Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Monica

3 Juli 2024   11:10 Diperbarui: 3 Juli 2024   11:16 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di satu masa pernah hidup seorang perempuan cantik dan menenteng kisah pertarungan kehidupan yang terpaksa membawanya keluar jauh beribu kilometer dari tanah kelahirannya.

Ia meninggalkan orang tua dan saudara-saudara di kampung. Menuju gegap gempita dunia asing yang bahkan dalam alam khayalannya yang paling liar sekali pun tak ia bayangkan. Ia adalah

Et et etttt. Ini bukan tentang perempuan bernama Monica. Itu cuma plesetan. Maksud saya adalah menikah. Sengaja ditulis "monica" di awal dan bukan "menikah" biar tidak keburu ramai.
       
Maklum, isu atau topik seputar pernikahan selalu mudah memancing perhatian. Apakah itu orang yg dipandang sudah berumur tapi belum menikah, orang yg baru lamaran dan segera menikah, yg gagal nikah padahal sudah pacaran sampai berlumut-lumut, kiat-kiat pernikahan, sampai perkara keretakan rumah tangga, semua selalu menarik.
     
Dan baiklah. Saya mau sedikit tula-tula, alias bercerita. Tapi ini di luar jejeran hal yg baru saya sebut di atas.
       
****
Dahulu, saat masih remaja, mungkin kelas 2 atau 3 esema, saya memandang sebuah pernikahan harusnya tentang dua orang yg usianya berpaut sedikit, atau lebih baik lagi bila seumuran. Tentu pandangan ini tanpa menganggap pernikahan beda usia jauh adalah hal yg tidak baik.
     
Pikiran anak remaja esema semacam itu umpama anak ayam yg baru menetas dari telur. Sungguh sempit ruangnya dan butuh banyak tuntunan.
       
Bertahun-tahun melewati itu semua usia kemudian membuat saya menua, sekian pengalaman lalu memaksa saya jadi dewasa pelan-pelan.
     
Dan ternyata, semua tak semudah itu konsepnya. Usia tetaplah usia. Sedangkan pernikahan ya tetaplah pernikahan. Di luar urusan yg bisa kita hitung, selalu terselip hal yg juga tidak terhitung, bahkan tak terlihat sekalipun.
       
Di sana ada faktor bernama perasaan. Sederhananya orang menyebutnya sebagai hati. Bahkan di dunia yg bermiliar tahun tuanya ini manusia masih saja kerap mengabaikan sebuah perasaan.
       
Saya kemudian menyadari betapa hati yg saya bawa kemana-mana ini tetaplah tak bisa saya kendalikan sepenuhnya. Satu waktu ia bisa nongkrong di beranda warung kopi, dan di waktu berikutnya ia sudah tersangkut di rerantingan pohon mangga.
   
Begitulah hati. Begitu pula kaitannya dengan perkara menikah-menikah tadi. Di luar urusan keserasian tanggal dan tahun lahir rupanya keserasian hati dan perasaan malahan lebih utama. Pikiran kita saja yg kadangkala suka melahirkan ketakutan besar hanya gara-gara hal kecil.
     
Orang bisa membangun rumah tangga di atas beda usia bertahun-tahun dan membubuhkan tanda tangan di buku nikah dengan riang gembira. Usia adalah faktor ke sekian yg patutnya hanya hidup di dalam rumus-rumus matematika ketimbang jadi beban pikiran.
     
Laki-laki matang 30 tahun bisa menikahi gadis yg belum kelar skripsinya, bahkan memilih remaja baru lulus esema bermodalkan lamaran. Dan berjembatankan komunikasi dari hati ke hati. Atau kasus lelaki bujang yang baru jadi sarjana 'digondol' janda beranak satu, tapi terlanjur dianggap tak wajar oleh orang banyak, padahal keduanya saling suka.
       
Bahwa akhirnya ini adalah tentang perasaan itu benar. Kita hanya terbatas pada kerja-kerja menyiram perasaan itu sendiri. Soal apakah ia akan tumbuh lebat itu bukan kendali kita.
     
Perasaan bisa bertumbuh tanpa perlu kesengajaan layaknya rumput liar. Ia tak kenal rupa-rupa tahun kelahiran, zodiak bikinan manusia, bahkan bentangan jarak bergunung-gunung daratan berlaut-laut samudera.
     
"Aku tidak menjumpaimu kemarin, hari ini bahkan besok. Namun entah bagaimana setiap harinya perasaanku selalu menjumpaimu." Ini cuma contoh kalimat. Kalau mau baper silakan. Toh kembali lagi perasaan orang siapa yg tahu, siapa pula yg bisa atur. Kalau mau disalin tanpa menyertakan nama saya, juga silakan. Hahaha.
       
Dan sampai kapan pun perasaan tetaplah perasaan. Ia bisa meninggi, bisa merendah. Bisa benci, besoknya cinta. Ia bisa tipis, bisa tebal. Bisa sejauh pandangan dan telinga sendiri, bahkan bisa lebih singkat dari kedipan mata itu sendiri.
   
Ya begitulah perasaan. Dari sana sumber peperangan, dari sana pula lahir kedamaian.
       
Pada akhirnya saya cuma ingin kasih tahu bahwa menikah-menikah itu adalah tentang perasaan. Ia tidak selalu harus hadir sebagai cinta. Apalagi tersandera sengketa umur yg dibuat oleh mulut orang luar. Karena sebaik-baiknya perasaan adalah yg ikhlas. Dan semoga hatimu bisa melakukan itu.
       
Tulisan ini bukan karena saya akan segera menikah. Tapi lagi-lagi takdir siapa yg tahu. Kalau soal keinginan menikah ya itu manusiawi. Saya tidak ingin berlindung di balik kalimat sakti "menunggu waktu dan orang yg tepat." Toh saya sendiri bisa membuat waktu itu menjadi 'tepat', dan terus belajar supaya menjadi laki-laki yg 'tepat'
       
Dan jika saya tidak bisa hadir lebih cepat di hatimu, biarkan saja dulu saya ambil tempat di buku nikahmu. Slebewwwww.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun