Mohon tunggu...
Ophin Tanis
Ophin Tanis Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Mencoba melihat pada HORIZON terjauh.....!!!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rumah Itu dan Sunset Senja Hari

11 Maret 2011   02:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:53 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Ophin tanis

Rumah dan Sunset (1986-1992)

Kehadiran sunset di senja hari merupakan hadiah yang sangat istimewa. Pendaran cahaya kemerah-merahan membisikkan swara untuk  perlu sedikit waktu melepas lelah. Hampir setiap sore pendaran sunset itu mengingatkan mereka untuk kembali ke rumah itu.

Rumah bagi mereka adalah sebuah kehidupan. Bukan sekadar tempat untuk hidup. Di rumah itu mereka hampir semua mereka menghabiskan waktu sehari, tentunya kecuali saat sekolah. Tapi rumah itu memberikan banyak inspirasi. Rumah itu memang bukan punya mereka. Mereka hanya numpang dan berteduh. Rumah itu jauh dari keramaian tapi dekat dengan sunset harapan. Rumah itu berada di ketinggian, tapi tidak nampak keangkuhan di sana. Rumah itu sendiri, tapi tidak ada kesepian di sana. Rumah itu sudah tua dan lapuk, tapi ia mendidik orang-orang yang punya pengharapan. Ya, rumah itu berwarna putih pucat, dengan hiasan cat merah darah, -mungkin karena milik Sekolah Dasar-, tapi itulah darah kehidupan yang ada di sana dan putih kesucian. Rumah itu hanya dikelilingi beragam pohon, ada srikaya, bidara, pepaya, gamal. Rumah itu seakan-akan sebesar tanah di sekelilingnya. Orang pun tidak segan untuk mampir karena tidak ada sekat yang membatasi.

Di rumah yang mulai lapuk itu canda tawa, tangisan, kemarahan selalu berganti. Tapi, selalu ditutup dengan bahagia. Hampir tidak ada pertengkaran, karena bagi mereka tidak ada hal dalam hidup yang perlu dipertengkarkan. Mungkin yang sering mendapat teguran hanya dua puteri yang beranjak remaja, hanya karena lupa menimba air untuk minum. Atau karena si kecil yang terlambat bangun di pagi hari, huff ini lebih menyebalkan karena semuanya akan kena ‘semprot’ dari si Ibu Guru tua, tanpa pandang siapa pun dia. Selebihnya adalah cerita bahagia. Rumah itu mengajarkan banyak hal tentang hidup dan harapan. Begitu meninggalkan rumah itu, orang akan rindu untuk balik lagi padanya. Karena hanya di sana ada sunset, di sana ada halaman luas yang curam, di sana ada keramahan, di sana ada kehidupan.

Kalaupun ada di antara mereka yang tidak hadir di kala sunset, mereka terus berdoa bahwa dia harus pulang. Biasanya, dua putera terkecil selalu dicemaskan. Mereka selalu bermain dan membawa kehidupan keluar. Mereka punya banyak teman. Mereka pun mengenal bahasa dan agama yang lain bersama yang lain. Mereka tidak mengenal takut. Andaikan kegelapan mulai datang, mereka pulang sambil bercerita tentang diaspora Orang Israel, sambil melihat arakan gemawan di malam purnama. Arakan gemawan, bagi mereka, bagaikan iringan raja Daud setelah kalahkan Goliat. Mereka menang. Bagi mereka, perjalanan pulang itu seperti menuju tanah terjanji. Mereka pulang tidak terlalu larut, hanya sekali yang mencemaskan saat di bawah kegelapan si Bapa harus mencari. Dia akan dipanggil pulang, ‘Nak, kami merindukanmu!’ kira-kira seperti itu ia akan disapa.

Ya, di rumah itu diajarkan banyak hal. Namun, penghuni rumah itu sadar bahwa rumah itu harus dikembalikan ke pemiliknya, karena itu rumah milik orang banyak. Mereka hanya menumpang. Pada 1992, rumah itu ditinggalkan. Penghuni rumah itu berangkat sesaat setelah sunset senja berpendar. Mereka menghabiskan senja itu dalam rona kemerahan. Karena mereka mungkin tidak akan lagi menikmati suasana itu. Mereka meninggalkannya dengan rasa haru. Mereka semua berangkat dalam rombongan terakhir –semuanya: perlengkapan rumah.

Pada 1995....,

pagi hari terdengar kabar bahwa rumah itu sudah roboh tanpa penghuni di dalamnya. Memang sejak ditinggalkan selama tiga tahun, rumah itu tak berpenghuni. Mungkin orang takut karena fisiknya yang mulai rapuh. Kata mereka, rumah itu rubuh pada tengah malam, tidak ada yang menyaksikan. Bagi keluarga itu, rumah itu roboh sesaat setelah menyaksikan sunset di senja hari. Rumah itu adalah kehidupan dan harapan. *****

Penghuni ‘Rumah Itu’

1986-1992

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun