Menarik melihat fenomena akhir-akhir ini di kalangan dokter spesialis. Fenomena yang publik tidak tahu. Fenomena yang mungkin hanya diketahui segelintir orang. Malas sebenarnya menuliskannya, tapi seperti kutipan di salah satu film laris (mudah-mudahan nggak salah kutip) Â "kejahatan akan berlangsung terus jika orang baik tidak mau berbuat sesuatu "(The Batman, 2022).
Apa sih fenomenanya?
Jadi begini, untuk menjadi seorang dokter spesialis itu tentu hanya ada satu cara yaitu menempuh pendidikan dokter spesialis. Ya iya lah nggak mungkin beli ijasah kan haha... Yang banyak cara adalah bagaimana mendanai pendidikan dokter spesialis itu. Kita sama-sama tahu, biayanya tidak sedikit, tidak mahal, tapi sangat mahal sekali cuy... Bisa jual rumah orang tua, bisa jual mobil, hutang sana dan hutang sini terus jual motor juga (apalagi yang tersisa... haha..). Itu tentu kalau biaya pribadi. Tapi ada jalur lainnya, melamar beasiswa.
Nah, salah satu pemberi beasiswa adalah Kementerian Kesehatan, dulu Departemen Kesehatan. Karena dari kementerian, kita sebutlah uang negara. Namanya program bantuan pendidikan dokter spesialis. Dengar-dengar lumayan juga jumlahnya, tapi yang sudah pernah menikmatinya, pasti lebih tahu detailnya. Salah satu syarat agar diterima/ diberikan beasiswa ini adalah adanya rekomendasi dari rumah sakit atau pemerintah kota/ kabupaten atau bahkan provinsi pun bisa. Semakin terpencil lokasinya, biasanya Kemenkes akan lebih bermurah hati untuk meloloskan dokter tersebut. Harapannya (dan harapan ini diikat dalam bentuk surat pernyataan) adalah si pelamar akan kembali ke wilayah yang merekomendasikannya setelah lulus nanti.
Kira-kira sudah tahu kan kemana arah tulisan ini? Yuk, lanjut...
Baru-baru ini Kemenkes melacak dokter-dokter yang sudah lulus dengan memanfaatkan uang negara itu apakah benar mereka sudah menjalankan kewajibannya untuk melayani di wilayah yang merekomendasikan mereka tersebut. Oh iya, biasanya ada kewajiban melayani dengan jumlah tahun malayani adalah jumlah tahun menempuh pendidikan dokter spesialis ditambah satu tahun. Jadi misalnya, si dokter pelamar beasiswa bantuan pendidikan dokter spesialis itu menempuh pendidikan dokter spesialis kebidanan dan kandungan misalnya, selama 4 tahun, maka setelah lulus dia wajib kembali melayani di kabupaten yang merekomendasikan dia selama 4 tahun plus 1 tahun jadi total 5 tahun. Nah, di sini lah fenomenanya. Ketika Kemenkes melakukan pelacakan tersebut, banyak dokter spesialis yang sudah lulus tidak kembali ke wilayah yang merekomendasikan mereka. Ambil contoh, misalnya, ada seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang sudah 8 tahun lalu lulus dengan memanfaatkan uang negara tersebut untuk membiayai pendidikan dokter spesialisnya, malah praktik di Jakarta. Hebat ya? Nggak perlu kita bahas lah bagaimana ijin praktiknya bisa keluar dan lain-lain, nanti merembet ke organisasi profesi yang lagi rame belakangan ini.
Lalu apa tindakan Kemenkes? Kemenkes memberikan ultimatum, jika tidak kembali maka wajib membayar denda, mengembalikan sebesar sekian (milyar?) ke negara (ini jumlahnya lumayan, tak perlu disebutkan angka pastinya di sini, tapi kalau dikalikan ratusan dokter spesialis yang mangkir, mungkin bisa membantu cicilan utang negara haha..).
Oke lanjut...
Ternyata oh ternyata, ultimatum itu dianggap sepi dan angin lalu. Tetap saja ada dokter spesialis yang lulus spesialisasi dengan uang negara itu yang tidak kembali ke wilayah yang merekomendasikannya dan juga tak membayar denda. Konon katanya mereka membuat surat ini dan surat itu, ketemu si ini dan si anu dan akhirnya mereka bisa berleha-leha, tetap praktik di kota besar, tetap nyaman tanpa beban.