Mohon tunggu...
Ahmad Islah
Ahmad Islah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pendatang baru. Semangat baru. Antusiasme baru. Baru belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pengajian Ramadan di Tebuireng dan Pesona Kiai Ishaq

26 Juli 2013   14:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:00 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_268874" align="alignright" width="439" caption="Foto kiri: Kiai Ishaq sedang membaca kitab kuning di depan para jamaah pengajian. Foto kanan: Jamaah pengajian membludak hingga menempati pinggiran jalan."][/caption]

Memasuki separuh bulan Ramadan, beberapa pesantren di kota santri masih diwarnai dengan kegiatan-kegiatan pendidikan untuk mengisi waktu para santrinya dengan beribadah. Kegiatan tersebut biasanya berupa salat tarawih berjamaah, pengajian kitab kuning, tadarrus al Quran bin Nadhor, diskusi keagamaan, serta kajian-kajian keislaman lainnya.

Jombang yang notabene basisnya nahdliyin, merupakan kabupaten yang mayoritas pesantrennya berlatar belakang salaf. Kata salaf diambil dari bahasa arab yang artinya kuno. Kuno bukan berarti ketinggalan jaman, melainkan masih menjaga budaya-budaya ulama’ terdahulu yang masih relevan segi implementasi kontennya di era modern. Salah satu ciri khas yang tampak menohok dari pesantren salaf adalah bidang studi muatan lokal sebagai materi ajar andalan yang menggunakan literatur kitab kuning sebagai rujukannya.

Budaya mengkaji kitab kuning di kalangan pesantren salaf masih terjaga hingga sekarang. Biasanya seorang guru atau kiai mengajarkan kitab kuning tersebut dengan cara membaca kata perkata diikuti maknanya dalam bahasa jawa lalu diakhir kalimat dijelaskan maksudnya. Orang-orang pesantren biasa menyebutnya ngaji bandongan.

Diantara pesantren yang paling menarik perhatian warga muslim Jombang maupun luar Jombang adalah Pesantren Tebuireng.

TBI, sebutan Pesantren Tebuireng tidak pernah absen mengadakan pengajian posonan (Ramadan)tiap tahunnya. Kegiatan dimulai sejak puasa memasuki hari kedua hingga nanti tanggal 17 Ramadan yang bertepatan dengan malam Nuzulul Qur’an. “Pada liburan ramadan, kami sengaja tidak pulang dulu, karena pengajian posonan ini adalah salah satu yang kami nanti selama setahun ini,” ungkap salah seorang santri TBI.

Pengajian posonan seperti ini memang terasa beda dengan pengajian biasanya. Pada hari-hari biasa, pesantren ini juga mengadakan pengajian yang relatif sama namun hanya diikuti oleh santri TBI sendiri dan santri dari pesantren-pesantren sekitar TBI.

Kiai Ishaq, salah seorang guru yang mengisi kegiatan ramadan ini merupakan salah satu guru yang paling ditunggu-tunggu santri TBI dan masyarakat sekitar. Bahkan, orang-orang muslim luar daerah rela menyisihkan waktunya selama 17 hari untuk tinggal di Pesantren ini demi mengikuti pengajian tokoh yang bernama lengkap Muhammad Ishaq Latif ini. “Ruhnya pengajian kitab kuning di Tebuireng saat ini, menurut saya ya ada di Kiai Ishaq ini,” tandas Chairul, salah seorang peserta pengajian yang berasal dari kecamatan Mojowarno, Jombang. Selain pandai dalam ilmu agama, beliau juga tangkas mengolah keterangan yang disadur dari kitab yang dibacakan saat pengajian berlangsung, sehingga pesan yang disampaikan sangat mudah dicerna oleh pendengar, terlebih joke-joke cerdas khas pesantren yang menjadi andalan kiai Ishaq ini tidak banyak dimiliki oleh pengajar-pengajar lainnya. Tidak jarang suara gemuruh tawa dan tepukan tangan terdengar membahana dari pengajian yang diikuti kurang lebih 3000 jamaah tiap malamnya. Bahkan, beberapa peserta terkadang membawa atribut-atribut yang bias mengeluarkan bunyi/suara, seperti kentongan, bel udara yang biasa dibawa penjual pentol bakso, maupun peluit. Hal yang belum pernah ditemukan di pengajian-pengajian lainnya.

Pada pengajian Kiai Ishaq, Pesantren yang terletak di komplek makam Gus Dur seakan tidak mampu menampung jamaah yang hadir, sehingga jamaah yang semestinya berada di masjid dan pelataran pesantren justru membludak di pinggir-pinggir jalan raya Jombang-Pare, hingga banyak pula yang mengaji dari dalam mobil karena tidak mendapat alas di sekitar jalan raya.

“Kami jauh-jauh datang dari Cilacap Jawa Tengah, menyewa kos-kosan di rumah penduduk, ya agar bisa ikut ngaji mbah Ishaq ini, hitung-hitung bulan madu juga,” ungkap Muslim didampingi Nisa’, istrinya. Mereka berdua merupakan pasangan pengantin baru dari Cilacap Jawa Tengah.

Malam 17 Ramadan, seperti tahun sebelumnya diperkirakan akan lebih padat dari malam-malam biasanya, karena di malam itu dilaksanakan pembacaan ijazah mata rantai antara pembaca, gurunya pembaca, tersambung hingga pengarang kitab yang dibaca. Jadi, seorang pengajar kitab tersebut sebelumnya pernah belajar dari gurunya, gurunya dari gurunya lagi, begitu seterusnya sampai pada penulis/pengarang kitab yang dibaca. Silsilah mata rantai tersebut termaktub jelas dalam sebuah naskah yang kemudian ibaratnya menjadi sebuah pengukuhan bahwa seorang guru itu memiliki sanad yang sah. (ois)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun