Mohon tunggu...
ahmad taufiq
ahmad taufiq Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Berminat di bidang pendidikan, sejarah, ekonomi politik, sastra dan revolusi. Frustasi jadi mahasiswa. Belajar jadi manusia biasa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menggagas Revolusi Pendidikan (Bagian I)

30 April 2014   21:50 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:00 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Jalan masih teramat jauh, mustahil berlabuh, bila gayung tak terkayuh.

(Iwan Fals)

Kuliah dan Orang Miskin

Di Indonesia, mayoritas orang miskin tidak bisa kuliah. Sebab kuliah tidak gratis. Karena tidak kuliah, maka akan lebih susah cari kerja. Kalau dapat kerja paling-paling jadi buruh kasar bergaji rendah. Kalau begitu mereka akan tetap miskin.

Negara memang tidak bertanggungjawab dalam menyelenggarakan pendidikan. Sehingga penyelenggaraannya oleh swasta. Bahkan di kampus-kampus negeri, negara juga hanya sebatas membantu, bukan penanggungjawab. Sebagaimana tercermin dengan jelas nama programnya BOPTN (Bantuan Operasional Pendidikan Tinggi Negara). Namanya saja bantuan, jadi hanya membantubukan bertanggungjawab. Maka artinya, kampus memang menjadi milik pasar, bukan milik negara.

Pasar punya logika jual-beli, ono rego ono rupo (mutu tergantung harga). Pendidikan berbiaya rendah maka sudah layak jika tidak mutu. Pendidikan yang bermutu, ya wajar kalau mahal. Dari sini muncul stratifikasi pendidikan, ada kampus rakyat (murahan) ada kampus elit (mahalan).

Orang miskin kalau toh bisa kuliah, tentu di kampus berbayar murah, dan karenanya tidak mutu. Kecuali di kampus negeri yang banyak dibantu negara. Tapi kampus jenis ini banyaknya tidak sebanding dengan kampus swasta. Artinya, dari sebagian kecil orang miskin yang bisa kuliah, sebagian kecil darinya yang bisa mengakses kampus yang bermutu.

Sementara untuk masuk di kampus elit, hampir selalu butuh keajaiban. Tanya saja, berapa jumlah anak buruh atau petani kecil yang kuliah di Universitas Gajah Mada atau Universitas Indonesia yang padahal kampus negeri? Pasti sejumput. Ada seorang kawan saya yang daftar di UGM lewat jalur SNMPTN dan lulus. Tapi karena tidak mampu membayar uang pangkal, akhirnya kandas untuk jadi mahasiswa UGM. Padahal UGM juga kampus negeri. Artinya, memang pasar sedemikian rupa menyaring orang-orang miskin untuk bisa kuliah. Apalagi kuliah yang bermutu.

Data dari Mendiknas menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi (APK PT) untuk jenjang pendidikan tinggi di Indonesia cuma mencapai 30%. Artinya, jumlah anak berusia 19-23 tahun yang melanjutkan ke PT cuma 30%. Sisanya 70 persen belum punya kesempatan untuk masuk ke PT. (http://www.dikti.go.id, 14 Januari 2014). Ini sangat rendah dibanding dengan negara lain seperti Korea Selatan yang 90%.

Dari kasus di atas, jelas kita bisa simpulkan bahwa negara tidak bertanggungjawab atas penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia sehingga tidak ada pemerataan pendidikan di Indonesia. Akibatnya, mayoritas orang yang miskin akan tetap miskin atau bertambah miskin, orang yang kaya akan tetap kaya dan bertambah kaya. Kita bisa lihat bagaimana jurang ketimpangan itu kian menganga. Koefisien tahun 2012 adalah 0.401, tahun 2013 menjadi 0.413.

Orang-orang miskin di Indonesia, karena mayoritas berpendidikan rendah, bakal lebih susah untuk mendapatkan akses sosial dan politik. Jarang orang miskin jadi dosen, teknokrat, ilmuwan, dokter, atau pejabat. Jarang kita temui wakil-wakil rakyat kita yang dari golongan miskin dan berjuang untuk orang miskin. Artinya orang miskin susah secara ekonomi dan tidak punya keterwakilan politik. Sehingga regulasi-regulasi yang dihasilkan juga masih jauh dari memihak orang miskin.

Orang Miskin Harus Berlawan

Mengapa negara tidak bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan? Katanya alokasi 20 persen dari APBN kita tidak cukup untuk menggratiskan seluruh biaya pendidikan. Sebab APBN kita kecil, tidak sebanding dengan kebutuhan negara. Kalau dipaksakan ya defisit. Dan untuk menutupinya harus hutang. Sementara Indonesia sudah punya banyak hutang. Sehingga pemerintah harus hemat biaya. Termasuk mencabut subsidi untuk rakyat. Biar negara tidak bangkrut dan bubar. Itulah logika yang dipakai saat ini. Orang-orang menyebutnya kapitalisme-neoliberal.

Namun, kalau kita telisik lebih jauh, sesungguhnya kita mampu menggratiskan seluruh biaya pendidikan dan jaminan sosial lainnya. Indonesia adalah negara dengan kekayaan alam melimpah ruah.

Tapi sayangnya kekayaan alam itu kita biarkan untuk dikuasai kapitalis asing. Bahkan perampokan itu kita beri payung hukum. Semisal Undang-Undang Penanaman Modal Asing No.1 Tahun 1967.  Juga seperti UU 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang dibuat pada era pemerintahan SBY, yang mana membuat tanah Negara dapat dikuasai 95 tahun oleh modal asing. Melalui Perpres 36 tahun 2010 yang juga dikeluarkan SBY seluruh sektor ekonomi strategis mulai dari pertanian, pangan, energi, minyak dan gas, keuangan, perbankan, hingga ritel dapat dikuasai 95% hingga 99 % oleh modal asing.

Padahal ilustrasi Abraham Samad, bahwa dalam hitungan KPK, potensi pendapatan negara sebesar Rp7.200 triliun hilang setiap tahun karena penyelewengan atas pajak dan royalti yang dibayarkan dari sektor migas dan tambang sebenarnya juga bukan hal yang baru dan seolah sudah menjadi rahasia umum. (Musyafaur Rahman, Peneliti Indonesia Mining dan Energy Studies – dalam http://utama.seruu.com

Artinya, bukan Indonesia tidak mampu, tapi memang pemerintah tidak memihak pada kepentingan rakyat. Regulasi yang digulirkan melegalkan perampokan atas kekayaan alam kita. Dari sini jelas bahwa negara tidak hadir untuk orang miskin, selain malah memberi wadah pada penindasan atasnya. Maka menjadi benar bahwa negara hanya ekspresi politik kelas elit-borjuasi yang melanggengkan kepentingannya.

Lantas, bagaimana menjadikan negara agar berpihak pada orang miskin? Yang diperlukan adalah menasionalisasi aset-aset vital negara. Menjadikan kita berdikari dalam ekonomi (tidak terus-menerus mengandalkan investasi asing atau hutang), berdaulat dalam politik (kebijakannya bukan demi kepentingan kapitalis), dan berkepribadian dalam budaya.

Semua itu akan bisa dilakukan jika orang-orang yang tertindas bersatu untuk melawan sistem yang menindas itu. Ya, orang-orang miskin memang harus bersatu, berorganisasi. Rebut pemerintahan, kembalikan “kehadiran” negara untuk seluruh rakyat Indonesia. Dengan begitu, impian pendidikan gratis untuk seluruh rakyat baru bisa terpenuhi.

Kejahatan terorganisir, hanya bisa dikalahkan dengan kebaikan yang terorganisir. El pueblo unido, jamás será vencido. Hidup rakyat miskin yang berlawan!

Kamar Merah, 22 April 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun