Belum genap 12 bulan semenjak hari raya Idul Fitri tahun lalu kita kini sudah kembali memasuki bulan Ramadhan. Kita yang sekian lama berdiri di atas kebudayaan sendiri lantas diarahkan oleh kondisi zaman yang berganti-ganti, mau tak mau juga pada akhirnya menjadi terbiasa sehingga membentuk ciri dan karakter kita dalam sebuah masyarakat.
   Â
Setiap kali bulan puasa tiba pemandangan yang sekian lama mejadi sebuah kebiasaan tadi juga ikut hadir. Entah itu kegiatan keagamaan langsung yang jadi instrumen inti di bulan puasa itu sendiri, atau kegiatan-kegiatan sosial yang merupakan implementasi dari kehadiran agama di lingkungan masyarakat.
  Â
Mendekati hari pertama Ramadhan aktifitas ziarah kubur terlihat lebih ramai dari biasanya. Di masjid-masjid para jamaah melakukan pembersihan semaksimalnya. Kegiatan bersih-bersih biasanya dirangkai menyatu dengan rapat rencana oleh pengurus masjid terkait manajemen yang akan dijalankan sebulan penuh selama puasa. Apakah nantinya ada sahur bersama, buka puasa bersama, tadarus dan konsumsi, hingga mengatur jadwal ceramah tarawih. Bertahun-tahun menjadi manusia dengan kultur tertentu yang melekat kuat membuat kita secara automasi tergerak untuk bertindak.
    Â
Dari sini kita tahu kalau puasa Ramadhan itu dari waktu ke waktu akan selalu menghamparkan kisah tentang orang-orang beserta aktifitasnya yang hampir selalu sama. Tapi apakah itu bikin kita merasa bosan dan membuat semua terlihat monoton? Tidak. Agama selalu punya cara untuk hadir mengisi tempat di masyarakat. Itu menjadi daya tarik yang tidak dimiliki hal-hal lainnya.
   Â
Di negara Indonesia yang pemeluk agama islamnya lebih 200 juta jiwa ini, tidak ada pertanyaan tentang seberapa pantas sebuah ritual keagamaan dilangsungkan. Apalagi itu agama islam. Setiap orang punya caranya masing-masing tatkala mengisi kesehariannya di bulan puasa.
  Â
Ada yang mengurangi beban-beban pekerjaannya demi bisa lebih banyak membagi waktu untuk cari amalan. Ada yang tetap bekerja keras hingga akhir bulan lantaran dikejar kepentingan. Ada yang tetap memilih santai seakan tak ada peristiwa penting apa pun. Tidak jarang juga nampak orang-orang yang sepanjang siang sampai sore hapenya selalu memutar ceramah ustad tertentu dari kanal yutub, tapi langkah gontai orang lain yang pergi zuhur dan ashar tak mereka ikuti. Alih-alih bergerak mereka tetap memilih diam. Ternyata mereka cuma sedang tertidur pulas.
   Â
Ya, tidak sedikit orang yang berpegang teguh pada keyakinan bahwa tidur itu ibadah. Terutama di bulan puasa. Selain mencegah dari perbuatan tercelah, tidur juga akan bikin seseorang terhindar dari rasa lapar. Lantas ketika ada yang bertanya perihal pertimbangan baik buruk antara tidur demi menghindari maksiat dan lalai melaksanakan salat fardhu lantaran kelamaan tidur tadi, mereka selalu punya jawaban klasik: "jangan bertanya perkara-perkara yang hanya akan memancing emosi. Ini lagi puasa."
  Â
Begitulah. Bulan Ramadhan selalu menyelipkan warna-warna tersendiri yang selama ini kita saksikan, lalu membekas, dan adakalanya menorehkan perasaan tertentu setiap ia datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H