Bandung, Jawa Barat | Tak bisa dibantah bahwa penduduk Nusantara terdiri dari komunitas-komunitas sub-suku dan suku atau etnis. Mereka, memiliki kesamaan serta ciri etnisitas; etnisitas tersebut melahirkan barang, benda, kebiasaan, bahasa, dialek, dan lain sebagainya, yang juga sebagai pembeda dengan sub-suku dan suku lainnya.
Ciri-ciri Etnisitas tersebut selalu diturun-wariskan, dipertahankan sepanjang rentang waktu; bahkan dijaga agar tak berubah dan tidak dipengaruhi oleh modernitas. Misalnya, seni, pakaian, sarung, ulos, selimut, rendang, nasi uduk, nasi jamblang, gudeg, gamelan, sangsang, soto, gado-gado, keris, se'i, noken, dialek, bahasa, dan lain sebagainya. Semuanya 'lahir atau tercipta' dari dalam area etnisitas; terus terjaga dan terpelihara.
Dan, ketika (orang-orang luar membawa) agama-agama masuk ke/dalam area etnisitas, agar mudah diterima, mereka melakukan kontekstualisasi dengan ciri-ciri dan hasil karya etnis tersebut. Misalnya, di Tanah Batak, Tuhan disapa sebagai Debata (nama sesembahan kuno dan asli Orang Batak). Serta, ketika anggota etnisitas keluar dari wilayah diamnya, dan merantau; mereka juga 'membawa' ciri-ciri etnis ke dunia luar.
Kontekstualisasi tersebut, sering diikuti dengan identifikasi; identifikasi bahwa ciri-ciri dan hasil olah pikir (orang-orang dalam komunitas) etnis  memiliki nilai-nilai spiritual atau pun keagamaan.
Akibatnya, yang terjadi adalah, misalnya, jenis makanan A berasal dari Etnis A1. Etnis tersebut beragama A2; maka jika 'mengganggu' A maka sama dengan menghina serta menista A1 dan A2. Hal seperti itulah yang kemarin terjadi di Nusantara.
Penyebabnya sederhana, pengaruh agama-agama ke dalam etnisitas; banyak hasil karya etnis (misalnya puisi-puisi, bahasa, nyanyian, tarian, seni lukis dan ukir) diisi formula keagamaan sehingga menghasilkan paduan atau sinkretis antara agama dan kebiasaan dalam komunitas.
Sehingga, jika ada identifikasi bahwa hal-hal yang ada pada Etnis (tertentu) lansung menyangkut Agama; jadi jika salah satunya dinilai tak sesuai atau bertantangan dengan ajaran Agama, maka sama dengan penistaan etnis dan agama. Nah! Jika sudah melompat hingga ke ranah itu, maka daripada bermasalah, lebih baik saya diam.
Bagaimana Baiknya
Secara sederhana, kebudayaan merupakan hasil cipta (serta akal budi) manusia untuk memperbaiki, mempermudah, serta meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Atau, kebudayaan adalah keseluruhan kemampuan (pikiran, kata, dan tindakan) manusia yang digunakan untuk memahami serta berinteraksi dengan lingkungan dan sesuai sikonnya.
Kebudayaan berkembang sesuai atau karena adanya adaptasi dengan lingkungan hidup dan kehidupan serta sikon manusia berada. Itu juga berkembang di/dari/dalam etnisitas.