Mohon tunggu...
oktin catur palupi
oktin catur palupi Mohon Tunggu... -

bekerja untuk sosial, menyenangi buku dan sepeda, hobi jalan-jalan....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Obrolan Akhir Tahun di Sebuah Lapak Koran

28 Desember 2011   08:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:39 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kukayuh sepedaku pelan-pelan menjauh dari keramaian pasar.

Tepat di depan sebuah lapak koran, kutarik rem sepedaku dan berhenti tepat di belakangnya. Dia menoleh, tersenyum kemudian kembali sibuk dengan pekerjaannya sambil berkata, “ Pesenanmu wis ono....”.

Aku tidak menjawab dan hanya duduk di bangku kayu panjangnya sambil mendesah pelan.

Dia menoleh kembali dan berkata, “Ono opo, kok kusut men rupamu...?”,

“Sudah dari lahir wis kusut kok”, jawabku sekenanya.

Kemudian dia duduk di sebelahku sambil membuka-buka koran hari ini. Aku tengok ke belakang dan kulihat lapaknya sudah selesai ditata, majalah dan koran dia tata dan gantung dengan rapi sekali.

Kutoleh dia sambil berkata, “mana majalahku.....?”, dia tidak menjawab hanya sibuk memilah tumpukan majalahnya, sejurus kemudian majalah yang kupinta sudah ada di tanganku.

Kuterima dan kubuka lembar demi lembarnya. Sepuluh menit kami terdiam, sibuk dengan bacaan, pikiran, dan angan masing-masing.

Selesai kubaca satu artikel, kuletakkan majalahku dalam pangkuan dan kuedarkan pandanganku menyapu sekeliling.

Jalanan di depan kami masih lenggang hanya beberapa orang berjalan keluar dari pagar RSU menuju warung-warung tenda untuk mencari sekedar sarapan ataupun air panas. Kulirik jam tangannya, masih pukul enam pagi.

Tiba-tiba dia berkata, “Akhir tahun ini kemana ?”

“Tidak kemana-mana, di rumah saja”, jawabku. “Tumben, biasanya wis pergi”, kembali dia berkata.

“Ndak lah, biasanya juga seperti ini. Mending di rumah, introspeksi diri dan menyusun rencana ke depan” , kataku pelan.

“He..he...tapi kok seperti ndak semangat. Kamu pasti mikirin sesuatu, ya tho ?

Wis, ora susah dipikir nemen-nemen, mendingan baca koran wae, cari hiburan, koyo iki lho, ramalan bintang. Ramalane apik-apik tur lucu, kabeh ora podho...he..he..” katanya sambil tertawa.

“Lha wong sing ngramal orang banyak, pikiran ro pendapate yo mesti ora podho. Kamu percaya tho sama ramalan-ramalan itu ?”, tanyaku.

“Yo cetho ora, wong kui mung ramalan manusia, tapi hidup kita yang ngatur Gusti Allah termasuk jodoh, mati, rejeki, dan jatah kita hanya berusaha, ikhtiar sekuate, tapi tetep nganggo pedoman, urip sing lurus, ikhlas, ora melenceng dari porsi hak lan tanggungjawab kita. Koyo roda pitmu kui, susah seneng mung muter, tapi dhewe kudu tetep semangat dan berdoa”,ucapnya panjang lebar.

“Iyo, aku wis mudheng”, sahutku cepat.

“Mudheng tapi ora dilaksanake, yo sama saja”, ganti dia membalas.

Kutarik napas panjang sambil berpikir bahwa semua yang dia katakan benar, tapi terkadang susah menerapkan semua itu. Ada saja hambatan, terutama ketika kita berhadapan dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan, dan ikhlas pun menjadi sesuatu yang sangat sulit.

“Pancen sulit, tapi kita tetap harus berusaha apapun rintangannya”, ujarnya lagi seperti mendengar kata hatiku.

Kupandangi dia yang masih tidak beranjak dari korannya. Enam tahun sudah aku mengenal orang ini, namanya Eko, pemilik lapak koran dan majalah langgananku yang setiap hari mangkal di depan RSU dekat rumahku. Dia seumuran denganku, orangnya ramah, jujur, dan sederhana, begitu juga dengan pemikirannya. Tapi karena itulah dia tetap bertahan dengan kehidupannya sampai sekarang. Bahkan bisa dibilang dia sudah cukup berhasil. Dari hanya sebuah meja tempat dia menata beberapa koran, menjadi lapak yang cukup bagus dan mampu memuat berbagai koran dan majalah baik nasional maupun lokal,bahkan beberapa lapak lain yang dikelola saudaranya. Pelanggannya pun bertambah banyak termasuk yang minta diantarkan khusus ke rumah berbagai majalah nasional yang mahal yang tentunya menambah omzetnya.

Setiap libur dan pulang ke rumah, aku tidak pernah absen mengunjungi lapaknya untuk membeli majalah, koran, ataupun hanya sekedar menyambanginya untuk mengobrol seputar perkembangan kotaku. Namun ada hal lain yang membuatku selalu kangen mengobrol dengannya. Kesederhanaan pemikiran dan semangatnya dalam bekerja selalu membuatku berpikir kembali mengenai diriku, apa yang sudah kulakukan dan kujalani, dan mengingatkanku akan berbagai hal seperti saat ini, saat hatiku gundah.

Aku tersenyum, pelan-pelan hatiku menghangat, seiring hangatnya sinar mentari yang mulai bersiap membakar bumi....aku harus semangat , janjiku.

Aku berdiri dan berjalan ke arah sepedaku, kuambil bungkusan plastik dari keranjang, kuserahkan padanya sambil berkata, “Jajanan buat teman minum kopimu. Aku pulang dulu, besok aku mampirlagi”.

Sambil tersenyum, kukayuh sepedaku pulang.

Purworejo, 28 Desember 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun