Mohon tunggu...
Pekik Aulia Rochman
Pekik Aulia Rochman Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Alhamdulillah, Hopefully I am better than yesterday

Seorang opinimaker pemula yang belajar mencurahkan isi hatinya. Semakin kamu banyak menulis, semakin giat kamu membaca dan semakin lebar jendela dunia yang kau buka. Never stop and keep swing.....^_^

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah di Balik Prosedur BAP dan Memori "Fitsa Hats"

8 Januari 2017   15:23 Diperbarui: 9 Januari 2017   08:18 2202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berawal dari postingan sohib Facebook yang saya baca. Berikut postingannya;

“mendengar takjub cerita tentang perjalanan hidup seseorang yang penuh warna, tak terduga, bahagia, sekaligus air mata”, #PepTalk.

Membuat saya ingin menulis.

Saya termasuk orang yang juga lumayan banyak mendengar serpihan cerita hidup orang-orang ketika hendak mengajukan permohonan Paspor yang hilang atau rusak. Kebetulan saya sendiri yang mem-BAP mereka.

Di antara beberapa serpihan cerita ada yang mendeskripsikan betapa untuk berjuang hidup menafkahi diri dan keluarga perlu pengorbanan besar dan derita pilu. Tak jarang mereka bercerita sambil meneteskan air mata, karena haru sendiri bila ingat peristiwa perjuangan masa lalunya. Ada pula kisah-kisah inspiratif lainnya. Berikut ini kisah salah satunya.

Seperti kisah pemohon Paspor berikut yang saya BAP pada hari Jum’at, 6 Januari 2017. Ada tiga orang saat itu. Pertama adalah seorang Ibu yang menikah dengan warga negara Yaman yang tinggal di Arab Saudi. Kebetulan anak atas hasil pernikahannya masih berkewarganegaraan Yaman. Saya BAP anak tersebut melalui Ibu Kandungnya karena overstay.

Kedua adalah seorang bapak yang hilang Paspornya saat perjalanan menuju Kantor Imigrasi Kelas II Sukabumi menggunakan motor. Paspornya disimpan dalam kantong plastik dan ditaruh di bagian depan motor. Tanpa beliau sadari, setelah sampai di Kantor Imigrasi, kantong plastiknya sudah tidak ada. Atas pengakuannya, mungkin hilangnya terjatuh saat perjalanan.

Sedangkan yang ketiga, pemohon Paspor penggantian karena hilang. Inilah yang akan saya bagikan sekelumit kisahnya. Sebab, di antara tiga kisah orang yang saya BAP, orang yang ketiga ini sangat menarik untuk dipublish.

Orang ketiga ini adalah seorang Ibu. Beliau menunggu giliran untuk saya BAP sembari duduk di sebuah kursi panjang berjejer bak kuris di tuang tunggu pasien. Karena waktu saat saya mem-BAP orang yang kedua ini akan cukup lumayan menghabiskan waktu kira-kira sampai pukul 11.30. Sedangkan jam istirahat hari Jum’at pada pukul itu. Maka, pada pukul 11.15 saya panggil Ibu tersebut, “Bu, mohon maaf, karena ini hari Jum’at, jadi Ibu silahkan datang kembali setelah Jum’atan”. Beliau pun mengiyakan dan langsung keluar kantor.

Saat tiba giliran Ibu tersebut saya BAP. Beliau duduk di depan meja kerja saya. Beliau adalah seorang PNS di Akademi Perawatan (Akper) milik Pemda Kab. Cianjur. Sebut saja namanya Bu Desi (bukan nama sebenarnya). Bu Desi yang kelahiran tahun 60’an adalah seorang Dosen di Akper tersebut.

BAP pun saya mulai. Pertama saya tanya keadaannya, kesehatan jasmani dan rohaninya. Lalu saya tanya pula kesediaan beliau untuk memberikan keterangan yang benar, jujur dan dapat dipertanggungjawabkan. Bu Desi pun menimpali dengan jawaban sehat dan siap akan memberikan jawaban yang jujur dan benar.

Berikutnya, saya tanya riwayat hidupnya secara singkat. Dari nama, tempat, tanggal & lahir, alamat rumah, pekerjaan dan pendidikan terakhir, semua saya tanyakan. Ketika beliau menjawab pada bagian pendidikan terakhir, Bu Desi menjawab bahwa beliau lulusan Srata II dan sedang melanjutkan S3. Sebelum menuju pada pertanyaan inti, yakni tentang kronologis hilangnya Paspor, saya tertarik dengan riwayat hidup pendidikannya Bu Desi sehingga memancing saya untuk tanya-tanya lebih jauh seputar pendidikannya tersebut.

Di usia yang tergolong senja, sekitar 56 tahun, Bu Desi masih semangat untuk sekolah. Seorang Dosen di bidang kesehatan, Bu Desi mengabdi mengajar sudah cukup lama dan semangatnya untuk menimba ilmu cukup menginspirasi. Saat ini beliau sedang di semester akhir untuk menyusun Disertasinya. Bahkan untuk sekolah S3, Bu Desi memilih bersekolah di luar negeri dengan cara beasiswa.

Kebetulan Akper milik Pemda Cianjur ada hubungan kerja sama dengan pemerintah Filipina dan menyediakan beberapa beasiswa. Bu Desi pun tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Alhamdulillah, sejak tahun 2013 beliau dapat beasiswa tersebut dan mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu di Filipina.

Sistem kuliahnya dilakukan hanya empat kali pertemuan dalam satu semester. Satu kali berangkat menggunakan pesawat dan hidup selama dua minggu di Filipina. Mengenai beasiswa yang beliau peroleh tidak penuh, hanya uang kuliahnya saja. Sedangkan untuk akomodasi dan biaya hidup ditanggung sendiri.

Saya agak sedikit heran kenapa beliau mau mengambil beasiswa tersebut. Dalam pikiran saya, namanya beasiswa itu biasanya penuh. Baik biaya kuliah, akomodasi maupun biaya hidup itu free of charge. Apalagi kuliah di luar negeri, bisa kebayang kan, berapa biaya hidup dan tiket PP yang harus dikeluarkannya setiap kali akan kuliah. Tapi, Bu Desi menjawab dengan enteng dan sumringah, “saya suka sekolah, mas!”. Beliau kuliah didukung penuh suaminya yang seorang pensiunan di kantor yang sama dan juga anak-anaknya. Bikin saya semakin tertarik dengan kisah hidup dan semangatnya.

Kemudian beliau menjelaskan kondisi sosial, ekonomi dan pendidikan di Filipina. Katanya, biaya sekolah di Filipina itu lebih murah ketimbang di Indonesia. Di samping itu, para Profesornya tidak jaim dan sederhana kehidupannya. Sikap mereka terhadap mahasiswanya selalu welcome. Mobilnya pun biasa-biasa saja. Menurutnya, bila dibandingkan dengan mayoritas kehidupan para Profesor dan Dosen di Indonesia berbeda jauh.

Filipina itu tergolong negara miskin. Menurut Bu Desi, kampus yang dia gunakan untuk kuliah saja mejanya masih terbuat dari kayu dan kursinya ada kursi plastik. Bangunan kampus jelek dan Rumah-rumah penduduk kumuh. Pokoknya bila dibandingkan perekonomian di Indonesia kalah jauh. Meski demikian, pendidikan di Filipina terbilang maju pesat. Rata-rata mahasiswa dan mahasiswinya selalu serius dalam belajar. Mereka tidak sibuk sendiri dengan Hp dan urusan lainnya selain belajar. Kesederhanaan mereka juga terlihat, saat berangkat kuliah hanya jalan kaki atau menggunakan transportasi publik. Di samping itu, yang membuat Bu Desi takjub adalah mahasiswa dan mahasiswi di Filipina yang bergelar doktor rata-rata masih berusia muda. Usianya sekitar kepala 3 dan kepala 4.

Ketika saya tanya bagaimana Bu Desi bisa menyimpulkan dunia pendidikan kampus di Filipina bisa di atas Indonesia, sedangkan menurut Ibu mereka tergolong negara miskin. Apakah Ibu hanya menilai di kampusnya Ibu sendiri? Beliau menjawab tidak. Sebab, sebelum dia masu kampus ada program orientasi kampus terlebih dahulu. Orientasinya adalah mendatangi kampus-kampus yang ada di Filipina yang nantinya bisa jadi referensi pilihan kampus yang akan dituju. Begitu caranya Bu Desi menilai dunia pendidikan di Kampus-kampus di Filipina.

Bu Desi kuliah S3 di Filipina untuk melanjutkan penelitiannya tentang reproduksi para remaja. Kebetulan awal tahun 2017 ini sedang persiapan sidang Desertasinya. Ketika saya tanya, bahasa apa yang Ibu gunakan untuk kuliah di Filipina, Inggris atau tagalog? Beliau menjawab bahasa Inggris. Saat itu beliau terkendala Paspornya yang hilang di rumah. Saat dibutuhkan untuk berangkat kuliah, Paspornya hilang. Akhirnya dia datang ke Kantor Imigrasi Sukabumi dan berurusan dengan saya, sebagai Staf Sub Seksi Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas II Sukabumi.

Di sela-sela BAP saya masih sempat bertanya kepada beliau;

“Bu, saya lulusan Sarjana Hukum, namun saya merasa belum bisa membuat karya tulisa Ilmiah dengan baik dan benar, bagaimana tipsnya?”

“Sering buat proposal saja mas! Dan sering-seringlah baca buku. Jangan baca lewat internet. Mahasiswa-mahasiswi saya kalau membuat karya tulis berbahan dari internet kurang saya beri respect

“Lalu, bagaimana cara Ibu menyerap ilmu dengan membaca buku tersebut?”

“Saya memang dari dulu suka baca buku mas. Bahkan jika saya ada waktu luang kok tidak baca buku terasa hambar atau ada yang kurang. Baca buku itu ibarat makanan pokok saja. Sedangkan cara saya membaca buku tersebut dengan cara meringkas uraian-uraian yang penting”

“Wow, baca buku ibarat seperti makan. Jadi, lebih baik tidak makannya ya Bu ketimbang tidak baca buku?”

“Ya, kurang lebih seperti itu mas. Ini saja kalau masih ada sekolah sesudah S3, saya mau melanjutkan sekolah lagi.”

“Ya, kalau begitu Ibu teruskan saja dengan gelar Profesornya!”

“Iya sih, maunya begitu. Namun sayang, gelar Ph.D yang saya dapat dari Filipina kelak harus ada penyetaraan lagi dari Dikti. Mungkin untuk mencegah adanya gelar-gelar bodong itu”

Itulah gairah dan semangat Bu Desi dalam menimba ilmu yang tak lekang oleh waktu. Seorang Dosen sekaligus Ibu dari tiga anak ini pantang berhenti untuk sekolah dan sekolah. Ketika saya tanya, apakah beliau punya blog, dia jawab tidak. Sayang sekali. Lalu, saya sarankan untuk membuatnya. Meski saya tahu beliau termasuk orang yang lahir di jaman jadul, sehingga tidak begitu akrab dengan namanya blog dlsb, saya sarankan untuk menulis di blog. Jadi, yang terinspirasi bukan hanya saya dan para mahasiswa-mahasiswi di kampusnya, tapi kebaikan ilmu pengetahuan dan kisah inspiratifnya akan abadi sebab pena dan tinta emasnya di mata dan hati pembaca rakyat Indonesia.

Di penghujung pertanyaan dan BAP yang sudah selesai, saya tidak lupa mengingatkan, “Silahkan Bu Desi untuk membaca dan mengoreksi kembali dengan seksama hasil BAP yang sudah saya cetak sebelum ditandatangani dan sebelum fenomena Fitsa Hats kembali viral!”

Bu Desi pun tersenyum simpul.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun