Tepian Kali Krukut, Jakarta Selatan | Suatu waktu, sebelum heboh Covid-19, di Commuter Jabodetabek dari UI menuju Bogor, cukup padat; tempat duduk prioritas untuk lansia diduduki anak muda (tak tahu diri), padahal di depan mereka ada Nenek-nenek yang berdiri. Saya hanya 'mbatin' dari jauh dan prihatin.
Di dekat Stasiun Bojong, tiba-tiba ada suara dari arah belakang (kebetulan rambut belakang saya cat hitam, dan depan biarkan tetap warna tuwir alias hitam), sambil tangan seseorang menyentuh punggung saya, "Dik Mau Duduk? Ini ada tempat kosong. Saya turun di Bojong!"
Saya berbalik ke arah suara tersebut; ada ibu muda (terlihat terpelajar) yang tersenyum, dan berkata, "Ouu Sorry Pak. Saya kira bapak anak muda. Dari belakang, persis anak muda sich; dari depan tampilan sebaya My Daddy!"
Saya jawab, "Tak Apa-apa. Thanks!" Ibu muda itu pun dengan ramah menyambung percakapan dengan bahasa Inggris yang fasih dan lancar. Ia berkisah pendek tentang papinya yang tetap dandi, walau sudah 69 tahun. Ia menambahkan, "You like my Daddy, Oldest but still Young!" Sambil tertawa; ia turun di Bojong, setelah memberi kartu nama; ternyata seorang Dokter Spesialis Anak.
Di atas adalah rekaman peristiwa, jika teringat lagi, kadang membuat tertawa; tertawa karena "Apakah Lansia harus berpakaian warna kelabu, pucat, kusam, atau seturut kulitnya yang sudah berkerut?" Atau, lansia, karena sudah tua, wajib tampil seperti manusia kuno di masa lalu. Jadi, tak boleh macam-macam lah. Bha bha bha.
Saya, mungkin juga anda, pasti menolak; menolak lansia indentik dengan gaya dan tampilan kostum dari Zaman Old. Jadi, walau lansia, tetap dandi dan tak kalah mode. Jika seperti itu, bagaimana baiknya?
Gunakan kostum keseharian dengan warna cerah, rapi, menarik, tidak terlalu ketat di badan (agar kulit 'tetap bernafas'), jika kenekan rok atau celana pendek, usahakan yang bisa atau cukup menutupi paha dan kaki yang mulai berkerut. Apalagi dibarengi dandanan tipis, gaya rambut yang rapi, gelang, dan anting pun cukup dan sederhana atau tidak seperti toko mas berjalan.
Blazer satu warna, sweeter, jas, jacket tipis, merupakan 'lapisan' atau pelengkap yang serasi; bisa dikenakan pada setiap waktu dan acara. Topi bareta atau yang bias, menarik untuk lansia laki-laki, ini menutup uban dan sinar matahari.
Jika menyukai jenis (celana dan rok) jeans atau bahan tebal, maka kenakan yang 'tidak ketat atau melekat' di badan. Bahan yang ketat akan menghambat gerakan tubuh.
Batik atau pun motif kain etnis, merupakan salah satu favorit untuk lansia. Bisa dipakai pada semua acara
Jika di/keluar rumah, gunakan kostum yang sesuai waktu (pagi, siang, malam)  dan acara (misalnya hanya jalan-jalan, HUT teman, pesta pernikahan, dan acara  pemakaman). Kenakan kaos dalam yang tebal, terutama pada malam hari, dan jaket, paling bagus memakai jas, walau tanpa dasi.
Pada siang hari, gunakan pakaian (yang bahannya) menyerap keringat. Malam hari, kenakan pakaian dari bahan (agak) tebal dan memberi kehangatan atau menahan masuknya angin dingin hingga ke kulit.
Untuk lansia perempuan, baju terusan (jangan yang punggung terbuka atau belahan dada hingga tepian 'dua bukit indah') sampai betis, sangat menarik; apalagi jika yang pakai berputar-putar di lantai dansa. Baju terusan dengan lengan hingga siku, juga membuat mudah mengambil makanan di meja prasmanan; and jangan lupa syal penutup leler.
Usahakan, mungkin wajib nich, gunakan alas kaki (sepatu atau sandal) yang bawahnya) relatif rata dan tak lincin. Ini untuk menjaga agar tak terpeleset di area kasar ataupun licin.
Cukuplah
Nantikan Serial Lansia Berikutnya
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H