Tak sedikit ajang "Deklarasi Kandidat dan Pidato Politik (berbau agama)" berisi hal-hal bersifat provokatif, superioritas dan inferioritas kelompok, perlawanan terhadap pemerintah, bahkan orasi serta narasi anti pluralisme, rasisme, plus sentimen SARA.
Itu semua dibungkus sebagai politik identitas dengan varian-variannya. Pada konteks seperti itu, politisi membangun branding diri (dan kelompok) dengan identitas sentimen perbedaan SARA dan ideologi.
Dengan model seperti itu, maka yang nampak adalah tidak mengedepankan kepentingan bangsa melainkan berebut kekuasaan serta menjerumuskan demokrasi ke dalam titik terendah. Sikon itu, memungkinkan terjadi pengkotakan-pengkotakan sosial, bukan lagi polarisasi dua kutub; dan jika tidak ada penyelesaian, maka berujung pada konflik serta kerusuhan "Pra dan Pasca Pemilu 2024."
Perlu Edukasi Politik yang Cerdas
Melihat, merasakan, mengalami riuhnya para (padahal masih bakal calon) kandidat, terutama Capres, dengan model "soft and hard kampanye hitam," yang sekarang terjadi, agaknya perlu diminimalisir, bahkan ditenggelamkan, sebelum membesar. Jangan tunggu lakukan itu, saat masa kampanye resmi selama tiga bulan (akhir 2023-awal 2024).
Selain itu, Pemerintah, dhi. Menko Polkam dan Kemeninfo, KPU, dan Bawaslu, Media wajib dan terus menerus tanpa lelah melakukan edukasi publik tentang keindahan, kehormatan, kesukacitaan demokrasi serta berdemokrasi berdasarkan pilar-pilar pemersatu Bangsa, Negara, Rakyat Indonesia.
Pada konteks edukasi tersebut, sekaligus sebagai proses membangun kesadaran bersama bahwa Pemilu 2024 menjadi momentum menumbuhkan kesadaran partisipasi masyarakat, semakin menyadari pluralisme, kebhinnekaan, dan menerima berbagai perbedaan sebagai "Satu Kesatuan Berbangsa dan Bernegara."
Dengan itu, masyarakat semakin cerdas dan berani menolak anasir-anasir jahat yang mengusung politik identitas dengan varian-variannya pada Pemilu dan Pilpres 2024.
Cukuplah
Dies Natalis LEAP IHI
10 Juni 2022
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini