[caption caption="Jika Bersinergi Bisa Saling Mengisi (rifan-fb.com)"][/caption]
Beberapa alasan mengapa warga negara asing atau turis mancanegara datang ke wilayah Indonesia. Di antaranya adalah berwisata, melakukan kunjungan bisnis, mengenyam pendidikan (sekolah), menjadi sukarelawan yang masuk dalam kategori kegiatan sosial budaya dan/atau mengunjungi keluarga. Khusus alasan kunjungan keluarga, hal ini bisa terjadi sebab adanya pernikahan lintas negara yang diistilahkan pernikahan campur. Jadi yang dikunjungi adalah istri atau suami termasuk keluarganya yang seorang warga negara Indonesia. Namun secara mayoritas, alasan wisatalah yang paling banyak memenuhi negara Indonesia. Oleh sebab itu, banyak sekali turis-turis mancanegara yang bisa sobat temui, terutama di tempat-tempat wisata di berbagai daerah di Indonesia. Sedangkan turis asing yang berbisnis, sekolah atau mengunjungi keluarga di Indonesia masih terbatas dan berada pada tempat atau daerah tertentu saja.
Belum lama ini, ada satu kebijakan pemerintah yang berfungsi menarik perhatian lebih serta untuk meningkatkan animo daya tarik wisatawan asing datang ke Indonesia. Kebijakan membebaskan biaya visa bagi wisatawan asing ini diambil sebagai langkah Presiden Jokowi yang diembankan kepada Menteri Pariwisata dalam rangka menggenjot devisa negara di Bidang Pariwisata. Mengutip dari halaman website resmi imigrasi (imigrasi.go.id) yang berkaitan, bahwa kebijakan tersebut telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 104 tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan, yang resmi ditandatangani pada tanggal 18 September 2015 yang lalu. Dalam Perpres tersebut diatur pembebasan visa bagi banyak negara yang jumlahnya 75 negara.
Inilah ke 75 negara tersebut, Afrika Selatan, Aljazair, Amerika Serikat, Angola, Argentina, Austria, Azerbaijan, Bahrain, Belanda, Belarusia, Belgia, Bulgaria, Ceko, Denmark, Dominika, Estonia, Fiji, Finlandia, Ghana, Hongaria, India, Inggris, Irlandia, Islandia, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Kazakhstan, Kirgistan, Kroasia, Korea Selatan, Kuwait, Latvia, Lebanon, Liechtenstein, Lithuania, Luxemburg, Maladewa, Malta, Meksiko, Mesir, Monako, Norwegia, Oman, Panama, Papua New Guinea, Perancis, Polandia, Portugal, Qatar, Republik Rakyat Tiongkok, Rumania, Rusia, San Marino, Saudi Arabia, Selandia Baru, Seychelles, Siprus, Slovakia , Slovenia, Spanyol, Suriname, Swedia, Swiss, Taiwan, Tanzania, Timor Leste, Tunisia, Turki, Uni Emirat Arab, Vatikan, Venezuela, Yordania dan Yunani. Silahkan cek sendiri! termasuk negara manakah sobat tinggal. Jika sobat masuk dalam negara Indonesia, maka sobat belum beruntung sebab tidak termasuk dalam daftar 75 negara di atas (jika sobat bingung itu normal, jika saya yang bingung berarti saya yang tidak normal, hehe).
Ada yang menarik yang mungkin sobat belum tahu. Dari sekian banyak negara yang dibebaskan visa oleh pemerintah kita, ada satu negara tetangga, bahkan tetangga dekat yang tidak dibebaskan dari biaya visa. Wisatawan asing yang berasal dari negara ini tidak dapat masuk begitu saja tanpa membayar visa, yang dikenal dengan istilah Visa On Arrival. Jadi, wisatawan ini harus bersedia membayar Visa Kunjungan Saat Kedatangan sebesar 25 dolar Amerika (25$) pada saat akan masuk wilayah Indonesia melalui Bandara Internasional, seperti Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Jakarta atau Bandara Ngurah Rai di Bali. Negara yang saya maksud, tidak lain dan tidak bukan adalah Australia. Mengapa demikian?. Apakah karena Australia pernah menarik Duta Besarnya dari negara Indonesia sebab kejadian hukuman mati dua warga Australia pada kasus narkoba yang dahulu.
Jika pikiran sobat demikian, berarti Pemerintah kita masih seperti anak kecil yang suka ngambek atau suka balas dendam. Tapi, benarkah sekecil itu jiwa Presiden Jokowi bersama Kabinet Kerjanya?. Untungnya saya banyak baca, pembelajar yang berusaha selalu tabayyun (klarifikasi) dan bukan tipe orang yang gampang percaya pada informasi atau berita. Ternyata, alasan mengapa Indonesia tidak menjadikan negara Australia tergolong negara yang masuk dalam daftar bebas visa adalah karena “Azas Resiprokal”.
Pengertian azas tersebut menurut Mulya Effendi Siregar, Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dikutip pada laman keuangan.co.id adalah asas kesetaraan dimana jika bank asing berinvestasi di Indonesia, maka bank nasional Indonesia boleh berekspansi pula ke negara-negara yang berekspansi ke Indonesia. Nah, Australia tidak mau melakukan hal itu. Ya sudah, jika maunya seperti itu, Australia harus siap menerima konsekuensi tidak masuk dalam daftar tersebut. Adil dan bijaksana bukan, yang dilakukan pemerintah kita?. Azas simbiosis mutualisme (saling memberi keuntungan) yang dijadikan pedoman pemerintah kita demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Dari tulisan pembuka di atas, saya sebagai penulis amatir, sejatinya ingin menyampaikan sebuah keprihatinan akibat ulah oknum di salah satu institusi negara kita ini. Atas peristiwa yang tak patut tersebut telah mendorong dan memaksa hati nurani saya untuk menulis yang kaitannya dengan program pemerintah kita dalam meningkatkan devisa negara di bidang pariwisata.
Begini ceritanya, ada tiga orang, terdiri dari seorang wanita muda paruh baya (Dewi, bukan nama sebenarnya), seorang bapak dan satu warga negara asing dari Arab Saudi (Husein, bukan nama sebenarnya) datang ke Kantor Imigrasi Kelas II Sukabumi pagi hari Senin, 07 Maret 2016. Mereka langsung menemui petugas imigrasi yang berada di Loket Asing menyampaikan sebuah peristiwa dan menanyakan informasi. Peristiwa yang disampaikan bahwa Husein yang diduga istrinya Dewi telah diminta uang sebesar Rp. 500.000,- oleh oknum kepolisian di Puncak, Kabupaten Cianjur. Sebab dalam Paspornya Husein tidak terdapat visa. Dewi memberitahu bahwa oknum Polisi tersebut akan datang lagi ke rumah pada hari yang sama dengan memberi informasi yang dirasa kurang pas, kurang lebih seperti ini, “Anda, Husein telah melanggar karena pada Paspor Anda tidak ada visa. Anda bisa dipenjara dan dideportasi oleh Imigrasi!”. Menurut Dewi, para oknum polisi ini akan datang lagi ke rumahnya dan akan meminta kembali uang sebesar Rp. 1.500.000,-. Lalu Dewi menanyakan apakah benar demikian peraturannya.
Pak Aditiya Nugraha, petugas loket asing secara tegas memberi informasi dan merespon komplain mereka, bahwa itu tidak benar. Setelah dicek Paspornya Husein, memang tidak ada visanya, namun pada halaman Paspornya ada cap kedatangan warna hijau tertanggal 26 Februari 2016. Artinya Husein bisa tinggal dan berada di Indonesia selama 30 hari ke depan dari tanggal tersebut sampai dengan tanggal 26 Maret 2016.
Dari peristiwa yang memprihatinkan di atas, saya yang waktu itu juga sebagai saksi, memberi informasi keimigrasian yang bagaimana sebenarnya dan yang seharusnya. Apa yang telah dilakukan oknum polisi itu sangatlah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian dan sama sekali tidak mendukung kebijakan pemerintah dalam memberi rasa aman dan nyaman bagi para wisatawan asing demi banyaknya devisa negara yang diraih di bidang pariwisata.
[caption caption="Foto di depan Kantor Imigrasi Sukabumi (dokpri)"]
Ada harus dibedakan antara tugas Polisi sebagai aparat penegak hukum dengan petugas imigrasi dalam menangani keberadaan dan kegiatan warga negara asing (WNA) yang berada di Wilayah Indonesia. Polisi juga ada yang ditugaskan untuk menangani orang asing, namun hanya terbatas dalam hal pengawasan. Adapun masalah administrasi keimigrasian, jika ditengarai adanya pelanggaran, maka diserahkan seluruhnya kepada Petugas Imigrasi. Seperti contoh, mendapati WNA yang tidak memiliki Paspor, Overstay (tinggal di Indonesia melebihi waktu ijin tinggal yang telah ditentukan), WNA sebagai turis wisata tapi bekerja dan pelanggaran keimigrasian lainnya. Jadi, jika ada pelanggaran yang bersifat administrasi keimigrasian yang dilakukan oleh oknum WNA, maka Polisi tidak memliki wewenang secara hukum untuk menindak WNA tersebut. Tapi, tindakan yang sesuai dengan aturan adalah berkoordinasi dengan pihak imigrasi terdekat. Lain halnya, bila ada WNA yang melakukan tindakan kriminal, maka Polisi wajib menindak atas perbuatan pidana WNA tersebut. Sepenuhnya hak dan kewajiban dari pihak kepolisian. Namun, tetap berkoordinasi dengan Pihak Imigrasi.
Pada peristiwa naas yang dialami oleh Husein dan Dewi terdapat beberapa hal yang dapat saya analisa. Pertama, oknum polisi tersebut telah memberikan informasi tentang keimigrasian terhadap orang asing yang keliru, malah terkesan menakut-nakuti. Kedua, permintaan uang sebesar Rp. 500.000,- dan pernyataan permintaan uang yang akan diminta kembali sebesar Rp. 1.500.000,- jelas melawan hukum, tidak berdasar sama sekali. Hal ini terlepas dari benar tidaknya laporan Ayu dan Husein. Seperti yang sudah saya jelaskan di atas tentang perbedaan antara tugas polisi dengan petugas imigrasi dalam penanganan orang asing. Ketiga, oknum polisi tersebut terkesan kurang upgrade informasi tentang peraturan pemerintah dan kebijakan pemerintah terbaru dalam rangka mensukseskan pembangunan. Keempat, yang terakhir, sebab kurangnya pengetahuan kebijakan pemerintah yang terupdate sehingga oknum aparat polisi cenderung tidak mengindahkan dan tidak mendukung pada kebijakan-kebijakan pemerintah.
Jika memang apa yang dilaporkan Dewi dan Husein benar apa adanya, maka hal tersebut menjadi preseden buruk bagi institusi yang sedang beranjak bangkit dari stigma jelek masyarakat. Di samping akan menjadi citra buruk tidak hanya bagi Dewi sebagai warga negara Indonesia, juga Husein sebagai warga negara Arab Saudi. Husein pasti akan menilai bahwa polisi Indonesia penuh dengan perbuatan kotor dan korupsi. Di sisi lain, tidak membantu rakyat kecil seperti Dewi yang sedang berusaha meningkatkan taraf hidupnya dengan menikah warga negara asing yang penuh dengan resiko.
Ini adalah salah satu contoh kasus saja. Namun tidak menutup kemungkinan kasus yang sama bisa saja terjadi pada Dewi dan Husein yang lain. Sebagai solusi dari salah satu contoh kasus tersebut perlu adanya pembinaan yang lebih intensif, efisien dan efektif terhadap aparat kepolisian terutama yang ditugaskan untuk menangani orang asing dan sanksi yang tegas terhadap oknum petugas polisi jika diketahui melanggar.
Walau bagaimanapun WNA yang masuk ke Indonesia mungkin awalnya masuk dengan cara yang legal dengan alasan satu di antara empat di atas, bisa jadi akan ditunggangi kepentingan lain yang bersifat negatif. Seperti halnya, Perdagangan Manusia (people smugling), Narkoba, Teroris dan lain sebagainya. Oleh karenanya saya berharap, Para Petugas Imigrasi dengan segala keterbatasan sumber daya manusianya, yang memiliki tugas berat dalam menjaga pintu gerbang Indonesia yang sangat luas, dari Sabang sampai Marauke ini sangat membutuhkan bantuan dari instansi lain, tak terkecuali aparat kepolisian dalam penanganan keberadaan dan kegiatan orang asing yang berada di Wilayah Indonesia. Maka sinergitas antar lembaga pemerintahan sangatlah krusial.
Semoga tulisan ini menjadi pembelajaran yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H