Mohon tunggu...
Agus Surawan
Agus Surawan Mohon Tunggu... -

menulis adalah pilihan hidupku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(BF) Melawan Arus

16 Februari 2013   06:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:14 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memilih menghilang,

menarik diri,

merasakan sunyi dan kesedihan,

kesedihan yang berbuah manis

Melawan arus deras sungguh butuh perjuangan

Aku memilih tak memiliki kenangan indah,

senyuman tanpa beban,

canda tawa,

obrolan hangat,

sebuah foto keakraban

Menikmati dengan melupakan,

atau berpura-pura tidak tahu,

ataukah sebuah hati yang tergoda dengan manisnya buah khuldi,

dengan kilauan permata Ratu Bilqis,

siapa yang tidak tergoda?

Aku memilih tak memiliki kenangan indah kalau itu menimbulkan ganjalan di hati suatu hari nanti

Oh, hari Sabtu. Pukul 06.00 pagi. Dunia telah bangun. Pohon-pohon menggeliat menampakkan daun-daun hijaunya. Kabut tipis rendah menyelimuti udara di sekitar rumah-rumah penduduk. Suara burung, suara ayam, suara orang beraktifitas menggebuk benda-benda padat..buk...buk..buk —berkumandang di udara. Walau cuaca mendung tapi hawa hari baru jelas terasa. Kaos merah menyala Buddhis yang kubeli, celana pendek doreng gelap abu-abu, kacamata lensa cokelat pelindung matahari, semua itu kupersiapkan untuk hari ini, tapi sampai pada waktunya—segalanya berubah. Hati kecilku berkata lain. Bahwa kali ini, aku harus melawan arus. Ini kesempatan. Ini adalah pintu gerbang menuju kukuhnya sebuah prinsip. Harus kulangkahkan kakiku untuk memasukinya.

Rasanya hampa ketika memimpikan sesuatu berhari-hari namun akhirnya menghindarinya, menolaknya. Seperti kehilangan seorang teman, sedih sekali. Atau seperti berada di dunia asing, sunyi, sepi menyendiri, dan aneh. Sebaiknya kuteruskan membaca dongeng bersimbah darah Hansel dan Gretel, mengingat mereka membuatku semakin sedih.

Aku teringat saat aku kecil. Saat musim layang-layang. Ketika musim penghujan akan segera habis. Di Minggu pagi yang berawan itu.

“Osi, walau terlambat, tapi matahari akan segera tampak.” Yoyo datang menghampiriku. “Lihat sinarnya sudah mulai menembus awan tebal dan mengusir kabut-kabut pagi. Yuk, kami tunggu di bukit Oraware, teman-teman sudah kumpul di sana. Nene, Horu, Ruru, dan Neman, kami semua menantimu.”

Ya—kami berenam, biasa bermain layang-layang bersama di Minggu pagi. Kami adalah sahabat. “Ah,” kataku, “Aku sedang malas. Kali ini aku tak ikut.”

“Hah Osi, bukankah kau telah menyiapkan untuk hari ini, kau membuat layang-layang baru kan, dan sebentar lagi angin pasti berhembus. Cocok untuk menerbangkan layang-layang. Bukankah kemarin kita sudah sepakat—di hari Minggu ini, kita akan bermain layang-layang bersama!”

Sekali lagi aku berkata, “ Maaf, Yo, dengan alasan apapun—aku tetap tak bisa.”

“Keterlaluan kau, Osi, kita sudah sepakat, sekarang kau mengingkarinya. Aku tak tahu apa yang harus ku katakan pada teman-teman, aku tetap akan berangkat. Sekali lagi... kau sungguh keterlaluan!” Yoyo berlalu memunggungiku, jauh di depannya matahari sudah berhasil keluar dari balik awan, menebarkan sinarnya yang berwarna putih keperakan, menatapku dan berkata--bersabarlah. Aku pun terdiam. Tak kuasa mengungkapkan alasan. Teman-teman pasti kecewa. Semenjak hari itu aku tak pernah bermain layang-layang lagi bersama mereka. Tidak untuk waktu yang lama.

Ah, betapa sepinya hidup ini. Hari ini aku memasuki dunia pengasingan, dimana aku melihat dunia ini dengan sudut pandang yang berbeda dari mereka. Aku merasakan apa yang tak orang-orang rasakan. Mereka ke kiri aku ke kanan, mereka berjalan ke depan aku berjalan ke belakang, tubuhku berada di sini, tapi jiwaku mengembara ke tempat yang jauh. Dimana tiada seorang pun disana. Tiada seorang pun.

Memang perlu hati yang kukuh untuk memegang prinsipmu, karena kau bisa saja kehilangan teman-temanmu. Tapi satu yang harus kau pegang, ikuti kata hatimu, ia membimbingmu pada kebenaran. Pilih Teman atau kebenaran. Aku rela kehilangan teman asal tidak kehilangan cahaya Tuhan di hatiku. Tapi aku berharap tak kehilangan kedua-duanya. Ah, sebaiknya kuteruskan membaca dongeng bersimbah darah Hansel dan Gretel.

Fiksi ini dalam rangka mengikuti BF (Belajar Fiksi) bersama https://www.facebook.com/groups/175201439229892/425851160831584/?notif_t=group_comment_reply

Untuk membaca karya-karya para peserta lainnya, klik di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun