Bogor, Jawa Barat | Mengejar Sertifikat plus Opini Wajar Tanpa Pengecualian atau WTP dari BPK, bolehkah? Tentu Boleh. Sebab, pemberian WTP tersebut sebagai bentuk apresiasi dari BPK atas hasil pemeriksaan laporan keuangan, disamping pemberian rekomendasi lainnya. Laporan keuangan yang disusun oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah merupakan media akuntabilitas keuangan yang disajikan sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan.
Ya, semua Institusi Pemerintah, Pemda, atau pun pengguna Anggaran Negara lainya memang "dinilai" oleh BPK; dan berujung pada sejumlah WTP atau tidak.
Agaknya, opini WTP Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia menjadi incaran semua Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota. Sehingga mereka melakukan sejumlah perbaikan (dalam) mengelola keuangan atau anggaran sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan.
Apalagi, untuk mendapat Opini WTP maka pengguna anggaran harus teliti, tepat, detail, dan jujur. Sebab, BPK juga memeriksa Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, Laporan Keuangan Kementerian Lembaga, dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.
Nah, yang sering mengemuka adalah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah atau LKPD. Yang menyangkut pengelolaan kas, persediaan, investasi permanen dan nonpermanen, serta pengelolaan aset tetap yang belum akuntabel.
Tak sedikit Pemda atau pun Bupati, Walikota, Gubernur, keteteran yang LKPD tak memadai, ada penyimpangan, dan tak masuk akal, itu bermakna mereka tak (akan) mendapat opini WTP dari BPK.
Kemudian?
Misalnya, seorang Kepala Daerah, pada durasi ia menjabat, Pemda yang ia pimpin tak mendapat opini WTP, apalagi beberapa tahun berturut-turut; bisa menjadi tanda ketidakmampuan dirinnya sebagai Kepala Daerah.
Itu bisa berdampak pada kurang atau hilang dukungan politik. Jika hilang dukungan politik, maka niat untuk mencalonkan diri pada Pilkada berikutnya langsung hilang dan lenyap.
Lalu, apa solusinya? Paling sederhana adalah memperbaiki laporan agar sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan atau SAP. Ini yang tepat, benar; protapnya seperti itu.