Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cantik atau Cerdas?

2 November 2021   12:37 Diperbarui: 2 November 2021   12:51 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di satu perbincangan pada malam yang larut seseorang yang tak asing menanyakan kepada saya. "Yang terpenting dari perempuan modern bagi kamu apa di antara cantik dan cerdas."
     
Saya terus terang menjawabnya dengan memilih perempuan yang cerdas. Dan seperti kebanyakan situasi demikian, si penanya akan kembali bertanya alasan dari jawaban yang dipilih.
     
"Kenapa harus cerdas? Kenapa tidak pilih cantik?" Tanyanya penasaran.
       
Jelas saja semua orang tahu menjadi cantik di abad 21 ini bukan perkara enteng. Bayangkan saja berapa investasi yang dikeluarkan seorang perempuan untuk segala keperluan kecantikannya hingga mengubah warna kulit yang sawo menjadi terang benderang, yang kusam dan berkerut menjadi sintal, alis dipermak, dan rupa-rupa lainnya.

Belum selesai, laki-laki pun kerap terjebak dalam perkara macam ini. Menyadari dirinya tak cukup rupawan, seorang laki-laki bisa dengan setengah mati banting tulang demi bisa menikahi anak perempuan yang cantik jelita dari keluarga lain meski dengan mahar pernikahan yang luar biasa tinggi. Salah satu tujuan yang terselip di pikiran laki-laki itu adalah harapan agar bisa memperbaiki keturunan. 

Dengan menikahi perempuan cantik yang cukup makan biaya ia menilai peluang untuk memperoleh keturunan yang cantik-cantik lebih terbuka.

Dan itu adalah sejumlah bukti betapa cantik itu impian. Perempuan-perempuan mendambakannya, laki-laki menggilainya.

Tak berhenti di perihal impian saja. Cantik juga dianggap secara serius sebagai sebuah aset. Paling tidak menjadi kebanggaan yang akan melekat sebagai penanda yang jadi ciri dan membedakan dengan yang lainnya.
         
Secara luasnya kecantikan masih terlalu dominan dari segi isu. Dunia berlomba membicarakannya. Berbagai riset ilmu pengetahuan modern pun ikut terlibat dalam pusaran isu kecantikan ini. Mereka datang menawarkan inovasi di bidang kecantikan bagi dunia dengan wujud berbagai produk di pasaran dengan label sudah melalui riset dan uji ini itu.
     
Kecantikan lalu menjadi sesuatu yang dipandang seksi. Hampir sama sejajarnya dengan ilmu pengetahuan. Dipandang juga hampir sama pentingnya. Banyak yang memburunya seperti orang-orang berlomba masuk universitas. Kecantikan tak ubahnya sebuah harga yang tak bisa ditawar, padahal ia rentan memudar, sayang saja banyak perempuan tak sadar dan terus mengejarnya seperti tengah terjebak rasa lapar.
           
Lantas apakah ada yang salah? Tentu tidak dong. Toh kecantikan sendiri memang adalah milik perempuan. Perempuan sangat-sangat berhak untuk menjadi cantik. 

Yang salah ketika perempuan berusaha mati-matian menjadi tampan. Itu lain ceritanya. Upaya perempuan untuk meraih kecantikan maksimal itu sesuatu yang sudah ada sejak lama. Ada yang dilakukan secara ekstrim, banyak juga yang menempu jalan biasa-biasa. Intinya selama itu tidak keluar dari pakem yang ada, semua sah-sah saja tentunya.
         
Perempuan adalah keindahan. Dari sana cantik dianggap wajib ada. Hanya saja kesadaran bahwa cantik bukanlah satu-satunya aspek penting yang harus dimiliki perempuan itu kadang-kadang terabaikan. Banyak perempuan yang melewatkan fakta kalau kecerdasan itu adalah hal wajib.

Perempuan yang cantik secara fisik dan cerdas merupakan kombinasi yang mewah. Sedang yang cantik semata tapi mutu berpikirnya pas-pasan adalah layang-layang di udara, yang ia hanya menarik perhatian orang banyak tapi rentan terlepas dan hilang. Lalu yang cerdas meski dengan kecantikan sekadarnya, mereka adalah melodi, kecerdasan perempuan bisa memunculkan kecantikan-kecantikan yang lain.
     
Kita kembali pada kenapa saya memilih cerdas daripada cantik. Semua sungguh sederhana. Andaikan tak ada pertanyaan begitu saya akan pilih keduanya alih-alih cuma pilih satu saja. Tapi karena harus pilih satu tentu saya pilih yang bisa memfasilitasi saya untuk meraih kedua-keduanya. Bukankah begitu yang paling baik?

Saya memilih cerdas bukan karena saya pun cerdas. Tidak begitu. Saya percaya, setiap perempuan memaknai cantik dengan pandangan yang tak jauh-jauh beda. Laki-laki saja yang terlalu berbelit-belit di dalam memberikan penilaiannya terhadap arti cantik itu. Harus inilah, harus itulah. Akhirnya itu semua kian mengeruhkan pandangan perempuan sendiri.
         
Saya percaya kecerdasan bisa melahirkan kecantikan. Namun hal sebaliknya tidak berlaku. Kecantikan tak pernah panjang umur. Ia akan mati di ujung kalender, atau bahkan paling mengerikan ia akan mati lebih cepat hanya dari lensa kamera. Lain lagi dengan kecerdasan, ia awet, bisa bermanfaat untuk orang banyak, juga tentu saja bisa jadi sumber kecantikan-kecantikan yang lain.
     
Pada akhirnya kita tahu cantik itu semahal apa pun proses seseorang meraihnya, begitu mudah pula ia menghilang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun