Saya percaya setiap orang punya banyak impian. Entah apa saja impian-impian itu. Satu yang mungkin benar adalah impian menghabiskan masa tua senja kala usia di kampung halaman. Kalau orang kota bilang menua di desa.
Sayangnya tak sedikit orang yang gagal mewujudkan impian itu. Selain karena takdir yang membatasi usia, juga kadang kala manusia kerap terjebak pada sengkarut kesibukan dunia sampai tua. Dan mati dengan seonggok sesal.
Kakek adalah salah satu dari banyaknya manusia di dunia yang diberi nikmat umur lebih, dan tentu saja kesehatan yang baik hingga akhir usianya. Menjadi lebih nikmat saat akhir-akhir umur itu dihabiskan di tanah kelahiran. Diisi dengan kegiatan ringan seperti berkebun, membaca banyak buku, dan khusyuk ibadah. Kakek seperti sedang menonton film yang ia sutradarai sendiri. Entah hidup menua di kampung halaman adalah impiannya, saya tak sempat bertanya.
Hingga kini tak jelas informasi perihal tahun kelahiran beliau. Dalam data kependudukan tercantum 1924 sebagai tahun lahirnya. Ia sendiri tak bisa memastikan angka itu.Â
Saya mahfum. Lahir sebagai anak orang biasa di desa pada waktu pra kemerdekaan tentu menjadi masalah dalam hal pencatatan tahun kelahiran mengingat hal-hal pokok mengenai data kependudukan belum diatur sebaik sekarang. Meski kenyataannya kini pun masih kerap ditemui keanehan-keanehan dalam data kependudukan nasional.
Kakek lahir di desa kecil dengan hamparan pasir putih bersih di tepi Teluk Lasongko. Di Pulau Muna, di kaki tenggara Sulawesi itu. Namanya Boneoge, sekarang kelurahan Boneoge. Orang tuanya berasal dari Wolio (bekas ibukota Kesultanan Buton) yang lalu bermigrasi ke Pulau Muna dan beranak pinak di sana.
Takdir membawanya menikah dengan nenek yang adalah perempuan Wolio tulen dari golongan Walaka yang menduduki kelas dua dalam strata sosial masyarakat Buton di masa kesultanan. Mereka menetap di Boneoge karena kakek bersikeras tidak mau tinggal di Baubau.
Di Boneoge ini kakek mengelola tanah kosong menjadi kebun yang luas. Ragam tanaman dikembangkan dari jambu, jagung, pisang, dan buah-buahan yang bisa tumbuh. Hidup di pinggir laut membuat naluri pelaut juga ikut terangkat. Kakek menjadi nelayan yang acap kali membela selat Buton mencari penghidupan.Â
Beliau punya ilmu kemaritiman yang tak main-main. Membaca angin, melihat bintang, menerjemahkan pergerakan gelombang, sampai hal-hal detail seperti pemilihan kayu yang baik untuk pembuatan perahu. Beliau seperti menguasai semua. Itu juga yang kemudian membuatnya bisa berkelana ke bandar-bandar di negeri orang melalui lautan.
Menggunakan bangka (perahu) beliau sudah menyusuri banyak daerah di Jawa hingga Bali. Juga Tanjung Pinang, hingga Singapura dan Malaysia. Menjual hasil laut seperti teripang, lola dan membeli barang-barang seperti guci, piring, sarung, dan beberapa cendera mata untuk dibawa pulang ke kampung.
Pengalaman melaut membuatnya begitu piawai membaca laut.