Semuanya itu bisa terjadi karena banyak hal; dan terutama adalah mayoritas Orang Indonesia masih bergumul dengan Literasi Dasar: Baca, Membaca, dan Kemampuan Menggunakan dan Memahami Bahasa.
Dalam sikon Minim (kasarnya melarat) Literasi dan keterbatasan seperti itu, mereka masuk dan terjerumus dalam diskusi (utamanya secara virtual di Medsos), dan ikut serta ikutan berkomentar (padahal minim pemahaman, pengetahuan, pengalaman), sambil "tunjukkan diri" bahwa aku tahu, bisa, benar, yang lain salah.
Dampaknya jelas. Orang-orang yang "tunjukkan diri" tersebut, umumnya tak mau dibantah dan merasa superior dari yang lain. Nah. Orang-orang seperti itu, jika dibantah maka "Ego Superioritas" tersebut mengemuka, emosi terpancar, dan tak terkontrol sehingga memicu marah/amarah, termasuk ketidaksopanan lainnya.
Akibatnya, menurut  Digital Civility Index dari Microsoft, tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya. Netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara, alias paling tidak sopan.
Karena marah/amarah itulah kemudian diteruskan dengan komentar yang Ad Hominem, nada ancaman, bahkan nantang duel (Bha bha bha bha). Jika seperti ini, pengalaman saya, pakai metode "Yang Waras Ngalah."
Metode itu memang ampuh; toh tak merugikan siapa-siapa dan energi otak tak terkuras untuk meladeni orang-orang (tak penting) seperti itu. Bagaimana dengan Dirimu?
Agaknya,
"Diam itu Emas dan Diam itu Bukan Lagi Emas," perlu simultan di Medsos Indonesia.
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H