Miris membaca berita ini : Sudah lebih 15 tahun Jupernalis Samosir (46) bekerja sebagai wartawan Tempo. Namun hingga akhir hayatnya, statusnya belum diangkat sebagai karyawan tetap di majalah tersohor di Indonesia itu. Kepada riaukitacom, semasa hidupnya, Jupernalis mengakui jika dirinya bekerja di media tersebut dengan status tidak karyawan tetap.
Padahal dia memiliki tanggungan yang begitu besar terhadap keluarganya seorang istri dan 3 orang anak. Putrinya sulungnya kini mahasiswi di Universitas Riau, anak keduanya (putra) di SMP dan sibungsu (wanita) ada di sekolah dasar. Ketiga anaknya selalu menjadi juara umum di sekolahnya termasuk yang putri sulungnya mahasiswi meraih rangking terbaik sehingga statusnya sebagai mahasiswi sudah dipercaya sebagai asisten dosen.
Hingga  akhir hayatnya, apa yang dia impikan ingin menjadi karyawan di Tempo belum tercapai. Lebih dari setahun ini, Jupernalis bergelut dengan penyakit. Keluar masuk rumah sakit pun menjadi langganannya. Terakhir, wartawan TEMPO ini sepekan yang lalu dirujuk ke RSUD Arifin Acmad Pekanbaru. Jupernalis dirawat di ruang ICU dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya, Minggu (9/6/2013) sekitar pukul 04:00 WIB.
Kini Jupernalis Samosir telah menghadap Yang Maha Kuasa untuk selama-lamanya. Sebanarnya apa yang dialami Jupernalis Samosir dengan statusnya yang tidak karyawan, banyak dialami sejumlah koresponden media nasional lainnya baik di media cetak, elektronik, dan televisi swasta nasional. (http://riaukita.com/read-2-2957-2013-06-09-hingga-akhir-hayatnya-jupernalis-belum-menjadi-karyawan-di-tempo.html)
"KALAU MAU KAYA JANGAN JADI WARTAWAN". Itulah pameo yang cukup beken dikalangan para jurnalis. Sedih jika mendengar cerita teman-teman jurnalis yang berstatus sebagai kontributor atau koresponden. Jangankan kaya, kehidupan mereka jauh dari sejahtera.
Menjadi seorang jurnalis adalah pilihan hidup, dan bukan karena tidak adanya ladang pekerjaan lain, tapi lebih pada panggilan nurani. Saya yakin tidak terbersit dihati teman-teman jurnalis untuk menjadi kaya ketika memutuskan memilih profesi tersebut. Menurut saya Jurnalis adalah profesi bukan sebuah pekerjaan. Seorang profesional wajar saja jika dibayar layak, namun dari jurnalisnya sendiri juga harus memiliki kemampuan layaknya seorang profesional dalam menjalankan profesinya, yaitu dia paham dan jago dalam pekerjaannya, dan tahu aturan-aturan main seperti kode etik profesi, dll.
Semakin banyaknya perusahaan media yang memperkerjakan jurnalis berstatus kontributor membuat jaminan hidup bagi mereka tidak jelas . Perusahaan media kerap memanfaatkan ketidakjelasan status ini, untuk mengingkari hak-hak pekerja yang diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan, enggan memberiankan upah yang layak, emoh memberikan jaminan kesehatan serta tunjangan lainnya yang bisa membuat para jurnalis kontributor bekerja lebih profesional.
Memang belum banyak perusahaan media yang mampu memberikan honor dan tunjangan yang layak bagi para jurnalis kontributor. Akan tetapi, ada juga yang sudah mampu namun belum bersedia atau pelit untuk memenuhi kewajiban tersebut. Pertumbuhan perusahaan media tidak berbanding lurus dengan kenaikan upah layak. Dalam banyak kasus, hak dasar jurnalis seperti honor basis, kontrak kerja, jaminan kesehatan, serta tunjangan hari tua tidak dipenuhi perusahaan. Masih banyak jurnalis dibayar di bawah standar upah minimum kota (UMK) yang ditetapkan oleh pemerintah.
Kontributor atau Koresponden yang belum menjadi karyawan atau kesempatan mereka untuk menjadi karyawan memang sengaja dipersulit di perusahaan media, selayaknya tetap diberikan honor tetap yang besarannya tergantung dari perusahaan media bersangkutan atau mungkin minimal 50 persen UMK. Selebihnya mereka mendapatkan penghasilan dari honor karya jurnalistik yang dibayar berdasarkan jumlah berita yang dihasilkan dalam periode satu bulan.
Selain honor tetap, selayaknya perusahaan media juga memberikan jaminan kesehatan. Kenyataannya jurnalis yang berstatus kontributor harus berjibaku dengan masalah kesehatan diri atau keluarganya. Kalau cuma masuk angin mungkin ngak masalah, tapi begitu dia atau anggota keluarga intinya terkena penyakit agak berat dan memerlukan perawatan lebih lanjut atau terkena kecelakaan kerja saat meliput, mereka harus jungkir balik sendiri mencari biayanya. Bantuan dari perusahaan media tempat dia bernaung biasanya ala kadarnya, ini karena ketidakjelasan status mereka. Selebihnya mereka mengandalkan bantuan dari solidaritas teman-teman jurnalis atau donatur lain.
Tunjangan transportasi serta jatah sarana komunikasi seperti pulsa untuk para kontributor atau koresponden selayaknya juga patut dipikirkan. Sangat-sangat sedikit sekali perusahaan media yang memberikan jaminan dan tunjangan seperti itu untuk kontributor mereka. Ujung-ujungnya hanya honor dari berita yang mereka setorkan saja yang berhak didapatkan. Masalahnya adalah honor dari perusahaan media belum masuk katagori layak untuk sebuah laporan jurnalistik mereka.
Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI), saat ini sebagian besar koresponden hanya mendapatkan upah dari berita yang dimuat. Mereka hanya menggantungkan pendapatan dari berita seharga Rp 9.500 – 60.000 (online), Rp 50.000-Rp 350.000 per berita (cetak), Rp 12.500 – 60.000 per berita (radio), dan Rp 50.000 sampai 250.000 per berita (TV).
Nah, dengan besaran seperti itu, dalam satu bulan rata-rata penghasilan mereka dari karya jurnalistik antara Rp 1.000.000 - Rp 1.500.000. Jauh dari katagori layak untuk jurnalis yang sudah berkeluarga. Tanpa upah layak, mustahil jurnalis bisa bekerja secara profesional dan memproduksi karya jurnalistik dengan baik. Upah rendah dari perusahaan media terhadap jurnalis, membuat jurnalis mudah tergoda suap dan menggadaikan idealisme mereka.
Menghadapi masalah rendahnya kesejahteraan terhadap jurnalis, para pekerja pers berusaha berjuang dalam organisasi pekerja pers dengan membentuk serikat pekerja. Namun, sayangnya masih banyak perusahaan media menghalang-halangi keinginan jurnalis dan pekerja media yang ingin mendirikan serikat pekerja karena dianggap mengganggu dan mengacaukan operasional perusahaan.