Sekolah pada Zaman Belanda
ELS, Europeesche Lagere School. ELS pertama tahun 1817. ELS hanya menerima murid berkewarganegaraan Belanda. Tapi, sejak diterapkan Politik Etis, tahun 1903, ELS dibuka untuk Pribumi. Lama pendidikan tujuh tahun, KBM bahasa Belanda.
Sekolah Rakyat 3 tahun, Pre Schakel School, untuk pribumi di Wilayah Jajahan.
Schakel School, sekolah rakyat di daerah jajahan, lama belajar 5 tahun, tapi lulusannya setara lulusan HIS.
HIS, Hollandsch-Inlandsche School, mulai ada tahun 1914. Lama belajar, 7 tahun dan KBM bahasa Belanda. HIS untuk pribumi keturunan bangsawan dan tokoh terkemuka.
HCS, Hollandsch Chineesche School, berdiri 1908, KBM bahasa Belanda. HCS untuk anak-anak keturunan Tionghoa di Hindia Belanda. Juga ada sekolah Tiong Hoa Hwee Koan berbahasa Mandarin.
HBS, Hoogere Burgerschool, 1863, pendidikan menengah umum untuk orang Belanda, Eropa, Tionghoa, dan elit pribumi. Kelanjutan dari HIS atau ELS yang cumlaude dan sangat mahir berbahasa Belanda.
MULO, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah menengah (3 tahun) untuk lulusan ELS dan HIS. KBM bahasa Belanda.
AMS, Algemeene Middelbare School, mulai ada tahun 1919 untuk lulusan MULO yang mau studi lanjut, KBM bahasa Belanda.
ELS, Sekolah Rakyat, dan HIS, merata di berbagai daerah; terutama wilayah perkebunan. Mulo, AMS biasanya hanya ada di Ibukota Keresidenan ataupun Kadipaten
Jika mau studi di Perguruan Tinggi, maka belajar di Negeri Belanda.
Dan, harus diakui bahwa sebaran sekolah di Indonesia, penyebarannya masih merupakan warisan sistem pendidikan Belanda. Pada masa itu, praktis tak ada (satu kompleks) sekolah dari kelas 1 SD hingga SMA (kelas 3). Semua Sekolah terpisah sesuai kebutuhan dan alasan politis.
Pondok China, Depok Jawa Barat | Sekali lagi tentang 'Revolusi Pendidikan' dari Nadiem Makarim. Salah satu keberhasilan Nadiem (akan) terlihat 2 atau tiga tahun mendatang setelah TA 2022/2023 dan Kurikulum Merdeka; ketika lulusan SMA/K masuk PT dan dunia kerja.
Namun, apa pun model kurikulum, harua disertai keberanian merobah dan memperbaiki KBM, kualitas Guru dan Kepala Sekolah, serta sarana serta prasarana pendidikan lainnya.
Hal tersebut, termasuk menyatukan sekolah yang terurai (SD, SMP, SMA/K) menjadi (satu) Sekolah dari kelas 1 hingga 12. Model Sekolah dari Kelas 1 hingga 12 itulah yang sekarang ada di hampir semua Negara; sehingga tak ada lagi sebutan SD, SMP, SMA/K.
Ketika pertengahan Februari lalu, Â saya gulirkan gagasan Sekolah Kelas 1-12, sejumlah rekan guru/dosen (yang sudah pensiun dan masih aktif) serta orang tua, baru nyadar bahwa mode Sekolah (terurai atau terpisah SD, SMP, SMA/K) di Indonesia, sudah ketinggalan zaman.
Dan, jika memang Negara mau memperpaiki Sistem Pendidikan Nasional, maka harus ikuti perkembangan zaman, bukan memelihara pembagian sekolah warisan Kolonial. Lalu, dengan sikon sekarang, apakah Indonesia bisa lakukan? Jawabnya, "Sangat Bisa, Mampu, dan Tidak Terlalu Sulit." Betulkah?
Agar merobah sekolah terpisah menjadi Sekolah dari Kelas 1-12, untuk sementara gunakan istilah Sekolah Satu Atap, sebetulnya, bisa dilakukan satu dua tahun ke depan, nyaris tanpa kendala, hanya butuh sejumlah kecil modifikasi admininstrasi, sebaran guru, serta degradasi Kepala Sekolah menjadi Guru biasa atau bidang studi. Mari, perhatikan hal-hal berikut.
Hampir seluruh Desa/Kelurahan/Kecamatan di Indonesia ada SD dengan jumlah ruangan (minimal 6 Ruang Kelas, Satu Kantor, Satu Ruang Guru) yang memadai. Jika SD tersebut menjadi Sekolah Satu Atap, maka Kelas 1-6 (pagi) dan 7-12 (siang/soreh).
Katakanlah, ada kelas-kelas elementary school atau setingkat SD, "middle school/junior high atau setingkat SMP, dan high school atau setingkat SMA. Pada Sekolah Satu Atap (seperti di LN), hanya ada satu Kepala Sekolah Beberapa Koordinator Kelas, (misalnya, 1-3, 4-6 dstnya), Wali Kelas/Guru Kelas, dan Guru Bidang Studi, serta Guru BP/BK.
Dengan itu, peserta didik mendapat pendidikan berkelanjutan serta berinteraksi dengan orang/teman/guru yang sama. Dan, seorang anak tidak pindah desa untuk melanjutkan sekolah karena di Desa atau Kecamatan, hanya ada SD ataupun SMP. Jika ada Sekolah Satu Atap, maka peserta didik  bisa menikmati pendidikan berkelanjutan, tanpa harus cari sekolah baru.