Mohon tunggu...
opi novianto
opi novianto Mohon Tunggu... Lainnya - suka dunia militer

Suka otomotif dan dunia militer

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Banten Lama: Jejak Kesultanan Banten yang Terpinggirkan

12 Januari 2015   18:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:18 1407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_390264" align="aligncenter" width="450" caption="Bentang Speelwijk yang Kurang Terawat"][/caption]

Seperti Jakarta, Banten juga menyimpan peninggalan sejarah kompeni dan sisa-sisa kejayaan Kesultanan Banten pada abad ke-16. Semua bukti sejarah tersebut masih bisa dinikmati di Kota Tua, Banten Lama meski sebagian hanya berupa reruntuhan. Sambil menyelam minum air, sambil menikmati pemandangan Banten Lama yang masih hijau, bisa menambah wawasan sejarah dan mengagumi kembali kejayaan leluhur bangsa yang dengan gagah berani menentang VOC.

Niat ke Banten tiba-tiba saja muncul ketika merasa bosan berlibur di rumah. Mau ke Puncak atau Bandung rasanya jenuh dan kuatir macet. Akhirnya saya dan istri sepakat untuk mengemudikan si putih, panggilan mobil Livina putih kami, menuju Banten Lama.

[caption id="attachment_390271" align="aligncenter" width="400" caption="Menuju Banten Lama"]

14210330981113133499
14210330981113133499
[/caption]

Dari Jakarta kami menuju Banten melalui tol Jakarta-Cawang (Slipi)-Tangerang , kemudian berbelok ke kiri ke gerbang tol Karang Tengah-Cikupa, untuk kemudian keluar dari tol Serang Barat. Begitu keluar tol, sesuai petunjuk jalan kami berbelok ke arah kanan dan mengikuti petunjuk selanjutnya hingga kemudian tiba di gapura Banten Lama. Setelah melalui jalan yang tidak terlalu lebar, kami disambut oleh reruntuhan benteng yang sangat luas. Itulah benteng sekaligus keraton milik Kesultanan Banten yang bernama Situs Keraton Surosuwan.

Benteng tersebut nampak tidak terawat. Ada banyak semak belukar di pelataran dan menjadi tempat kambing berpesta pora. Kami tidak bisa masuk karena pagar benteng tersebut dikunci sementara petugas penjaga benteng tidak nampak batang hidungnya. Saya hanya mengintip dari jeruji pagar dimana nampak terowongan berkelok-kelok.

[caption id="attachment_390272" align="aligncenter" width="400" caption="Situs Keraton Surosuwan"]

14210332221589160787
14210332221589160787
[/caption]

[caption id="attachment_390273" align="aligncenter" width="330" caption="Terowongan Berkelok-kelok"]

14210333161461416036
14210333161461416036
[/caption]


Keraton Surosuwan diperkirakan dibangun pada abad ke-16 dan mengalami berbagai serangan. Hingga pada tahun 1808 keluarga Sultan Aliudin dan para prajuritnya terpaksa meninggalkan keraton karena serangan tiba-tiba atas perintah Gubernur Jenderal Daendels.

[caption id="attachment_390275" align="aligncenter" width="400" caption="Pelabuhan Karangantu"]

14210334881869061801
14210334881869061801
[/caption]

Persinggahan kami berikutnya adalah Benteng milik Belanda, Benteng Speelwijk. Sebelum tiba ke lokasi benteng kami sempatkan untuk berputar sejenak melewati muara sungai tempat bersandar/berlabuhnya perahu nelayan tradisional. Itulah Pelabuhan Karangantu, pelabuhan yang telah aktif digunakan sejak abad XVI. Sore itu banyak perahu nelayan yang sandar, siap untuk berlayar di malam harinya.

Kami juga melewati Cagar Budaya Kerkhof, yakni berupa makam orang Belanda yang meninggal di Indonesia pada masa penjajahan VOC. Nisan-nisannya terbuat dari batu yang masih nampak kokoh tak lekang waktu.

[caption id="attachment_390277" align="aligncenter" width="400" caption="Kanal untuk Lalu Lalang Kapal Masa Silam"]

14210335932016730569
14210335932016730569
[/caption]

Kami kemudian tiba di Benteng Speelwijk yang luas dan masih kokoh berdiri. Dibandingkan dengan benteng Kesultanan Banten, benteng ini jauh lebih terawat dengan semak-semak rapi yang kemudian dijadikan lapangan sepak bola. Di depan benteng adalah klenteng bernama Vihara Avalokitesvara dan sebuah kanal dengan Jembatan Rante yang dulu bisa dinaikkan jika ada kapal hendak lewat.

[caption id="attachment_390281" align="aligncenter" width="500" caption="Kompleks Benteng Speelwijk"]

1421033853669781831
1421033853669781831
[/caption]

Benteng yang dibangun pada 1684-1685 ini didirikan VOC dari reruntuhan benteng Kesultanan Banten. Sayang di kompleks benteng ini tidak terdapat papan petunjuk informasi yang menjelaskan riwayat benteng ini dari awal mula dibangun hingga ditelantarkan. Di sini yang masih terlihat adalah sisa pos penjagaan, tempat meriam, parit, anak tangga, makam Belanda, dan lorong-lorong gelap.

[caption id="attachment_390282" align="aligncenter" width="263" caption="Anak Tangga Benteng Speelwijk"]

1421033940861570218
1421033940861570218
[/caption]

Dalam perjalanan pulang kami melewati makam puteri Tiongkok Aduhai alangkah menyedihkannya melihat tak jauh dari situs sejarah ituterdapat gunungan sampah.

[caption id="attachment_390285" align="aligncenter" width="400" caption="Area Dalam Benteng Berubah Fungsi Jadi Lapangan Sepakbola"]

1421034118733341509
1421034118733341509
[/caption]

Pungli dan Kurang Pedulinya Pemda Terhadap Warisan Budaya

Karena sama-sama menyandang predikat kota tua, saya merasa perlu menyandingkan antara wisata kota tua di Banten dan yang ada di Jakarta.

Dari segi pemeliharaan dan kepedulian Pemda terhadap situs sejarah, maka wisata Banten Lama jelas menunjukkan kurang tanggapnya Pemda terhadap kelestarian nilai-nilai sejarah.

[caption id="attachment_390286" align="aligncenter" width="400" caption="Kambing dan Sampah di Situs Keraton Surosuwan"]

1421034271205683536
1421034271205683536
[/caption]

Di Situs Keraton Surosuwan nampak kotor dan banyak ilalang, begitu juga dengan Benteng Speelwijck dan Makam Puteri Tiongkok. Ada banyak coretan dari tangan jahil di cagar budaya tersebut. Yang terawat hanyalah Klenteng yang telah berusia ratusan tahun karena masih aktif digunakan. Vihara Avalokitesvara ini merupakan salah satu klenteng tertua di Indonesia.

[caption id="attachment_390288" align="aligncenter" width="300" caption="Vihara Avalokitesvara yang Terawat"]

14210344031643382707
14210344031643382707
[/caption]

Satu lagi yang menyebalkan adalah banyaknya pungutan liar yang dilakukan oleh para preman. Mereka menarik pungli minimal Rp 2 ribu jika melintasi jalan menuju situs sejarah. Beda satu blok saja sudah ditarik lagi dan sifatnya memaksa. Heran, kenapa praktik tersebut dibiarkan. Dan tidak ada korelasi antara pungli tersebut dan kelestarian situs. Situs sejarah tetap teronggok pasrah dan pungli itu bisa jadi digunakan untuk perbuatan tercela.

Diakhiri dengan Pemandangan Pedesaan

Meskipun kesal melihat situs budaya dan sejarah yang tidak terawat serta pungli yang dibiarkan merajalela, kami cukup terhibur manakala-mengikuti anjuran penjaga keamanan klenteng- untuk mengambil rute yang berbeda menuju Jakarta, yaitu melewati jalan lokal yang menurut si Bapak masih akan melewati beberapa situs sejarah plus pemandangan pedesaan yang dipenuhi hamparan sawah di kanan kiri jalanyang membuat mata segar.

[caption id="attachment_390290" align="aligncenter" width="400" caption="Pemandangan Sejuk Menemani Perjalanan Pulang"]

1421034631695429710
1421034631695429710
[/caption]

[caption id="attachment_390291" align="aligncenter" width="400" caption="Hamparan Sawah Menyegarkan Mata"]

14210348361872764101
14210348361872764101
[/caption]

[caption id="attachment_390294" align="aligncenter" width="400" caption="Memandang Sawah Bikin Adem"]

14210350372134431929
14210350372134431929
[/caption]

Jalan tersebut akhirnya akan tembus ke gerbang tol Serang Timur, sedikit lebih jauh daripada Gerbang tol Serang Barat yang kami gunakan di awal perjalanan. Akhirnya Banten Lama hampir semuanya kami jejaki meski gagal ke Masjid Agung karena niat kami pupus setelah melihat adanya preman yang lagi-lagi hendak menarik pungli dengan kasar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun