Beberapa hari terakhir media-media tanah air ramai memberitakan sosok Bahlil Lahadalia yang dilantik presiden Joko Widodo sebagai menteri investasi. Sebelumnya Bahlil menjabat kepala BKPM sejak 2019 yang kemudian setelah nomenklatur berubah menjadi menteri investasi. Proses yang mengantarkan nama Bahlil menjadi menteri investasi pertama di Indonesia.
     Â
Jika kita melihat pemberitaan-pemberitaan media mengenai profil Bahlil Lahadalia, maka kita akan menemukan kesamaan di hampir semua judul beritanya. Yakni mengenai masa lalu Bahlil yang adalah anak tukang cuci, anak tukang bangunan, pernah jadi penjual kue, kondektur angkot, supir, pernah menderita busung lapar, dan hal-hal lain yang identik dengan kesusahan hidup.
   Â
Di Indonesia memang selalu seperti itu. Ketika ada tokoh yang namanya mencuat ke permukaan karena prestasi, maka yang jadi perhatian selalu cerita kesusahan hidup dari tokoh bersangkutan.Â
Persis seperti sinetron-sinetron yang tokoh utamanya selalu berasal dari keluarga miskin. Di sana, di sinetron-sinetron itu, biasanya bakal ada scene pemeran utama mengalami susah uang seperti tidak bisa bayar biaya perobatan, tidak bisa bayar kontrakan, dan lain-lain.
    Â
Kenyataan ini seakan tengah menjelaskan bahwa selama ini kita memang suka sekali fokus pada kemiskinan, pada hal-hal bersifat kebendaan. Padahal itu tak cukup seksi untuk jadi bahan ungkit. Ya, meski pun itu sendiri bukan juga sesuatu yang salah.
    Â
Seperti kisah masa lalu Bahlil Lahadalia yang disebutkan pernah mengalami berbagai macam kesusahan tadi. Media-media terlalu terpaku dengan cerita kemiskinan Bahlil dulu. Padahal bagi Bahlil sendiri andai dulu ia hanya memaku dalam kolam kemiskinan barangkali ia tak akan pernah sampai di jajaran menteri Jokowi. Jangankan untuk jadi ketua umum HIPMI Pusat, untuk masuk ke Jakarta saja ia mungkin tak akan bisa.
Betul memang Bahlil dulu hidup susah. Kehidupan ekonomi orang tua yang jauh dari mapan memaksanya untuk mulai bekerja sejak kecil. Orang tuanya dari Wakatobi, sedang ia lahir di Banda, Maluku. Tumbuh dewasa di Papua. Hidup keluarganya berpindah-pindah lantaran desakan kondisi ekonomi itu sendiri. Â Â Â Â Â Â
Sejak kecil hidup susah...
Tahun 1988 saat terjadi letusan gunung api Banda, Bahlil kecil terpaksa mengungsi bersama keluarga ke pulau Geser untuk beberapa saat. Mereka kemudian memutuskan merantau lagi ke Fak-Fak, Papua Barat.Â
Di sana ada banyak orang Buton. Itu menjadi dorongan bagi mereka. Orang tua Bahlil berharap kehidupan bisa lebih baik dengan pindah ke Fak-Fak. Di sana mereka memulai segalanya dari bawah. Ayah Bahlil bekerja sebagai tukang bangunan, sementara sang ibu berjualan kue yang nyambi sebagai pencuci pakaian.
    Â
Melihat kedua orang tuanya yang bekerja luar biasa kerasnya membuat ia pun tergerak untuk membantu. Setidaknya dengan tidak minta uang jajan saat ke sekolah. Itu dulu.Â
Bermodal pergaulan yang luwes ia masuk ke terminal untuk jadi kondektur angkot. Dengan begitu ia bisa dapat uang jajan, sekaligus makan. Terminal kota Fak-Fak baginya adalah rumah kedua. Pulang sekolah ia sudah langsung di terminal, hingga sore ia baru kembali ke rumah. Hal itu ia jalani bertahun-tahun di mana ia pun pernah naik jabatan jadi supir semasa SMA.
  Â
Lulus SMA ia dilanda dilema. Mau kuliah orang tua tak ada kelebihan biaya. Akhirnya ia putar otak lagi. Kemiskinan seperti menuntunnya untuk terus berpikir. Ia lalu memilih kuliah di Jayapura, ibu kota Papua.
  Â
Bagi anda yang belum pernah ke Papua, atau tak tahu banyak informasi tentang Papua, jangan pikir Fak-Fak dan Jayapura adalah dua daerah yang dekat. Ya meski sama-sama Papua. Karena kota Fak-Fak ada di ujung barat sementara kota Jayapura di ujung timur. Kalau naik kapal Pelni bisa lebih dua hari.
   Â
Bahlil muda lalu berangkat ke Jayapura. Sempat dicegat ibunya tapi ia berhasil meyakinkan sang ibu untuk bisa berangkat. Ia tak minta uang, tapi doa-doa. Ia sadar doa ibu adalah pengantar jalannya menuju keberhasilan. Dan di Jayapura ia meneruskan kuliah di STIE Port Numbay hingga selesai.Â
Di kampus yang akunya sebagai Harvard cabang Papua inilah ia meraih banyak ilmu dan koneksi. Jadi ketua senat mahasiswa, rajin berorasi, rajin pimpin demo, itulah kisah mahasiswa Bahlil.
   Â
Kehidupan Mulai Membaik...
Di bangku kuliah Bahlil melihat dunia luas. Ia banyak belajar. Ia juga kerap susah uang sampai-sampai kerap mengabaikan kepentingan perut kecilnya. Itu yang membawanya terpaksa merasakan pedihnya sakit busung lapar. Sakit yang menjadi motivasinya untuk bangkit.
  Â
Lulus kuliah sebagai sarjana ekonomi ia lalu kerja di bank. Pekerjaan yang membosankan baginya hanya ia lakoni 6 bulan lalu cari kerja lain. Sempat mengelola perusahaan jasa konsultan dengan gaji besar tapi lagi-lagi itu ia tinggalkan.Â
Bukan tak puas ia cuma gelisah dengan kondisinya. Ia merasa ia bisa melebihi itu makanya ia pun beranikan diri bangun perusahaan sendiri. Waktu itu masih tanpa kantor. Hanya bermodal sekretariat berjalan, katanya. Ke mana-mana bawa kop surat, stempel, masuk keluar rental pengetikan, sampai ketemu macam-macam orang.
     Â
Pelan-pelan Bahlil akhirnya bisa bergerak maju. Ia menembus tembok tebal dunia bisnis di Jakarta. Ia jadi ketua umum HIPMI, jadi Dirut perusahaannya sendiri, ia sempat masuk partai Golkar, menjalin kedekatan dengan lingkar Jokowi, ditunjuk jadi kepala BKPM, sampai terbaru saat terjadi nomenklatur pada lembaga yang dipimpinnya ia lalu naik kelas jadi menteri.
   Â
Sungguh bukan cerita singkat.
  Â
Kalau media-media selalu memberitakan kemiskinannya di masa lalu itu tak salah. Ya namanya juga berita, selama itu bukan hoaks dan pelanggaran komunikasi, sah-sah saja.
    Â
Bahlil Lahadalia adalah wujud sempurna dari orang timur. Berasal dari Sulawesi Tenggara, lahir di Maluku, besar di Papua, dan lalu memilih ke Jakarta, untuk sukses tentu saja. Hidupnya tentang merantau, tentang adaptasi. Ia tak bisa diam. Benar-benar penggambaran paling pas tentang orang-orang timur itu.
     Â
Saya pun kebetulan orang timur. Lahir dan tumbuh besar di Buton, berayah orang Maluku, merantau ke Papua, dan penasaran bagaimana masuk Jakarta.Â
Bagi saya, tidak penting membaca wira-wiri pemberitaan tentang kondisi hidup Bahlil di masa lalu. Yang membuat penasaran dan kisahnya menjadi menarik untuk ditelisik adalah bagaimana ia bisa survive dari hanya orang kampung di timur Indonesia lalu bisa masuk Jakarta, jadi pengusaha dengan banyak relasi, jadi ketua HIPMI pusat, masuk lingkar Jokowi dan duduk di kursi elit menteri.
   Â
Bukan apa-apa, sudah jadi rahasia nasional kalau orang-orang dari timur Indonesia kerap kali kesulitan mengibarkan panji-panji kejayaan di kota sekeras Jakarta sana.Â
Mereka banyak yang datang untuk sekolah, setelah lulus kembali lagi ke kampung karena gagal memetik mimpi meraih pekerjaan di ibu kota. Mereka kikuk untuk melakukan penetrasi. Mungkin kendala adaptasi tadi hingga cerita untuk berakselerasi hanya jadi mimpi siang bolong.
    Â
Tapi Bahlil menampilkan cerita berbeda. Ia tak seperti kebanyakan menteri Jokowi yang merupakan jebolan kampus elit nasional hingga internasional. Ia bukan seperti Erick Thohir, Sandiaga maupun Nadiem Anwar Makarim yang sejak muda kuliah di Amerika.Â
Bukan seperti ibu Sri Mulyani yang punya nama di lembaga internasional, bukan seperti pak Basuki yang magister dan doktor dari Amerika, juga bukan seperti Prabowo dan Luhut yang sudah disegani semenjak dulu.
    Â
Bahlil hanyalah orang biasa. Terkenal? Enggak. Ia juga mungkin menteri Jokowi yang pendidikannya paling biasa-biasa saja. Ia lulusan kampus kecil di Papua, di kota Jayapura sana.Â