Pada 21 Mei 2024 lalu, South China Morning Post melaporkan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr menyatakan bahwa adanya upaya cognitive warfare atau perang kognitif yang dilakukan China dalam kaitannya dengan Laut china Selatan. Perang kognitif itu pada dasarnya adalah seperti perang psikologis yang menekankan manipulasi untuk mempengaruhi persepsi.
Untuk Indonesia, memang belum ada pernyataan tentang perang kognitif sudah dimainkan China berkaitan dengan Laut China Selatan. Tapi, strategi tersebut bisa saja dimainkan China untuk mempengaruhi persepsi publik Indonesia tentang ancaman Laut China Selatan.
Melansir dari situs resmi NATO. perang kognitif itu menginterasikan kapasitas sosial, psikologis, informasi dan siber sebagai instrumen untuk mempengaruhi perilaku dan sikap untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Seperti diungkapkan IIDA Masafumi is Director of the Security Studies Department, National Institute for Defense Studies (NIDS) dalam artikelnya di The Diplomat berjudul China's Chilling Cognitive Warfare Plans pada Mei 2024 lalu, menyatakan China menggunakan perang kognitif dalam konflik untuk membentuk kesadaran pikiran manusia sehingga mengubah ide seorang.
Seperti diungkap oleh Joyce Nip dan Chao Sun dalam artikelnya berjudul Public Diplomacy, Propaganda, or What? China's Communication Practices in the South China Sea Dispute on Twitter pada 2022, perilaku manipulatif memicu ketegangan dan gangguan sehingga yang dipengaruhi propaganda abu-abu/hitam. Selain itu, Mark Bryan Manantan dalam jurnal Issues & Studies pada 2020 menyatakan bahwa China kerap menggunakan pengaruh dengan petarungan siber di ranah digital untuk meningkatkan kekuasaan di kawasan Indo-Pasifik.
Di Indonesia, secara umum, perang kognitif yang dimainkan di Laut China Selatan, umumnya menggunakan pendekatan psikologis, media sosial, dan faktor hukum. Itu ditujukan untuk menakuti-nakuti masyarakat Indonesia pihak yang terkait dengan konflik Laut China Selatan. Diperlukan kajian mendalam mengenai dampak perang kognitif berkaitan dengan Laut China Selatan, masalahnya hal itu masih minim.
Dan yang paling menonjol berkaitan dengan psikologis dan media sosial berkaitan dengan perang kogniif. Pasalnya. sebuah survei terbaru yang dilakukan oleh Populix mengungkap dampak yang signifikan dari media sosial terhadap semangat nasionalisme anak muda Indonesia. Dalam survei yang melibatkan 1.096 responden di Indonesia pada Agustus 2023, sekitar 65% dari mereka menyatakan merasakan penurunan semangat nasionalisme, terutama Gen-Z, kelompok anak muda yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Sebanyak 71% dari responden menyebutkan bahwa media sosial memainkan peran besar dalam menurunkan semangat nasionalisme mereka.
Solusi jangka pendek yang bisa dilakukan untuk mengatasi perang kognitif di kalangan generasi muda adalah literasi digital. Itu sebagai ajang untuk mengenalkan kembali nasionalisme. Mengenalkan keindahan alam dan kedaulatan Natuna menjadi isu yang bisa dimainkan untuk membangkitkan rasa memiliki Indonesia agar tidak diganggu entitas asing. Mengajak influencer untuk berkunjung ke Natuna juga bisa menjadi jalan yang paling mudah. Nantinya, Gen Z juga diajak untuk bisa membedakan antara hoaks dan fakta dalam berbagai konten di media sosial.
Strategi yang sudah diterapkan pemerintah dan perlu ditingkatkan adalah mendorong program Bela Negara di kalangan Gen-Z dan milenial. Bukan mengajak mereka menjadi komponen cadangan, tetapi menghadirkan program yang lebih menarik dan populer untuk menggugah semangat nasionalisme dan melibatkan mereka dalam menjaga kedaulatan.
Selanjutnya, dalam menghalau perang kognitif berkaitan dengan Laut China Selatan, langkah Lanud Raden Sadjad Natuna yang menggelar Open Base untuk meningkatkan minat dan citra kedirgantaraan dengan melihat pesawat tempur dan helikopter juga merupakan suatu strategi yang tepat. Selain itu, memperjuangkan dan membela nelayan Natuna juga menjadi hal yang signifikan dengan melindungi mereka dari kapal asing dan membebaskan mereka yang ditangkap aparat Malaysia.
Butuh Gerakan Sosial di Masyarakat, Bukan Hanya Pemerintah