Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Ada Kata Terlambat, tapi Tak Boleh Pesimis

27 Juli 2020   12:09 Diperbarui: 27 Juli 2020   12:06 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Striker Leicester City, Jamie Vardy merayakan golnya. clubcall.com

Semalam, kompetisi sepak bola Inggris baru saja rampung. Lebih lambat dari biasanya akibat pandemi virus Corona yang sejak awal tahun masuk di Eropa. Kompetisi sepak bola Inggris dan umumnya di Eropa sendiri biasanya selesai pada bulan Mei.

Sejak beberapa pekan lalu Liverpool sudah memastikan diri sebagai juara kompetisi setelah poin yang mereka kumpulkan tak lagi bisa dikejar pesaing lain. Menyusul Manchester City yang mengamankan posisi dua. Sementara posisi ketiga dan empat yang menjadi syarat ikut berkompetisi di Liga Champions Eropa baru bisa diselot semalam oleh Manchester United dan Chelsea.

Nah, untuk penghargaan individu, Jamie Vardy yang bermain untuk Leicester City keluar sebagai pengoleksi gol terbanyak atau topskorer kompetisi.

Itu sungguh sebuah kejutan. Tak banyak yang mengira Vardy akan keluar sebagai yang teratas. Bahkan boleh dibilang nyaris tak ada yang mengunggulkan namanya untuk meraih sepatu emas sebagai ganjaran jumlah 23 gol yang ditorehkannya. Vardy sungguh fenomenal.

Kisahnya di sepak bola bak cerita Cinderella. 10 tahun lalu ia bukanlah siapa-siapa dalam peta sepak bola Inggris. Namanya tak terdengar. Ia bahkan hanya pemain di klub sepak bola amatir yang berkompetisi di kasta nomor buncit dengan bayaran per pertandingan yang sungguh kecil. Ia juga harus nyambi bekerja di pabrik secara paru waktu untuk membiayai kehidupannya akibat gaji bermain bola yang tak cukup.

Vardy kala itu memang tak cukup kekuatan untuk bisa berkelit dari situasi. Mungkin saja ia pun tak berpikir untuk bisa meraih banyak hal besar seperti kini. Langkah-langkahnya begitu sunyi rasanya. Tak ada sorot kamera, dan pantauan media yang siap memberitakan. Namanya sungguh-sungguh asing.

Ia berjuang dari titik rendah. Ia ada di titik benar-benar nol. Atau mungkin di bawahnya lagi. Posisi di mana hampir tak ada satu pun pesepak bola elit Inggris hari ini pernah tempati.

Jalan kariernya sungguh ajaib. Tahun 2010 ia hanya pemain biasa dengan bayaran seadanya di tim amatir F.C. Halifax Town. Barulah tahun 2012 di bulan Mei ia dibeli Leicester City yang kala itu masih berkompetisi di divisi Championship, kompetisi sepak bola kasta kedua di Inggris. Nilainya saat dibeli Leicester adalah 1 juta paun. Angka yang cukup fantastis untuk ukuran pembelian pemain sekelas Jamie Vardy waktu itu. Tak ayal kecaman dan keraguan pun muncul beriringan.

Vardy tak pernah memilih mundur. Terbesit perasaan gentar barangkali pernah. Tapi tekadnya untuk maju telanjur disulut. Ia tetap jalan. Layaknya Cinderella yang dirundung banyak badai. Tahun 2014 ia berhasil membantu Leicester City untuk promosi ke kasta nomor satu di Inggris, premier league. Di sini jalan hidupnya pelan-pelan berubah. Ia akhirnya bisa merasakan kompetisi kelas satu yang sekian tahun hanya bisa ia dambakan.

Musim pertama di premier league dijalani dengan satu target. Menghindari degradasi. Bagaimana pun caranya mereka tak boleh turun kasta. Dan itu berhasil dilakukan dengan susah payah setelah mengarungi musim yang berat. Sampai-sampai sang pelatih pun dipecat. Dan situasi Vardy masih bukan siapa-siapa. Bermain di kompetisi teratas di Inggris tak serta-merta mengangkat namanya.

Di musim berikutnya, kisah ajaib pun dimulai. Musim kompetisi 2015-2016 menandai kisah hebat Jamie Vardy bersama Leicester. Itu menjadi musim yang benar-benar menggemparkan. Tak saja di Inggris tapi di dunia. 

Leicester City, tim papan bawah, yang baru dua musim naik kasta dengan status anak bawang dan bahkan di musim sebelumnya nyaris terdegradasi justru keluar sebagai juara. Sungguh menghebohkan. Dunia sejenak terdiam. 

Nama-nama besar tim papan atas Inggris tak sanggup menghalau laju Leicester. Begitu juga Vardy. Ia sukses mengemas 24 gol dengan hanya terpaut satu gol dari Harry Kane yang jadi topskorer kompetisi. Sebuah hasil yang lebih dari memuaskan untuk pemain dengan jam terbang seperti Vardy. Tak sampai di situ, ia juga dipanggil untuk bermain di tim nasional Inggris. Sesuatu yang juga barangkali terlewatkan dari seribu mimpinya.

Yang juga membuatnya sedikit bisa berbahagia adalah saat namanya terpilih menjadi pemain terbaik kompetisi. Itu sudah melengkapi raihan timnya musim itu. Sungguh itu cerita yang tak akan dilupakan oleh banyak penyaksi. Leicester City mencatatkan namanya untuk pertama kali dalam sejarah tim sebagai juara Liga Inggris.

Musim berikutnya segalanya mulai berjalan seperti sedia kala. Leicester kembali menjadi cerita biasa. Terseok-seok di papan tengah. Vardy tak setajam sebelumnya. Hal ini kemudian memunculkan anggapan one season wonder kepadanya alias pemain yang hanya bisa bersinar semusim. Jumlah golnya menurun jadi 13 saja.

Di musim-musim selanjutnya jumlah gol Vardy sebenarnya terbilang bagus. Konsisten di angka belasan. Raihan yang cukup baik. Namanya diperhitungkan di kompetisi liga Inggris. Namanya disejajarkan dengan pemain top lainnya. Tapi itu semua tak cukup untuk mengulang kisah manis Leicester City yang dibawanya juara.

Barulah saat musim 2019-2020 situasinya mulai membaik. Bukan saja bagi Leicester City tapi juga Vardy seorang. Ditinggal rekan-rekan setim yang sama-sama menjuarai kompetisi 2016 membuat tim amat goyah. Namun Vardy tetaplah Vardy. Nyala semangatnya tak pernah padam. Pergantian pelatih membuatnya kembali ke permainan terbaiknya.

Sampai kompetisi berakhir semalam Leicester City berhasil diantarnya sampai ke posisi lima. Bahkan mereka sempat cukup lama duduk di posisi kedua di bawa Liverpool dalam tabel papan klasemen. Sementara bagi dirinya sendiri, raihan pencetak gol terbanyak berhasil diamankan. Mengalahkan nama-nama besar seperti Mohammad Salah, Aubameyang, Kane, Aguero hingga Raheem Sterling.
 
Itu cukup melengkapi prestasinya selama ini. Jadi juara bersama Leicester, meraih penghargaan pemain terbaik kompetisi, masuk tim nasional Inggris, membukukan 100 gol di liga Inggris dengan catatan spesial yang mengalahkan capaian Wayne Rooney, Michael Owen, Didier Drogba dari segi jumlah penampilan.

Kisah liar Vardy sungguh luar biasa. Jika bukan karena tekad barangkali ia tak akan pernah mencapai titik ini. Baru memulai debut di pentas sepak bola teratas Inggris di usia 27 tahun, dengan tim yang baru promosi, ia bisa meraih segalanya.
 
Sungguh, sesuatu yang tak terkira. Dari kisah Vardy kita belajar banyak. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun