Setiap kali menjelang lebaran istilah thr selalu muncul beriringan dengan obrolan ibu-ibu perihal resep kue kering maupun gerak cepat para pemburu baju baru. Thr nyaris tak bisa dipisahkan dari lida banyak orang saat bulan ramadan mulai memasuki babak akhirnya. Pembicaraan mengenai itu bahkan terdengar nyaring di antara orang-orang yang justru tak punya pekerjaan sama sekali, atau bahkan anak-anak pun.
Saya tak tahu sejak kapan istilah uang thr ini pertama kali berembus. Entah mungkin baru di abad 21 ini atau justru sudah ada sejak lama. Tapi yang pasti istilah uang thr ini lebih umum kita ketahui berlaku di kalangan dunia kerja yang akan dibagikan saat mendekati hari raya.
Di kalangan pekerja di bawah pemerintah thr memiliki konsep dan perhitungan yang sedikit berbeda dengan dunia swasta. Dari hal persentase dan bandingan antara gaji pokok dan masa kerja maupun jadwal pemberiannya semua jelas beda-beda.
Thr pelan-pelan kemudian menjadi sebuah budaya di Indonesia. Semua orang tahu thr adalah uang. Dan uang adalah bagian yang sangat penting bagi semua orang tadi.
Di dalam kebudayaan kita uang sendiri memiliki penggambaran yang unik. Uang selalu dianggap kekuatan terbesar yang tak bisa digeser perannya oleh hal yang lain. Di masyarakat kita uang akan ada untuk banyak kondisi dan bahkan perkara biasa sekali pun. Ambil contoh dalam dunia hukum. Uang bisa memainkan sebuah keputusan. Orang bisa lolos dari perkara yang harusnya menjeratnya lantaran uang itu sendiri. Orang masuk dunia kerja bayar. Mengurus keperluan administrasi juga seringkali harus bayar.
Kenyataan-kenyataan itu kemudian secara langsung membentuk pola khusus dalam lingkungan sosial terutama cara pandang terhadap uang itu tadi. Pokoknya uang merupakan satu dan segalanya. Ciri materialistis itu melekat pada masyarakat lalu kian diperburuk dengan kondisi wajah ekonomi politik yang tidak sedap dilihat dan kemudian dua hal tersebut bercampur secara serius hingga melahirkan generasi yang bermental uang.
Di negara sebesar Indonesia ini hampir semua hal akan selalu punya penilaian yang tak akan jauh dari persoalan uang dan sejarah ekonomi. Kita akan sering menemukan saat ada tokoh atau profil orang biasa yang bisa berprestasi atau meraih sebuah posisi tertentu di satu bidang maka media dan banyak orang lainya akan pertama kali menyoroti masalah kondisi ekonomi orang dan tokoh bersangkutan.
"Dulu orang miskin sekarang jadi menteri. Pernah jadi kuli bangunan si A kini punya koleksi mobil mewah. Si A dahulu untuk makan saja susah sekarang jadi bos perusahaan X." Dan sejumlah model pemberitaan lain yang tak jauh-jauh cara pandangnya. Sangat sedikit orang yang akan lebih tertarik dengan proses bagaimana mencapai kesuksesan. Dunia kita lebih suka mengubek-ubek wajah kemiskinan masa lalu orang lain hingga menghabiskan tak sedikit waktu.
Di Indonesia orang akan selalu fokus dengan uang. Kecil dan besarnya itu selalu jadi bahan pembicaraan wajib. Kebiasaan itu lalu membentuk masyarakat kita menjadi terlalu sensitive dengan persoalan yang ada uangnya. Budaya kita seakan menuntut generasi untuk lebih giat mengejar materi. Melahirkan golongan masyarakat yang terobsesi jadi pegawai negeri atau semisalnya karena dipandang lebih aman secara finansial dengan sejumlah jaminan yang tersedia.
Pandangan masyarakat terhadap uang tadi lalu dengan sendirinya menurun ke level terbawah dalam urusan-urusan sosial seperti uang thr yang disinggung sejak awal. Orang yang bekerja menuntut thr diberikan lebih cepat dan dalam nominal yang melebihi gaji. Orang yang tidak bekerja pun tetap menuntut adanya pemberian uang thr ini kepada orang-orang terdekatnya atau pun teman yang jauh misal. Berapa saja nilainya asal ada.Â