Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Berharap Kau Ada di Perahu Bercat Biru Itu

17 Januari 2022   15:51 Diperbarui: 17 Januari 2022   16:05 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang masih menjadi pertanyaanku kini sebenarnya apakah aku yang berkeras mengingatmu atau justru kau yang diam-diam menolak dilupakan. Pertanyaan-pertanyaan itu menggilir ruang kecil dalam pikiran. 

Setiap pagi, saat jendela kubuka sembari menanti kecupan manis udara luar, aku melihat embun-embun yang tambat pada dedaunan berikut  sekuntum senyummu yang melintas secepat kilat. Kau masih terlalu dekat meski nyatanya kita berjarak ribuan mil jauhnya.
     
Lambaian tanganmu di hari perpisahan seperti segaris pita yang baru kau gunting, menandakan kisah baru yang akan dimulai. Aku masih kesulitan untuk meyakinkan diri sendiri bahwa perpisahan itu ada. Pun dengan rindu, aku menolak kalau harus sedini ini menghadapi bayang-bayangmu. Aku sungguh enggan membiarkan api kisah yang terlanjur menyala-nyala itu redup begitu cepatnya.
       
Di hari kala perahu bercat biru membawamu pergi, mengikuti arah angin dan membelah teluk hingga selat, aku merasa ada sepotong hatiku yang kau bawa dan sembunyikan di antara suara bising mesin perahu motor itu. Begitu juga padaku, mungkin ada sepotong hatimu yang sengaja kau tinggalkan.

Entah kapan angin laut akan membawamu kembali. Alih-alih memaksakan sebuah jawaban aku lebih suka melacak ombak mana yang menyaput jejak kakimu pada pasir pantai tempat kau menginjak. Biar aku tahu ke mana aku harus menemukanmu. Atau dengan cara apa aku akan mencapai jejak-jejak itu. Dan bagaimana gambaran badai yang sewaktu-waktu menghantui niat ini.
       
Ketika malam datang, langit membentang di angkasa menyajikan bintang-bintang yang tak pernah bisa kuraih satu pun dengan tanganku. Tapi kau pernah bilang, dengan nada serius berlapis senyum yang menjadi-jadi, bahwa semua yang menyenangkan di mata belum tentu layak diberi tempat di hati. 

Segalanya yang sudah menyilaukan pandangan boleh jadi hanya akan mengaburkan makna bahagia. Dan aku terdiam dari berkata-kata. Diam yang menyurutkan senyum-senyum di dinding wajahmu.
       
Aku tahu, dibanding bicaraku yang sepanjang garis lapangan bola dan lebih rumit dari puzzle, bahasa matamu selalu lebih jujur. Kau tak menyuarakan gelisah, menyampirkan rasa gundah di dalam lirik-lirik nyanyian pagi, tapi pandanganmu selalu bisa merangkum semua yang berserakan di sekitar. Dari rindu yang menganga, dan risau yang hendak membelah dadamu. Segalanya tersampaian dengan baik cuma dari sorot matamu.
       
Kau jarang berkata-kata. Tapi sekali saja ada kesempatan bicara kau membagi fakta-fakta kehidupan yang rasanya tak bagus kalau cuma aku pungut begitu saja. Seperti ada yang harus aku bayar hanya saja entah dengan apa.
       
Nampaknya benar sudah pepatah ibu. Perempuan yang pelit bicara justru punya jalan hidup yang panjang.
     
Di musim badai laut aku lihat banyak nelayan yang memilih meringkuk di daratan. Samudera sana tidak ada belas kasihan sama sekali. Badai bisa merobek layar perahu, mengguncang kapal, membalikkan perasaan, memukul keberanian juga memisahkan orang-orang, termasuk kau dan aku.
       
Pada perahu bercat biru yang datang saban minggu itu aku masih suka berharap ada kau di antara belasan orang di dalamnya. Atau jika aku tak melihatmu aku biasa bertanya pada nahkoda perihal kabarmu. Pertanyaan yang selalu aku ulang-ulang dan selalu dijawab dengan senyum legam dan gigi putih ombak.
       
Hingga pada akhirnya aku tahu bahwa selain memiliki naluri manusia juga punya firasat-firasat. Apatah itu tentang perpisahan sekali pun. Juga pada kenyataan bahwa manusia tak bisa melerai segala hal yang akan terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun