Pada hari Selasa, 24 Agustus 2021 kita disuguhi pemberitaan tentang unjuk rasa pengungsi Afghanistan di depan kantor perwakilan UNHCR di Indonesia yang berakhir ricuh. Pengungsi Afghanistan berunjuk rasa ke kantor UNHCR yang menuntut penempatan ke negara ketiga.
Polisi dengan terpaksa membubarkan unjuk rasa tersebut karena menciptakan kerumunan. Sehingga unjuk rasa tanpa izin tersebut berakhir ricuh. Jelas tanpa izin, tidak ada aturan yang memperbolehkan WNA dapat berunjuk rasa wilayah Indonesia. Kejadian itu merupakan salah bentuk “kenakalan” pengungsi yang meminta suaka dan perlindungan di Indonesia.
Di saat pandemi seperti ini, pemerintah Indonesia bersusah payah mencegah kerumunan demi mencegah penyebaran covid-19. Pengungsi Afghanistan malah berunjuk rasa dan menciptakan kerumunan. Seharusnya mereka mampu mengamati kondisi negara dimana mereka mendapat perlindungan.
Sebagai seseorang yang pernah bertugas dalam pengawasan pengungsi di wilayah Provinsi Kepulauan Riau, saya lumayan akrab dengan bentuk-bentuk “kenakalan” pengungsi di Indonesia khusunya yang ditempatkan di akomodasi.
Provinsi Kepulauan Riau merupakan tempat penampungan bagi 931 pengungsi luar negeri. Mereka datang dari berbagai negara seperti Afghanistan, Ethiopia, Irak, Iran, Jordania, Palestina, Pakistan, Somalia dan Sudan. Pengungsi tersebut ditempatkan dalam 3 akomodasi, yaitu AND Sekupang, Hotel Kolekta yang terletak di Kota Batam dan kemudian akomodasi Hotel Bhadra Resort yang terletak di Kabupaten Bintan.
Pengungsi yang ditempatkan di akomodasi dapat beraktivitas normal. Akan tetapi diberi batasan tertentu dalam bentuk aturan tata tertib apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seorang pengungsi. Hal ini bertujuan untuk menghindari timbulnya gesekan atau permasalahan yang dapat mengganggu kenyamanan dan ketertiban masyarakat sekitar.
Tapi namanya pengungsi sudah tinggal bertahun-tahun di Indonesia, beberapa dari mereka mungkin sudah terkontaminasi istilah “aturan dibuat untuk dilanggar”. Sehingga banyak pengungsi yang “nakal” dan tidak mematuhi aturan. Padahal aturan dan tata tertib disosialisasikan secara rutin. Bahkan di setiap akomodasi dipampangkan aturan yang harus dipatuhi pengungsi. Berikut ini saya tuliskan beberapa bentuk kenakalan lain yang sering dilakukan pengungsi saat ditempatkan di akomodasi.
Pertama, mengendarai kendaraan bermotor. Bentuk kenakalan ini yang paling umum dilakukan pengungsi. Mereka sering kali mengendarai sepeda motor atau pun mobil di jalanan, padahal tidak memiliki SIM.
Kedua, bekerja. Pengungsi di Indonesia tidak diizinkan untuk bekerja untuk mendapatkan upah. Berbeda dengan kebijakan negara tetangga seperti Malaysia yang membolehkan pengungsi bekerja. Di Indonesia sendiri kebutuhan pengungsi seperti akomodasi, biaya makan, kesehatan disupport oleh IOM, sehingga mereka dapat bertahan dengan tidak bekerja..
Akan tetapi saya beberapa kali menemukan pengungsi yang mencoba bekerja. Biasanya mereka bekerja pada sektor informal seperti penjaga toko atau berjualan di pasar. Beberapa pemilik toko akan merasa diuntungkan mempekerjakan pengungsi, karena dapat dibayar dibawah upah yang layak. Dan biasanya si pengungsi bekerja tersebut tidak akan berani menuntut.
Ketiga, pelesiran ke luar wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Kenakalan yang satu ini biasanya dilakukan pengungsi bersama pasangan atau pacarnya wanita WNI. Biasanya mereka keluar dari wilayah Kepri dan pelesiran ke daerah wisata di Sumatera, Jawa ataupun Bali. Hal tersebut tentunya melanggar aturan dimana mereka dilarang meninggalkan wilayah Kepri tanpa izin.