Bandung, Jawa Barat | Akhir-akhir ini, dua kata ini, sering disuarakan dan dihubungkan dengan agama-agama. Kedua kata itu adalah "moderasi agama dan literasi agama."
Moderasi Beragama. Moderasi berasal dari kata moderation,  berarti sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan. Kementerian Agama memaknai moderasi sebagai penghidaran kekerasan atau penghindaran keekstreman; dan sikap selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, dan kecenderungan ke arah jalan tengah.
Namun, tak mudah dipahami. Karena kesalahpahaman memahami makna moderat dalam beragama ini berimplikasi pada munculnya sikap antipati masyarakat yang cenderung enggan disebut sebagai seorang moderat, atau lebih jauh malah menyalahkan sikap moderat.
Literasi Beragama. Ringkasnya, adalah kemampuan memahami teks-teks Kitab Suci; di dalamnya mengerti makna formula, ritus, ikon-ikon keagamaan dengan baik dan benar. Kecerdasan Literasi Beragama hanya bisa muncul karena baca dan belajar (Agama) secara holistik, tak sekedar dengar apa kata orang, serta interaksi dengan sesama yang lintas iman dan agama.
Nah! Kali ini, saya fokus pada Literasi Beragama. Pada konteks kekinian di Indonesia, saat 'area sosial full dengan klaim agama (agamanya sendiri yang benar dan terbenar), literasi beragama, agaknya, perlu ditumbuhkembangkan.
Karena klaim 'benar dan terbenar' itulah, maka memunculkan orasi, narasi, sikap, dan tindakan meremehkan serta merendahkan agama lainnya. Bahkan, ada kecenderungan 'menghapus eksistensi' seperti dilakukan oleh kelompok ekstrim Nigeria, Somalia, Tunisia, ISIS, dan lain-lain.
Jadi? Dalam kerangka membangun kerukunan sosial serta kesetaraan interaksi, maka, agaknya, semua tokoh agama perlu upaya bersama, sebagai edukasi dan kegiatan publik, tentang literasi beragama.
Literasi Beragama tak muncul dan bertumbuh dari hamparan hampa; melainkan melalui proses bina iman atau rohani pada masing-masing agama. Proses belajar memahami agama (sendiri) dan mengerti apa yang diimani orang lain.
Pada proses bina tersebut, umat juga dibimbing untuk melihat Yang Lain dalam perbedaan (jadi harus dijauhi), melainkan 'Ada Pesamaan antara Saya/Kami dan Dia/Mereka.Â
Persamaan itulah yang menciptakan 'Kita;' kita yang sama-sama beragama atau pun beriman pada Sang Khalik Yang Esa.