Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terulang! Pengasuh Ponpes Hamili Santriwati

27 Maret 2022   18:49 Diperbarui: 28 Maret 2022   06:58 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guru

Proses pendidikan, tak bisa lepas dari Guru dan Sang Guru; guru adalah tongkat pegangan, agar peserta didik menelusuri jalan berliku, kecil, dan bebatuan, hingga mencapai tujuan.

Ia juga adalah kuci dan anak kunci; dengan kunci itu, ia mebukan pintu ckrawal berpikir, sehingga peserta didik melihat bentangan semesta pengetahuan, kemudian masuk ke dalamnya. 

Dan ketika ia ada di dalamnya, ia enggan keluar, sehingga terus menerus belajar, hingga mencapai kemandirian.

Guru, akan tetap menjadi seseorang dan tak bisa disebut guru, jika tak ada murid, tiada yang diajarkan, dan tak pernah mengajar siapa-siapa. Namun, ia akan tetap disapa sebagai guru, walau sudah berhenti mengajar dan mendidik.

Guru adalah motivator, dan juga meletakan puzle-puzle pengetahuan ke dalam diri anak didik, dan mereka bersama, ketika berhasil membentuknya, akan  menemukan bangunan indah; bangunan hidup dan kehidupan.

Opa Jappy, November 2014

Gambar dari Kompas
Gambar dari Kompas

Stasiun Gambir, Jakarta Selatan | Remaja Cantik atau RC (15 Tahun), sebut saja seperti itu, setelah SMP, mempunyai tekad kuat untuk melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. Tapi, RC ingin memperoleh pendidikan umum sekaligus keagamaan; sebab itu memilih salah Pondok Pesantren di Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Pesantren pimpinan AA (48 thn, seorang PNS dan bergelar S 2) menjadi tempat RC mempersiapkan diri untuk merajut masa depan. Tampilan diri RC yang cerdas dan cantik membuat AA terpikat. AA pun mengatur rencana agar RC bisa masuk dalam dekapan dirinya.

AA mendekati RC, awalnya tentu saja sebagai guru dan murid, serta memberi harapan bahwa RC dipersiapkan menjadi pemimpin di Ponpes dan mendapat uang harian Rp 500-700 ribu. Dalam rangka persiapan tersebut, RC selalu bersama AA.

Suatu waktu, AA pun menjalankan aksi bejad terhadap RC. RC tak kuasa menolak atau pun melaporkan ke orang tuanya. Ia, dalam kepolosannya, masih percaya pada janji AA. AA pun dengan leluasa dan berulangkali menggagahi RC. 

Januari 2022 RC hamil; AA menikahi siri RC, tanpa sepengetahuan orangtuanya. Dalam keadaan hamil dan status sebagai isteri siri AA, RC bercerita tentang keadaan dirinya kepada orang tuanya.

Orang tua RC tidak menerima perlakuan AA terhadap putrinya. 19 Januari 2022 Orang tua RC melaporkan AA ke Polres Kukar. Tapi, AA sudah lari dan bersembunyi di Tuban, Jawa Timur.

Polres Kukar meminta bantuan Polres Bojonegoro, dekat Tuban, berhasil melacak keberadaan AA. 24 Maret 2022, AA menjadi tahanan Polres Kukar.

Sementara itu, RC yang hamil menjadi  trauma, tidak mau sekolah. Untuk pemulihan, RC dalam penanganan Dinas Perberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kukar 

Kisah nyata di atas, sekali lagi, ya terulang kembali terjadi di Negeriku. Fakta pilu dan membuat sesak di dada tentang Pimpinan dan Pengasuh Ponpes mencabuli dan menghamili santriwati. Kejadian yang sama terjadi di berbagai penjuru Tanah Air.

Mengapa semuanya itu bisa terjadi? Ada yang salah di Negeriku? Ada yang tak beres pada pola pendidikan? Ada yang tak pas pada perilaku diri para Pengasuh tersebut? Dan, masih banyak pertanyaan lain; ya hanya bertanya tanpa jawaban yang pasti.

Sebagai orang yang memulai karier sebagai guru SD tahun 1982 di Jawa Tengah, jika ada kasua seperti AA, saya berpikir lama dan berhari-hari tentang hal tersebut, sambil berupaya menemukan jawaban yang tepat atau pun paling mendekati.

Namun, semuanya tak terjawab pasti, walau   semua peristiwa tersebut mirip. Karena kemiripan itu, tentu perlu ada upaya agar tak terulang. Tapi, siapa yang harus lakukan? Karena sangat banyak remaja putri butuh pendidikan, dan Ponpes adalah salah satu Institusi Pendidikan yang umumnya terjangkau secara biaya dan geografis.

Tak bida dibantah bahwa posisi penting Ponpes dalam ranah pendidikan umum berbasis agama, telah membuat banyak orang tua mengirim anaknya ke sana. Hal itu bisa terjadi karena harapan dan keyakinan bahwa putra/i mereka akan menerima pendidikan dan binaan yang lebih baik.

Sayangnya, harapan dan keyakinan tersebut dikotori oleh oknum pengasuh yang mencabuli serta menghamili anak-anak asuh mereka. Kejadian seperti itu  terulang, terulang, dan terulang.

Selanjutnya?

Agar peristiwa "terulang dan terulang" tersebut tidak terjadi (lagi), maka perlu "revolusi pendidikan di Ponpes." Katakanlah Kemendag sebagai lembaga pengawas dan pembina Ponpes, perlu melakukan Asesmen Ponpes (terhadap peserta didik, guru dan ponpes); seperti yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.

Mungkin dengan cara itu, Asesmen Ponpes, bisa menemukan para pengasuh (Ponpes) yang tidak layak dan tak berkualitas. Kemudian, mengganti mereka atau dibina sehingga mencapai kelayakan sebagai guru, pengasuh, bahkan pimpinan Ponpes.

Cukuplah

Opa Jappy | Mantan Guru

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun