sudah final. Pancasila tidak bertentangan dengan maqosidussyari’ah, dimana syariat Islam dipahami dalam lima wujud, yaitu menjaga agama, menjaga akal sehat, menjaga harta benda, menjaga kehormatan dan keturunan.

Keunggulan yang dimiliki kader-kader PMII ini kiranya menjadi modal dasar untuk menanamkan pemahaman keagamaan yang moderat di tengah-tengah masyarakat. Bersama dengan NU, PMII harus berada di garda depan untuk terus menanamkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian, khususnya di kalangan pemuda. Komitmen dan perjuangan kaum muda ini jika dilakukan secara kontinyu dan sustinable akan menentukan nasib keberagamaan kita, keberagamaan yang multikulturalis.



Imam S Arizal, Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Daerah Istimewa Yogyakarta Masa Khidmat 2012-2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun