Mohon tunggu...
Alungsyah mt
Alungsyah mt Mohon Tunggu... Praktisi Dikantor Hukum Sidin Constitution -

Praktisi Hukum

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sidang Tertutup “Papa Minta Saham”

8 Desember 2015   15:52 Diperbarui: 8 Desember 2015   16:51 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

SIDANG TERTUTUP “Papa Minta Saham”

Oleh: Alungsyah

 

Kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden dalam skandal PT. Freeport dengan meminta saham sebesar 11% kian memanas. Bahkan menimbulkan kegaduhan dan menjadi isu utama di republik ini. Kasus ini menyita perhatian public dan melibatkan para petinggi di Negara ini dan melibatkan para pejabat lainnya, salah satunya dengan pihak teradu ketua DPR RI. Sedangkan pihak yang melakukan pengaduan ialah menteri ESDM Sudirman Said sekaligus sebagai pembantu Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019.

Diduga munculnay kasus dimaksud berawal ketika Setya Novanto melakukan pertemuan dengan petinggi PT. Freeport untuk membahas masa depan Freeport dengan substansi “meminta saham” dengan mengatasnamakan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Atas tindakan tersebut setidaknya membuat geram sejumlah pihak tak terkecuali lingkungan istana dan Ini terbukti dengan direstuinya menteri ESDM untuk melakukan pengaduan kepada Majelis Kehormatan Dewan (MKD) selaku pengadilan etik DPR.

Justifikasi Kesalahan

Sidang MKD yang dilaksanakan beberapa hari silam dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. Sidang yang dilakukan dengan menghadirkan dan memerikasa pihak-pihak terkait dalam masalah ini menimbulkan tanda tanya besar akan sikap dan ketegasan dari sidang yang sedang berlangsung, tak sedikit pula yang masih mempertanyakan terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) Sudirman Said yang kapasitasnya sebagai menteri ESDM. Sehingga berujung terjadinya perdebatan retoris yang panjang diinternal MKD. Kondisi ini terjadi disebabkan karena adanya pergantian anggota ditubuh MKD diantaranya ialah Hardisoesilo (Wakil Ketua) diganti Kahar Muzakir, Dadang S Muchtar diganti Ridwan Bae, dan Budi Supriyanto diganti Adies Kadir.

(kompas.com 7/15). Selain itu juga nama yang turut diganti pertama adalah Guntur Sasongko dari Fraksi Demokrat menggantikan Fandi Utomo. Kedua adalah Akbar Faizal menggantikan Fadholi dari Fraksi NasDem. Lebih lanjut dua anggota lain yang diganti adalah dari Fraksi PAN. Yaitu Sukiman menggantikan Hang Ali Saputra Syah Pahan, dan A Bakrie yang menggantikan Ahmad Riski Sadiq (detik.com 24/15).

Akibat pergantian yang dilakukan, secara logika semakin jelas menimbulkan persepsi buruk dimata public. Bahwa ada “perselingkuhan” oknum tertentu yang mencoba masuk melalui prosedur sidang yang dilakukan, sehingga prediksi yang muncul makin terlihat arah putusan yang akan diambil nantinya. Pergantian terjadi menandakan bahwa MKD tidak independen secara Sumber Daya dan bahwa jelas ada kuasa partai politik yang itu tidak bisa dikesampingkan. Karenannya sangat wajar dan memumgkinkan jikalau parpol melakukan pergantian anggota dengan alasan tidak omtimalnya kinerja anggota yang bersangkutan atau bahkan untuk melindungi Setya Novanto dari kesalahan yang dilakukannya. Yang mana akibat perbuatan tersebut diyakini tidak hanya mencoreng nama pribadi semata, akan tetapi menyangkut wibawa sebuah Negara yang beraulat.

Sidang etik MKD terdahulu yang dilakuan secara terbuka seolah ingin meyakinkan public bahkwa MKD serius dalam mengusut kasus ini, terlebih dianggap sebagai lembaga yang profesioanal jauh dari intervensi siapapun. Namun pada sidang selanjutnya dengan agenda menghairkan actor utama Setya Novanto dalam kasus ini membuat public kembali bertanya ada apa dengan semuanya.

Karena sidang yang sejatinya untuk menemukan kebenaran materiil siapa yang bersalah dilakukan secara tertutup bahkan mengalami penundaan selama 40 menit dari waktu yang dijadwalkan. Untuk menentukan sidang terbuka atau tertutup ini setidaknya terjadi perdebatan diinternal MKD itu sendiri. Bahkan sebelumnya Setya Novanto meminta sidang harus dilakukan secara tertutup dengan dalih ini merupakan amanah dari Undang-undang No. 42 tahun 2014 sebagaimana perubahan atas UU No. 17 tahnu 2014 tentang MD3 eserta aturan turunannya dan menyangkut substansi yang bersifat rahasia adanya.

Pada situasi ini seharusnya Setya Noanto tidak perlu mencari pelindungan dibalik pasal dalam suatu UU. Justru tindakan yang dilakukannya menambah keyakinan masyarakat atas kebenaran dari kasus ini dan pada moment inilah yang tidak dimanfaatkan olehnya. Dari sidang yang dilakukan secara tertutup ini sebenarnya disatu sisi menjustifikasi bahwa benar Setya Novanto bersalah dan dialah pelakunya, mengapa demikian sebab kalaupun Setya Novanto tidak bersalah, maka disinilah dia seharusnya membuktikan semuanya dan mengembalikan nama baiknya yang selama ini tercemar dan sidang sepantasnya dilakukan secara terbuka sesuai dengan kehendak public.

Namun disisi lain menunjukkan bahwa Setya Novanto sedang mengalami ketakutan, karena dalam logika psikologi orang yang ketakutan itu cenderung bersembunyi dan tertutup, sehingga dari perbuatan yang ia lakukan tidak mau diketahui oleh orang banyak. Kondisi inilah yang digambarkan oleh Setya Novanto pada sidang MKD hari ini (red-kemaren).

Mencemarkan Negara

Kasus yang mencatut nama presiden dan wakil presiden menimbulkan polemic yang berkepanjangan bahkan dari kasus ini berimplikasi yang merugikan tidak hanya perorangan, tetapi sudah merambat pertarungan dari harga diri sebuah Negara yang berdaulat. Tindakan yang dilakukan oleh Setya Novanyo tidak hanya mencemarkan nama baiknya secara individu, namun juga mecemarakan dan melibatkan tokoh-tokoh penting didalamnya serta sebuah lembaga Negara, sebut saja DPR dan eksekutif dalam hal ini Presiden atau bahkan lembaga lain yang terkait. Oleh karena itu apa yang terjadi bukanlah menyangkut oang perorangan semata, sehingga sangat disayangkan jika MKD sebagai peradilan etik dalam proses pemeriksaannya tidak memutuskan untuk “keselamatan” bangsa ini baik kedalam maupun keluar. Disinilah MKD diuji apakah sebagai lembaga yang “independen”, objektif, professional atau malah sebaliknya.

Dari apa yang telah diurai diatas setidaknya masih ada pertanyaan dibenak sejumlah orang. Secara etika sangat mungkin Setya Novanto telah melakukan kesalahan besar dari apa yang ia perbuat, karena ini melibatkan kelembagaan yang dipimpinnya. namun jika dilihat secara hukum, apakah benar dialah yang bersalah atau justru pemerintah pada umumnya yang memiliki porsi terbesar sebagaimana amanah Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang Minerba?

 Penulis merupakan praktisi hukum pada kantor hukum Sidin Constitution

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun