Mohon tunggu...
Opu Pangeran Ali Asyam
Opu Pangeran Ali Asyam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

Pembelajar dan pembahas politik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembingkaian Isu Pemerintah Terhadap Ancaman Kedaulatan Indonesia di Laut Cina Selatan

31 Mei 2024   23:31 Diperbarui: 1 Juni 2024   00:12 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam beberapa tahun terakhir, sengketa Laut Cina Selatan (LCS) menjadi sangat intens. Sengketa tersebut mengancam keamanan dan stabilitas kawasan di Asia Tenggara dengan melibatkan beberapa negara yang di antaranya adalah Cina, Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Dari negara-negara tersebut, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia merupakan anggota Association of Southeast Asia (ASEAN). Meskipun tidak terlibat langsung dalam sengketa tersebut, Indonesia turut terimbas sebagai negara yang juga berada dalam kawasan Asia Tenggara dan anggota ASEAN.

Merujuk United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, LCS terdiri atas laut internasional dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) beberapa negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Cina. 

Akan tetapi, beberapa negara mengajukan klaim teritorial yang bersinggungan dan tumpang tindih dengan klaim teritorial negara lainnya. Cina menjadi negara yang mengajukan klaim teritorial yang paling bersinggungan dan tumpang tindih dengan ZEE semua negara di LCS.  Cina mengajukan klaim teritorial melalui peta nine-dash lines yang dipublikasikan pada 2009.

Nine-dash lines adalah sembilan garis putus-putus yang membentang meliputi Selat Luzon, Laut Natuna Utara, hingga berbatasan dengan Teluk Tonkin (juga disebut Ten-dash lines yang meliputi teritorial Taiwan (Maulana, 2021). Setelah peta nine-dash lines dipublikasikan, Cina meningkatkan aktivitasnya di LCS. Pada 2013, Cina memperbarui peta tersebut dengan mengklaim Taiwan sebagai bagian dari teritorinya sehingga menjadi ten-dash lines  (Maulana, 2021). 

Cina kemudian melakukan reklamasi pulau-pulau yang menjadi teritorialnya dan membangun fasilitas militer di atasnya, seperti bandara, pelabuhan, hanggar, radar, hingga penyimpanan rudal sehingga melanggar traktat 1976, deklarasi 2002, dan berbagai peraturan internasional lainnya (Christopher dalam Maulana, 2021).

 Oleh sebab itu, pelanggaran kedaulatan yang dilakukan Cina terhadap negara-negara lainnya di LCS menjadi intens, termasuk terhadap Indonesia. Bahkan, pelanggaran kedaulatan tersebut tidak hanya dilakukan oleh otoritas Cina, tetapi juga nelayan Cina.

Dalam menyikapi sengketa LCS, Indonesia memiliki dua kepentingan, yaitu menjaga kedaulatan wilayahnya dan mengupayakan pengaturan bersama dalam pengelolaan sengketa LCS. Pemerintah menjadi pemegang amanat untuk memenuhi kepentingan tersebut berdasarkan pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan melaksanakan ketertiban dunia. Dalam upaya memenuhi kepentingan tersebut, pemerintah perlu melakukan pembingkaian isu.

Pembingkaian isu diambil dari istilah umumnya, bingkai, yang merupakan bagian dari pengetahuan yang dimiliki pemerintah yang digunakan untuk menanggung konteks tertentu untuk memberikan makna pada konteks tersebut (Beach dalam Mintz & DeRouen, 2012). Dalam hal ini, ibaratnya pemerintah memiliki peran sebagai ahli kacamata yang menyediakan atau memasang kacamata untuk konsumen (Geva, Driggers, dan Mintz dalam Mintz & DeRouen, 2012). 

Hal ini disebabkan oleh sifat informasi yang pada kenyataannya tidak pernah netral dalam proses kebijakan (Jones dalam (Mintz & DeRouen, 2012). Pembingkaian isu memiliki dua tujuan, yaitu mendapatkan dukungan publik terhadap kebijakannya dan membuat lawan menjadi buruk (Mintz & DeRouen, 2012). Di sisi lain, pembingkaian isu memiliki fungsi sebagai lensa yang digunakan masyarakat untuk melihat dan memeriksa situasi (Mintz & DeRouen, 2012).

Pembingkaian isu juga perlu dilakukan pemerintah dalam kaitannya dengan peran kepemimpinan regional berdasarkan konsep kepemimpinan regional yang merupakan bagian dari pendekatan kekuatan regional dan kerangka keamanan (Regional Powers and Security Freamwork-RPSF) oleh Robert Stewart-Ingersoll dan Derrick Frazier. Peran kepemimpinan regional dalam pendekatan RPSF memiliki lima dimensi, yaitu keterlibatan dalam menciptakan atau proses inisasi, keterlibatan dalam pembingkaian isu, pertimbangan kepentingan keamanan regional, membangun institusi, dan penyebaran kekuatan (Stewart & Frazier dalam Haffsari, 2018). 

Peran kepemimpinan regional tersebut memiliki tujuan untuk menciptakan kerja sama dalam rangka memenuhi tujuan atau agenda regional bersama dan bermakna memberikan dampak yang memengaruhi dinamika wawasan (Stewart & Frazier dalam Haffsari, 2018). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun